Tuntutan Profesi

Tuntutan Profesi



Surga Rokok

Indonesia ialah surga para perokok. Karena negeri ini ialah surga perokok, tentunta para perokok dengan mudahnya mendapatkan rokok dalam bentuk dan jenis apapun. Harga cukai rokok nan selangit tidak menghentikan para perokok dari menghentikan aktivitasnya. Kalaupun mereka sampai merasa sakit dan harus terbaring beberapa saat di rumah sakit, rokok tetap menjadi pengalihan perasaan dan pikiran setelah mereka sembuh.

Bahkan seorang perokok nan telah terkena stroke dan telah juga meracuni keluarganya hingga istrinya meninggal sebab penyakit nan disebabkan oleh asap rokok, tetap saja merokok diusianya nan sudakh berkepala 8. Inilah citra betapa hebatnya pengaruh rokok terhadap orang-orang nan telah bersentuhan dengannya. Alasan nan dikemukakan memang terlihat masuk akal. Mereka merasa mulutnya asam kalau tak merokok.

Alasan ini sebenarnya dapat diatasi dengan melakukan detoksifikasi dan sering minum jus wortel dan makan apel. Dengan semakin banyak makan buah dan sayur, perokok lama-lama akan merasa asam dan tak enak kalau merokok. Memang sulit menghentikan Norma nan telah dilakukan selama puluhan tahun. Namun, dengan keinginan nan sangat kuat, seorang perokok nan telah merokok selama lebih dari 30 tahun pun akhirnya dapat berhenti merokok.

Tidak ada istilah merokok demi pergaulan. Setelah berhenti merokok, artinya terputus sama sekali dari rokok dan asap rokok. Teman-teman nan masih merokok pun agak dijauhi kalau memang dapat dilakukan. Bagaimanapun menjadi perokok pasif itu juga sangat berbahaya. Bayangkan saja seorang bapak nan perokok, rela lebih membeli rokok daripada sepotong tempe buat anaknya. Padahal tempe itu sangat krusial bagi pertumbuhan anaknya.

Bila dilihat dari pertimbangan keuangan, merokok ini sama dengan membakar uang. Namun, para perokok tak melihatnya dari sana. Bagi mereka rokok ialah teman sejati nan sangat tahu kebutuhan mereka. Tanpa rokok, rasanya mereka malah tak dapat berpikir jernih atau malah tak dapat berkonsentrasi. Seolah ketergantungan ini telah membelenggu jiwa. Merokok sepertinya sama dengan penyakit otak. Mungkin dapat disamakan dengan penyakit Bulimia dan Anaroxia Nervosa.

Pengaruh rokok ini malah telah merasuki jiwa anak-anak usia dini. Dengan santai tanpa rasa berdosa anak-anak berseragam sekolah dasar menghisap rokok di pinggir jalan. Mereka merasa sangat bebas dan merasa rokok telah menaikan rasa percaya dirinya. Luar biasa sekali apa nan telah diberikan rokok kepada jiwa-jiwa murni anak bangsa itu. Orangtua bahkan tidak kuasa melarang anak-anak nan telah terpengaruh lingkungan itu.

Para guru hanya dapat melarang anak-anak itu tak merokok di sekeliling sekolah. Selanjutnya, mereka dapat saja merokok di loka lain. Di lingkungan rumah sakit pun para perokok ini seakan tak mampu menahan nafsunya buat merokok. Sungguh sesuatu nan sangat keji. Para petugas nan ada di rumah sakit malah diam saja dan tak mempunyai taring. Mereka seakan memaklumi keadaan bahwa bukan hal nan menyenangkan menunggu orang nan sakit. Merokok dianggap sebagai ajang melepaskan rasa stres.

Daripada mereka bunuh diri atau melakukan hal lain nan lebih keji lebih baik membiarkan mereka merokok. Jangankan para penunggu pasien, dokter nan merokok di loka kerja juga ada. Luar biasa ketidakpedulian orang terhadap orang lain. Di hotel, di rumah makan nan tertulis embargo merokok pun tak diindahkan. Inilah Indonesia, sebuah negara surga para perokok. Bangsa ini seakan tak berdaya dibuat oleh rokok. Banyak sekali kendala ketika rokok benar-benar dilarang.

Mata pencarian banyak orang dapat tergerus dan pemerintah sangat takut kalau taraf pengangguran meningkat gara-gara rokok benar-benar dihanguskan atau dibatasi seperti halnya minuman keras impor. Tidak mudah memberikan solusi agar ada langkah pengurangan jumlah perokok. Merokok itu terlihat begitu menyenangkan. Padahal imbas samping dan akibatnya sangat besar. Gigi nan menguning dan bau badan serta bau mulut nan tak sedap, tak menghentikan orang buat berhenti merokok.

