Supersemar

Supersemar

Proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI, merupakan moment krusial nan menandai tumbangnya rezim orde lama nan akan digantikan oleh orde baru. Proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI ini juga menimbulkan kemarahan dan juga harapan. Kemarahan sebab dianggap pemerintah orde lama tidak dapat mengatasi carut-marut kondisi keamanan politik dalam negeri nan direpresentasikan oleh keadaan di Jakarta. Namun tetap mengandung asa yakni akan adanya perubahan nan menyeluruh setelah terjadinya Proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI itu. Namun siapa nan mengira semuanya berlangsung di luar kendali. Pasca proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI, menjadi semakin rumit dan sulit buat ditebak. Inilah kenapa nan membuat masyarakat Jakarta waktu itu dan umumnya rakyat Indonesia semakin marah.

Proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI, bagi bangsa Indonesia sendiri seperti mengulang kepada kondisi pra kemerdekaan. Genting dan serba sulit. Namun bagi militer, proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI momentum buat atas nama rakyat kemudian membangun gambaran baru, menjadi pihak nan secara emosional sama-sama merasa disakiti dan dikhianati. Disinilah kealpaan Soekarno. Aksi-aksi massa nan terjadi pasca proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI, tak dihadapi dengan cerdas melainkan dianggap sebagai musuh nan harus dihadapi secara berhadap-hadapan. Secara emosional Soekarno membekukkan organisasi massa bahkan membekukkan Universitas Indonesia, merupakan wujud bagaimana paniknya pemerintah pasca roses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI itu terjadi.

Pergolakan Itu Tetap Terjadi

Tahukah Anda proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI ? Pasca Gerakan 30 September sukses ditumpas dan telah diketahui bahwa PKI diindikasikan terlibat dalam peristiwa tersebut, menimbulkan rasa marah dalam diri masyarakat. Akhirnya, masyarakat kala itu menuntut pemerintah buat membubarkan PKI dan menyeret para tokoh nan terlibat di balik peristiwa G30S tersebut. Ini nan kemudian menimbulkan kondisi chaos di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia. Satu kejadian krusial bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia setelah terjadinya proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI

Masyarakat dan partai-partai politik nan tak sepaham dengan PKI, secara spontan, mulai manunggal membentuk berbagai kelompok nan menuntut pertanggungjawaban PKI dan para simpatisannya. Pada 8 Oktober 1965, massa mulai melakukan demonstrasi menuntut pertanggungjawaban PKI. Namun ketikda tegasan Soekarno waktu itu dianggap sebagai sikap mendua, sehingga setelah proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI itu terjadi, masyarakat berhadap-hadapan dengan Soekarno dengan penuh kemarahan. Kondisi nan sangat tak aman sebenarnya buat memulihkan keadaan. Padahal peristiwa G30S PKI itu sendiri masih menimbulkan berbagai persoalan.

Beberapa kelompok kesatuan aksi nan terbentuk waktu itu, antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), dan lain-lain. Kesatuan aksi itu membentuk Front Pancasila nan bekerja sama dengan organisasi nan menentang PKI. Mereka mengadakan kedap akbar pada 26 Oktober 1965 di lapangan Banteng Jakarta.

Menghadapi arus demonstrasi nan kian deras, Presiden Soekarno berjanji akan mengadakan penyelesaian politik terhadap pemberontakan Gerakan 30 September. Akan tetapi, janji tersebut belum ditepati. Hal ini menyebabkan para mahasiswa, pelajar, dan kelompok lainnya nan didukung oleh masyarakat luas dan ABRI, mulai melakukan tindakan nan langsung mengarah kepada PKI dan simpatisannya.

Sementara itu, dengan dasar pertimbangan kemelut kondisi politik Indonesia nan tak menentu dan membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok rakyat, 10 Januari 1966, KAMI dan KAPPI mengajukan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) di hadapan gedung DPRGR.

