Film Horor Lawan Film Panas Indonesia

Film Horor Lawan Film Panas Indonesia

Jika membicarakan film panas Indonesia, sudah tentu Anda tahu film bagaimana nan dimaksud. Bukan berarti film tersebut benar-benar terasa bersuhu panas. Kata panas dalam film panas Indonesia tersebut ialah konotasi dari sebuah kata nan arti sebenarnya menuju pada kata 'porno'.

Jadi secara keseluruhan, sebenarnya nan dimaksud dengan film panas itu ialah film porno. Lantas apa nan sebenarnya dimaksud dengan film panas Indonesia?

Film panas ialah hasil dari rangkaian cerita dan rekaman mobilitas tubuh serta aktualisasi diri nan mengandung unsur mengekspoitasi interaksi seksual dan aurat manusia sebagai pemerannya. Unsur nan membedakannya dengan film jenis lainnya seperti film horror, film drama, atau film komedi, ialah aksi mengubar aurat nan hiperbola daripada film-film lainnya.

Memang, film merupakan salah satu bagian dari seni atau ciptaan anak bangsa nan dituangkan dalam bentuk alur cerita. Cukup berbangga hati jika Indonesia memiliki bangsa nan mampu menelurkan karya-karyanya di bidang seni.

Tapi, jika ciptaan tersebut menjadi sebuah film panas Indonesia nan sarat akan pendayagunaan aurat nan berlebihan, tentu saja karya seperti ini tak dapat berkembang dan tak memberikan akibat positif buat negara nan cenderung pada kebudayaan timur. Kebudayaan timur sangat menjunjung etika dalam berbusana, berdialog, dan bertingkah laku nan sopan sinkron adat ketimuran.



Film Panas Indonesia - Antara Seni dan Pornoaksi

Seni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti 'kesanggupan akal buat menciptakan sesuatu nan bernilai tinggi'. Semantara itu, seorang tokoh nan berpengaruh besar terhadap negara Indonesia, Ki Hajar Dewantara, pernah mengatakan bahwa seni memiliki arti sebagai perbuatan manusia nan timbul dari perasaanya dan bersifat latif dan bisa menggerakkan jiwanya.

Berbeda dengan seni , Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tak mencantumkan pengertian tentang pornoaksi. Namun, sedikit banyak kita dapat berpatokan pada acuan pengertian pornoaksi nan terdapat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pornoaksi dan pornografi nan hingga saat ini belum disahkan pemerintah.

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pornografi dan pornoaksi, disebutkan bahwa pornoaksi merupakan perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum. Jadi, pornoaksi ialah tindakan pendayagunaan seksual nan menimbulkan sisi-sisi erotisme di depan umum.

Jika para sineas atau para pembuat film menciptakan karyanya melalui rekaman gambar mobilitas tubuh nan sebagian besar mempertontonkan bagian-bagian tubuh seseorang nan seharusnya tak menjadi konsumsi publik dan rangkaian obrolan berbahasa Indonesia dengan substansi kalimat-kalimat seronok atau aktualisasi diri paras nan menimbukan anggapan negatif, maka sudah tentu film tersebut tergolong film panas Indonesia.

Hal nan mebuatnya menjadi kacau buat dikategorikan sebagai seni atau pornoaksi ialah ketika seni mengatakan bahwa segala sesuatu nan bersifat bagus, halus, dan berbentuk indah, ialah bagian dari seni. Sementara pada kenyataannya, film panas selalu menampilkan lekuk-lekuk tubuh pemerannya, baik itu wanita atau pria sebagus-bagusnya dan seindahnya-seindahnya.

Jika pemerannya bertubuh tinggi semampai, kulit mulus dengan menggunakan baju mini, itu akan membuat siapa saja nan memandangnya akan mengatakan itu indah, itu cantik, atau itu bagus.

Tapi, bagaimana dengan pornoaksi nan ditampilkannya? Jika pemerannya selalu dituntut berpakaian mini atau bahkan tak berpakaian sama sekali dalam film nan diperankannya, tentu hal ini suatu bentuk pendayagunaan seksual atas diri pemeran tersebut.

Mempertontonkan bagian-bagian tubuh nan sifatnya sensitif kepada publik buat tujuan komersial ialah bagian dari pendayagunaan itu sendiri. Hanya saja, masyarakat dengan keanekaragaman cara beripikirnya mengartikan seni dan pornoaksi itu bhineka sehingga agak sulit menemukan titik kesepakatan apakah film panas Indonesia merupakan bagian seni atau justru bagian dari pornoaksi itu sendiri. Semua kembali pada pola pikir masing-masing nan menontonnya.