Alasan ini tentunya krusial sekali buat memahami Norma merokok dari para perokok. Tentunya tak akan menguntungkan bila aturan nan dikeluarkan pemerintah buat kampanye anti rokok tak membuahkan hasil. Apalagi aturan itu tentunya tak kecil, baik buat pembuatan iklan, membuat berbagai bentuk seruan, maupun berbagai bentuk kampanye lainnya.



Tuntutan Profesi

Ada banyak alasan nan kerap terlontar dari para perokok tentang kegemaran mereka menghisap rokok. Diantaranya menyangkut masalah pencitraan sebagai lelaki. Alasan ini muncul dampak cibiran atau ejekan teman-temannya nan sudah merokok terlebih dahulu. Begitu juga dengan alasan buat mempererat pergaulan terutama sebab lingkungannya turut berpengaruh terhadap Norma merokok itu. Padahal kalau ingin dihentikan, masih banyak orang nan mempunyai pergaulan nan luas tanpa merokok. Malah para non perokok ini mempunyai lingkungan pergaulan nan lebih baik.

Mereka nan tak merokok mendapatkan pergaulan nan lebih menyenangkan dengan gaya hayati nan lebih menyenangkan juga. Lihatlah apa nan terjadi pada para perokok. Lingkungannya terlihat tak menyenangkan. Bagaimana menyenangkan kalau dalam mobil ber-AC penuh dengan asap rokok. Penyakit akan sangat mudah menyebar. Para perokok ini juga biasanya sangat egois dan tak peduli dengan orang lain. Dalam kamar hotel atau kamar mandi ia tetap merokok. Sungguh sangat keterlaluan.

Kebiasaan merokok nan terjadi pada kaum perempuan tidak sedikit disebabkan atau didorong oleh pengaruh pergaulan maupun tuntutan profesi. Para artis, selebriti, maupun para pengusaha umumnya membutuhkan media nan bisa merekatkan interaksi maupun jaringan mereka. Salah satunya melalui rokok. Mereka merasa bahwa pergaulan dengan rokok ini sangat santai dan dapat membina interaksi nan jauh lebih baik.

Selain itu, Norma merokok juga berhubungan dengan reaksi tubuh terhadap lingkungan. Seperti nan dilakukan para perokok nan tinggal di wilayah nan dingin. Orang Barat nan tinggal di kawasan bersalju umumnya melawan dinginnya udara dengan cara merokok. Tidak dapat dipungkiri bahwa merokok itu terlihat begitu santai. Global seolah berada di dalam genggaman. Mereka mungkin tak memikirkan bagaimana tubuh bagian dalam meronta dan tak mau menerima asap rokok.

Begitu juga dengan orang-orang ataupun sejumlah suku nan tinggal di pegunungan, umumnya banyak nan merokok. Baik nan laki-laki maupun nan perempuan. Untuk kasus ini mungkin lebih mudah dipahami sebagai upaya tubuh menjaga kehangatan. Bila hal nan satu ini telah menjadi suatu budaya, memang berat buat menghentikannya. Jalur nan sangat cepat menghentikannya ialah dengan cara ketua atau nan dianggap tua menghentikan merokok dan mereka membuat undang-undang atau peraturan nan melarang rokok.



Mencandu

Namun dari sekian banyak alasan merokok, ada beberapa nan cukup mendasar. Di antaranya menyangkut masalah kenikmatan maupun sebab Norma sehingga mencandu. Tidak mudah menggambarkan bagaimana kenikmatan nan dirasakan perokok saat menghisap sebatang rokok. Apalagi kenikmatan ini umumnya dirasakan orang-orang nan memiliki profesi atau pekerjaan nan berhubungan dengan seni atau global kreatif, seperti seniman, jurnalis, dan sebagainya. Mereka merasa tak dapat lepas dari rokok. Rokok identik dengan ide.

Rokok berbeda dengan makanan. Rasa rokok pun hambar. Orang nan baru pertama kali merokok umumnya bukan disebabkan oleh rasanya nan enak seperti halnya kita mencicipi makanan. Namun sebab rokok mengandung zat kimia nan menyebabkan ketergantungan, maka merokok pun akhirnya mencandu. Inilah bahaya nan dihasilkan dari Norma nan sangat buruk ini.

Kalau sudah demikian, tak mudah buat menghentikan Norma merokok. Secanggih dan semenarik apapun kampanye bahaya merokok tidak akan bisa mengubah konduite merokok secara cepat. Oleh sebab itu, upaya atau kampanye anti rokok sebaiknya bukan dengan iklan atau poster tentang akibat rokok terhadap kesehatan nan ditujukan buat para perokok. Pemerintah mungkin lebih baik membatasi jumlah perokok baru, terutama dari kalangan anak-anak dan remaja.

Dengan restriksi ini, diharapkan alasan merokok buat kenikmatan nan mencandu bisa dicegah atau dieliminir.