  1. Bubarkan PKI.
  2. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur Gerakan 30 September.
  3. Turunkan harga.


Kebijakan Politik Presiden Soekarno

Menghadapi situasi politik nan semakin memanas, Presiden Soekarno memanggil seluruh menterinya buat mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor. Dalam sidang tersebut, terdapat banyak tokoh dari KAMI nan diundang. Akan tetapi, di luar Istana Bogor, masyarakat nan berdemonstrasi bertambah banyak dan menuntut dilaksanakannya Tritura. Menghadapi siatuasi nan sulit dan serba tak menentu tersebut, Soekarno menjadi terpancing dan masuk ke dalam pusaran nan sebenarnya tak menguntungkan. Inilah langkah nan akan menyebabkan Soekarno menjadi semakin sulit pada pekan-pekan ke depan, setelah terjadinya proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI itu terjadi.

Dalam sidang kabinet, Presiden Soekarno kembali berjanji akan memberikan penyelesaian politik. Janji politik tersebut ia wujudkan dengan me- reshuffle susunan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet Dwikora nan Disempurnakan.

Rakyat sangat marah melihat penyelesaian politik nan dilakukan Presiden Soekarno tak sinkron dengan kehendak rakyat. Kemudian, terjadilah gelombang demonstrasi nan semakin besar dan ditujukan langsung kepada Presiden Soekarno. Melihat demonstrasi besar-besaran tersebut, Presiden Soekarno merasa tersinggung. Beliau segera membalas dengan membubarkan KAMI pada 26 Februari 1966 dan menutup kampus Universitas Indonesia pada 3 Maret 1966.

Tindakan presiden itu malah memperuncing suasana politik. Arus demonstrasi semakin deras dan membanjiri Jakarta sehingga keadaan kota semakin tak menentu. Ada nan mengira inilah akhir dari kecemerlanangan karir politik Soekarno nan dibesarkan oleh suasana revolusi, namun tidak sukses mengerucutkan masalah nan terjadi di dalam negeri sendiri pasca terjadinya proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI itu.



Supersemar

Singkat cerita, Letjen Soeharto memberikan izin kepada ketiga perwira TNI-AD, yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Mahmud, buat menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ketiga perwira TNI-AD tersebut menyampaikan pesan dari Letjen Soeharto bahwa beliau sanggup menyelesaikan kemelut politik dan memulihkan keamanan dan ketertiban di ibukota. Inilah langkah strategis nan dilakukan Letjen Soeharto pada situasi nan terjadi setelah proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa G30S PKI terjadi. Kecerdasan Soeharto nan terkenal sebagai pakar taktik itu tak terbantahkan di sini. Dan rupanya Soekarno juga lalai menghadapi taktik nan sedang dikembangkan oleh prajurit nan pernah dimaki-maki dalam suatu kesempatan.

Setelah melakukan pembicaraan dengan ketiga perwira tersebut, akhirnya Presiden Soekarno setuju buat memberikan perintah kepada Letjen Soeharto buat memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah pada 11 Maret 1966. Dalam menjalankan tugasnya, Letjen Soeharto harus melaporkan segala sesuatu kepada presiden. Surat tersebut dibuat pada 11 Maret sehingga dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Dengan surat perintah itu, Letjen Soeharto memiliki kekuatan hukum buat memenuhi tuntutan rakyat. Oleh sebab itu, Letjen Soeharto mengambil tindakan membubarkan PKI pada 12 Maret 1966 dan mengamankan 15 menteri Kabinet Dwikora nan Disempurnakan sebab terdapat indikasi terlibat Gerakan 30 September. Langkah krusial bagi Letjen Soeharto buat memuluskan jalan menggenggam kekuasaan. Dari sini pula langkah itu dimulai, kemudian orde lama tumbang dan orde baru mulai tumbuh. Tapi siapa nan akan mengira, dengan cara nan hampir sama pula sejarah negeri ini mencatat, kekuasaan orde baru kelak berakhir.

Selain itu, turunnya Supersemar merupakan jawaban terhadap berbagai tuntutan mahasiswa dan rakyat nan menginginkan pembubaran PKI. Demikianlah sejarah singkat mengenai kebijakan politik pasca Gerakan 30 September. Semoga bermanfaat!