Wanita dalam Film Panas Indonesia

Wanita memang diciptakan dengan keindahannya sendiri. Cantik atau tidaknya memang relatif, tetapi kemampuan penata rias akan membuat wanita menjadi lebih enak dipandang mata. Belum lagi kemolekan tubuh wanita nan menjadi sumber daya tarik orang-orang memandangnya.

Itu pula sebabnya mengapa banyak sineas-sineas lebih cenderung mencari dan menggunakan wanita sebagai pemeran dalam film panas nan digarapnya. Lebih-lebih film panas Indonesia nan sebagian besar pemain wanitanya lebih mendominasi.

Tidak heran artis-artis panas nan sering mendapat julukan sebgai bom sex lebih didominasi oleh wanita. Sebut saja seniman senior Eva Arnaz, Lina Budiarti, Kiki Fatmala, Sally Marcelina hingga bintang-bintang baru nan terjun ke global perfilman seperti Dewi Persik, Julia Perez, dan Andi Soraya.

Jika tubuh wanita dianggap mampu menjadi objek komersial, tentu apa nan dilakukan oleh seniman wanita dalam beberapa film panas Indonesia ialah bentuk pendayagunaan terhadap dirinya sendiri. Apa nan inheren pada tubuhnya akan menjadi konsumsi dan hiburan seluruh orang nan menonton film.

Adegan ranjang atau adegan kamar mandi kerap menjadi adegan-adegan nan mendominasi dalam alur cerita film panas. Menampilkan wanita dengan balutan handuk, lingerie transparan, bikini disertai dengan adegan-adegan erotis bersama pria sebagai versus mainnya.

Aksi-aksi erotis tentu seharusnya tak menjadi konsumsi publik nan tentu tak dapat dibatasi siapa saja penontonnya dan usia berapa saja nan menontonnya. Toh , meskipun tertera usia nan layak buat menyaksikan film panas ini sudah tertera, tetapi tak ada hukuman diterapkan jika ada yeng melanggarnya. Alhasil film dengan wanita-wanita cantik, seksi, dan vulgar sukses ditonton siapa saja tanpa batasan apa pun.



Film Horor Lawan Film Panas Indonesia

Film horor biasanya menyajikan cerita-cerita nan bersifat mistis, seperti hantu, dukun santet, ilmu hitam, tuyul, dan bermacam-macam arwah dengan bentuk nan berbeda-beda. Film nan dibuat dengan adegan-adegan mengerikan bahkan terkadang membuat jantung Anda berdebar-debar tentu seharusnya tak menyajikan adegan erotis nan mempertontonkan bagian-bagian tubuh sensitif wanita.

Realita nan terjadi dalam film horor Indonesia justru menyajikan banyak adegan ranjang dan adegan kamar mandi nan menjurus pada aksi-aksi pornografi. Memang film-film horor nan sukses tayang di bioskop ialah film nan telah lulus uji sensor dari Forum Sensor Film (LSF) sebagai forum nan memang tugasnya menyeleksi kelayakan film buat siap tayang di bioskop.

Namun pada kenyataannya, film-film horor tersebut masih terlihat vulgar. Kemungkinan sebab banyaknya adegan-adegan panas nan mendominasi jalan cerita film tersebut, maka tak dapat keseluruhannya disensor. Dikhwatirkan jika terlalu banyak sensor, maka jalan cerita film tersebut menjadi tak mengalami keterkaitan satu sama lainnya dan membuat penonton bingung.

Suatu taktik jitu dari sineas-sineas kreatif nan ingin membuat film panas Indonesia, yaitu mereka tak secara terang-terangan menyatakan film garapannya ialah film panas.

Berbeda dengan film di era tahun 70-80-an nan lebih transparan dari jenis dan judul film. Dulu, film panas memang terlihat dari judul film nan disajikan. Berbeda dengan era tahun 2000-an, judul film dibuat lebih "halus" sehingga tak dapat diprediksi apakah itu benar-benar film horor atau justru film panas. Sebut saja beberapa judul film horor nan menyajikan adegan-adegan panas seperti dalam film Hantu Puncak Datang Bulan, Suster Keramas, Diperkosa Setan, Setan Budeg , dan lain-lain.

Film panas 'terselubung' seperti ini nan berbahaya. Banyak nan terkecoh atau tertipu ketika akan menyaksikan film horor. Ternyata selain judulnya nyeleneh, jalan cerita nan disajikan justru lebih kebanyakan mempertontonkan kemolekan tubuh dan mobilitas erotis daripada mempertontonkan adegan-adegan seram atau menakutkan. Alhasil penonton berasumsi bahwa film horor Indonesia justru bagian dari film panas Indonesia.