Nikahkan Anak Melihat Prioritas Kebutuhannya

Nikahkan Anak Melihat Prioritas Kebutuhannya

Kecerdasan beragam seorang anak, bagian dari cerita suami isteri nan harus diketahui sejak awal. Tanpa itu akan jadi masalah kelak, baik antara suami dengan istri, maupun antara ayah dan anak atau antara anak dan ibunya. Masing-masing anak memiliki tabiat dan kecenderungan-kecenderungan nan berbeda.

Itu memang tak dapat disangkal. Konsep kecerdasan beragam atau Multiple Intelegences nan digagas oleh Howard Gardner juga menegaskan tentang hal tersebut. Howard membagi kecerdasan seseorang ke dalam 8 model kecerdasan berdasarkan kecenderungan-kecederungannya.

Pembagian delapan bentuk kecerdasan ini berasal dari pengumpulan data seorang anak bukan berdasarkan tes-tes tertutup seperti nan diterapkan pada tes IQ nan hanya membedakan anak pintar dan kurang pintar.

Howard Gardner kemudian menyimpulkan bahwa kecerdasan seseorang, samasekali tak terkait dengan kondisi fisik (rasialis), kondisi brain, dan hasil tes-tes standar. Jadi tak diperlukan tes tertutup seperti tes IQ atau tes ketidakmampuan seseorang nan hanya akan menyudutkan secara psikis dengan pelabelan ketidakmampuan tersebut.

Sebaliknya Howard berkayakinan bahwa kecerdasan seseorang itu terkait dengan discovering ability, the right man on the right plac e serta benefiditas . Dengan demikian kecerdasan itu ialah Norma atau prilaku nan diulang-ulang nan melahirkan pikiran-pikiran kreatif dan dapat mengatasi masalah.



Berikanlah Sinkron dengan Kebutuhannya

Namun apakah membeda-bedakan pemberian orang tua –dengan alasan anak-anak memiliki kecenderungan-kecenderungan nan berbeda– kepada anak, bisa dibenarkan? Sepanjang memenuhi unsur-unsur keadilan, maka membeda-bedakan pemberian kepada anak, bukanlah masalah. Tapi jika unsur-unsur keadilan dengan sengaja diabaikan, Rasulullah SAW menganggap hal ini sebagai perbuatan aniaya.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan dari An-Nu’man bin Al Basyir ra, bahwa ayah Nu’man pernah membawa dirinya menghadap Rasulullah SAW. Ayahnya berkata “saya pernah memberikan kepada anakku ini seorang budak nan dulu kepunyaanku”. Rasulullah SAW bertanya “Apakah masing-masing anakmu, kamu beri seperti anakmu ini ?” Ayah Nu’man berkata “Tidak ya, Rasulullah !” Rasulullah SAW bersabda “kalau begitu tariklah kembali pemberianmu itu !”

Dalam riwayat lain dikatakan setelah Rasulullah SAW mendengar klarifikasi ayah Nu’man tersebut, lalu beliau bersabda ”Takutlah kepada Allah Swt dan berbuatlah adil terhadap anak-anak kalian.”

Prinsip keadilan harus tetap dipenuhi orangtua ketika akan memberi sesuatu kepada anaknya. Sepanjang rasa keadilan itu terpenuhi, membeda-bedakan dalam arti kuantitas tidak akan menjadi masalah.

Tapi, dengan semata mempertimbangkan bahwa kenyataannya masing-masing anak memiliki kesamaan nan berbeda, lalu menyebabkan orangtua membeda-bedakan pula pemberian tanpa memperhatikan unsur-unsur keadilan itulah nan diingatkan Rasulullah SAW sebagai perbuatan aniaya.

Suatu hari –dalam hadits lain nan diriwayatkan Bukhari dan Muslim– Basyir mendatangi Rasulullah SAW dan melaporkan telah memberi hadiah kepada anaknya. Rasulullah SAW bersabda “Wahai Basyir, apakah kamu punya anak selain anak ini?” Basyir menjawab “Ya, Rasulullah !” Lalu, Rasulullah melanjutkan pertanyaannya “Apakah semua anak-anakmu juga kamu beri hadiah seperti ini ?” Dijawab Basyir “Tidak!”.

