Filosofi Cerita Sangkuriang

Filosofi Cerita Sangkuriang

Cerita rakyat ialah salah satu bagian kebudayaan Indonesia nan sampai saat ini masih terus dilestarikan keberadaannya. Salah satunya ialah cerita Sangkuriang. Sebagai orang Indonesia, tentunya Anda pernah mendengar kisah Sangkuriang. Kisah nan menceritakan interaksi anak dan ibu ini sudah sangat terkenal dan telah banyak dicetak dalam bentuk buku atau cerita bergambar.

Sebelum mengetahui cerita Sangkuriang dan mengulasnya, mari kita mengenal lebih jauh tentang cerita rakyat. Cerita rakyat ialah kisah nan menceritakan suatu kejadian nan biasanya terjadi pada masa lampau. Sebagian besar orang kadang menyebut cerita rakyat sebagai legenda.

Hal ini disebabkan oleh masyarakat nan mempercayai cerita tersebut memang benar-benar pernah terjadi dan bukan sebuah cerita fiktif belaka. Hampir semua cerita rakyat niscaya memiliki filosofi tersendiri dan terkadang memang sarat akan pesan-pesan moral.

Cerita Sangkuriang pun tidak lepas dari semua itu. Kita memang diharapkan dapat mengerti apa arti dari kisah tersebut dan memetik hikmahnya. Sangkuriang sendiri ialah cerita rakyat dari Jawa Barat, khususnya dari tanah Sunda. Legenda Sangkuriang ini dipercaya sebagai awal mula terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu, Burangrang, Bukti Tanggul, dan juga Danau Bandung.



Cerita Sangkuriang - Kelahiran Dayang Sumbi

Jauh sebelum Sangkuriang lahir, dahulu kala ada sepasang dewa dan dewi nan melakukan kesalahan. Mereka lantas diusir dan turun ke bumi, dikutuk oleh Sang Hyang Tunggal hingga keduanya berubah wujud menjadi binatang.

Sang dewa berwujud anjing bernama Tumang dan sang dewi menjadi babi hutan bernama Wayung Hyang. Mereka harus menetap di hutan sementara waktu sebagai hukuman. Mereka juga harus bertapa buat memohon ampun agar diizinkan menjadi dewa dan dewi seperti sedia kala.

Dalam masa pertapaan tersebut, Wayung Hyang nan kehausan sukses menemukan air dalam sebuah batok kelapa lalu meminumnya. Ternyata air nan ia minum ialah air seni milik Raja Sungging Perbangkara nan sebelumnya tengah berburu di dalam hutan.

Setelah meminum air seni tersebut, Wayung Hyang hamil dan melahirkan putri nan sangat cantik. Suatu hari bayi perempuan tersebut ditemukan Raja Sungging Perbangkara di tengah hutan. Raja pun membawa bayi nan tidak lain ialah putrinya sendiri tersebut ke kerajaan loka ia tinggal.

Bayi cantik itu kemudian diberi nama Dayang Sumbi, nan kemudian tumbuh sebagai gadis nan sangat cantik jelita. Dayang Sumbi inilah nan dikenal sebagai ibu dalam cerita Sangkuriang. Karena kecantikan tersebut, banyak pangeran dan para raja nan akhirnya saling berselisih sebab memperebutkan Dayang Sumbi.

Dayang Sumbi sendiri tak berminat pada siapapun buat dijadikan pendampingnya. Akhirnya putri cantik itu mengasingkan diri ke bukit ditemani oleh seekor anjing nan tidak lain ialah Tumang, dewa nan sebenarnya masih dalam masa hukuman.

Dayang Sumbi suatu hari tengah menenun kain. Ia malas buat mengambil peralatan tenunnnya nan jatuh ke lantai. Tanpa berpikir terlebih dahulu, ia langsung berucap bahwa siapapun nan mengambilkan alat tenunnya akan ia jadikan suami bila memang penolongnya berjenis kelamin laki-laki, dan bila nan menolongnya ternyata berjenis kelamin perempuan, maka akan ia jadikan saudara.

Tanpa disangka-sangka, alat tenun tersebut diambil oleh Tumang dan diberikannya benda itu kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi pun harus menepati janjinya, dan menikah dengan Tumang nan seekor anjing jantan. Tumang inilah nan kemudian dikenal sebagai ayah dalam cerita Sangkuriang.

Akibat pernikahan itu, kerajaan merasa malu dan akhirnya mengasingkan Dayang Sumbi beserta suaminya (Tumang) ke hutan. Di sinilah Dayang Sumbi lambat laun menyadari siapa Tumang sebenarnya sebab setiap bulan purnama tiba, Tumang dapat berubah ke wujud aslinya sebagai dewa nan sangat tampan.



Cerita Sangkuriang - Legenda Tangkuban Perahu

Dari pernikahan Dayang Sumbi dan Tumang, lahir seorang anak laki-laki nan kuat dan berwajah tampan bernama Sangkuriang. Sangkuring diceritakan selalu pergi ke manapun ditemani oleh Tumang. Ayah kandung nan tak dikenali olehnya sebab berwujud binatang.

Cerita Sangkuriang nan sebenarnya berawal dari saat Dayang Sumbi ingin memakan hati rusa. Sangkuriang akhirnya berburu rusa ke dalam hutan ditemani oleh Tumang. Namun, perburuan tersebut tak membuahkan hasil, hingga akhirnya Sangkuriang melihat babi hutan nan sangat gemuk.

Sangkuriang lantas menyuruh Tumang mengejar babi hutan itu, tapi Tumang tak menurut sebab ia mengenali si babi hutan nan tidak lain ialah Wayung Hyang, ibu Dayang Sumbi sekaligus nenek Sangkuriang. Sangkuriang pun merasa kesal dan menakut-nakuti Tumang dengan panah nan dibawanya.

Tapi akhirnya panah itu malah benar-benar mengenai Tumang hingga anjing jantan itu mati. Dalam kepanikannya, Sangkuriang kemudian mengambil hati Tumang dan membawanya pulang buat diberikan pada Dayang Sumbi.

Tanpa tahu apa-pa, Dayang Sumbi memasak hati tersebut lalu memakannya. Namun, setelah tahu kalau ia memakan hati Tumang, Dayang Sumbi marah besar dan memukul kepala Sangkuriang dengan sebuah sendok kayu hingga putranya tersebut terluka.

Kemarahan sang ibu pun membuat Sangkuriang ketakutan dan melarikan diri ke hutan. Dalam cerita Sangkuriang, Dayang Sumbi akhirnya merasa menyesal. Ia pun langsung mencari anaknya ke hutan, tapi usahanya gagal.

Dengan rasa sedih nan begitu besar, Dayang Sumbi akhirnya bertapa, memohon agar dapat berjumpa kembali dengan anaknya. Selama pertapaan itu, Dayang Sumbi hanya memakan tumbuhan atau sayuran mentah, nan membuatnya tetap awet muda. 

Sementara itu Sangkuriang nan terus mengembara akhirnya berubah menjadi seorang pemuda nan gagah, kuat, dan tampan. Tanpa disadari Sangkuriang akhirnya kembali berjumpa dengan Dayang Sumbi nan sudah tidak dikenalinya lagi. Begitupun dengan Dayang Sumbi nan tidak tahu kalau pemuda tersebut ialah anaknya sendiri.

Keduanya lantas saling jatuh cinta. Namun, luka pada kepala Sangkuriang menyadarkan Dayang Sumbi kalau ia tengah berhadapan dengan putranya sendiri. Walaupun begitu Sangkuriang tetap ingin menikah. Sementara sang ibu berusaha menolak permintaan anaknya itu.

Seperti nan sudah diketahui banyak orang mengenai cerita Sangkuriang, putra Dayang Sumbi tersebut tetap keras kepala. Dayang Sumbi akhirnya mencari cara agar Sangkuriang berubah pikiran. Dayang Sumbi kemudian mengizinkan Sangkuriang buat menikahinya, asalkan Sangkuriang mampu membuat sebuah telaga dan bahtera dalam waktu semalam.

Dayang Sumbi merasa konfiden bahwa permintaannya tak mungkin terpenuhi, dan ia konfiden dapat menghindari pernikahan dengan anaknya sendiri. Dengan donasi makhluk halus, Sangkuriang akhirnya bekerja semalaman. Ia membuat bahtera dari pohon nan tumbuh di sebelah timur.

Pokok pohon tersebut berubah menjadi Bukit Tanggul. Ranting-ranting pohon nan dibuang kemudian ditumpuk di sebelah barat nan kemudian menjadi Gunung Burangrang. Bahtera hampir selesai, bendungan dari Sungai Citarum pun hampir membentuk telaga.

Dayang Sumbi nan takut anaknya sukses melakukan tugas akhirnya membentangkan kain putih. Kain itu bercahaya dan sangat terang, sehingga membuat para makhluk halus mengira kalau fajar sudah tiba. Para makhluk halus melarikan diri dan meninggalkan Sangkuriang dan pekerjaannya nan belum usai.

Pada cerita Sangkuriang versi lain, diceritakan Dayang Sumbi membangunkan ayam-ayam jantan buat berkokok, menandakan fajar sudah tiba dan membuat makhluk halus ketakutan. Sangkuriang akhirnya marah sebab pekerjaannya belum selesai. Ia kemudian menendang bahtera hasil kerja kerasnya hingga terbalik dan akhirnya berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi, namun Dayang Sumbi nan hampir tertangkap tiba-tiba memohon pada Sang Hyang Tunggal agar Sangkuriang tak sukses mengejarnya. Dayang Sumbi lantas berubah menjadi kembang jaksi.



Filosofi Cerita Sangkuriang

Legenda Tangkuban Bahtera memang sangat menarik buat diikuti, namun rupanya kisah tersebut memiliki filosofi tersendiri. Ada banyak versi mengenai arti dari cerita Sangkuriang tersebut. Walaupun begitu semuanya memiliki inti nan sama.

Wahyu Hyang digambarkan sebagai kebimbangan buat menemukan jati diri, namun kemudian ia menemukan cahaya pencerah nan digambarkan oleh Raja Sungging Perbangkara. Rasa bimbang nan berjumpa dengan cahaya kemudian melahiran hati nurani nan digambarkan sebagai Dayang Sumbi.

Dayang Sumbi nan menikah dengan Tumang digambarkan sebagai nurani nan tak hati-hati dan melahirkan ego (Sangkuriang). Dayang Sumbi nan marah dan memukul Sangkuriang digambarkan sebagai nurani nan hilang pencerahan dan memukul rasa ego.

Sementara Sangkuriang nan pergi ke hutan berarti ego nan meninggalkan sang nurani. Sangkuriang nan akhirnya kembali berjumpa dengan Dayang Sumbi digambarkan sebagai ego nan tidak dapat lepas dengan nurani dan tidak sadar memang ingin menemukan kembali nuraninya.

Walau begitu nurani (Dayang Sumbi) dan ego (Sangkuriang) tidak begitu saja dapat bersatu. Dayang Sumbi nan berubah menjadi kembang jaksi dalam cerita Sangkuriang, menggambarkan nurani nan hanya mampu menjadi saksi atas apa nan terjadi pada sang ego.