Mendengar jawaban Basyir seperti itu, Rasulullah pun menegaskan “Kalau begitu janganlah kamu jadikan saya sebagai saksi, karena saya tak menjadi saksi perbuatan aniaya.”



Kisah Akibat Membeda-Bedakan Pemberian

Terkadang, orang tua tidak menyadari bahwa membeda-bedakan pemberian dapat berakibat fatal. Yaitu, kecemburuan hingga terjadi pembunuhan. Bahkan penulis menemukan seorang anak menjadi pencandu narkoba jenis sabu-sabu, lantaran adanya perbedaaan pemberian nan diberikan ayah terhadap dua orang anaknya nan berbeda jenis kelaminnya. Berikut ini ceritanya.

Ketika anaknya nan perempuan menikah, sang ayah memberikan 15 gram emas untuknya. Ayahnya memberikan emas, lantaran anak perempuan tersebut selalu membantu dan membelanya ketika isterinya marah-marah. Maklumlah, namanya suami-isteri tersebut bekerja dengan membuka usaha.

Dengan perhatiannya si anak, membuat sang ayah begitu sayang kepadanya. Ketika menikah dan apa pun nan diinginkan si anak selalu dikabulkan. Berbeda dengan anak lelakinya. Ia selalu menyalahkan si ayah dan terkadang mengadukan hal nan tidak baik tentang si ayah kepada ibunya. Akhirnya, si ayah kurang simpatik kepada anak laki-lakinya.

Ketika anak laki-lakinya menikah, ia hanya memberikan 5 gram. Ia memang sengaja tidak memberinya banyak. Namun rupanya, anak laki-lakinya tersebut mengetahui bahwa ayahnya memberikan anak perempuannya ketika menikah 15 gram. Sehingga, membuatnya kesal dan memilih jalan narkoba sebagai solusinya.

Ketika ia bercerita kepada salah seorang saudaranya, barulah diketahui bahwa nan menjadi penyebab dirinya menjadi pecandu narkoba lantaran kesal melihat tingkah ayahnya nan selalu membeda-bedakan pemberian kepada anaknya. Tentu saja, hal ini tak baik.

Kejadian nan sama juga pernah penulis lihat, ketika bapak lebih bahagia kepada anaknya nan pertama sedangkan si ibu lebih bahagia kepada anaknya nan kedua. Ini semua tampak pada pemberian. Apa pun nan dibeli si bapak, selalu menggunakan nama anaknya nan pertama. Demikian halnya dengan si ibu, ia selalu membelikan apa nan dibutuhkan oleh anaknya nan kedua. Ketika anak nan pertama minta dibelikan sesuatu, si ibu selalu menyuruh anaknya buat minta dibelikan kepada bapaknya.

Sungguh, ini sebuah cerita suami isteri nan tak baik. Cerita nan membuat anak menjadi pilih kasih kepada kedua orang tuanya. Seharusnya, dalam hal memberi dalam hal rumah tangga sine qua non kesepakatan antara suami dengan isteri. Sedangkan adil nan harus diberikan dilihat dari sisi kebutuhan masing-masing anak, bukan berdasarkan perhatian anak.



Nikahkan Anak Melihat Prioritas Kebutuhannya

Pernahkah Anda mendengar cerita suami isteri tentang orang tua diminta oleh kedua anaknya buat diizinkan menikah? Penulis pernah melihat dan menemukan ketidakadilan nan terjadi. Berikut ceritanya.

Ada dua orang anak laki nan dari sesi usia satu sudah tua sebab berumur 29 tahun, dan satunya lagi masih berumur 25 tahun namun berprofesi sebagai ustad. Ketika si anak nan berumur 29 tahun meminta menikah dan tidak lama kemudian si anak nan berumur 25 tahun juga meminta menikah dengan alasan misi dakwahnya.

Namun orang tuanya, hanya mengizinkan si anak nan berumur 29 tahun menikah. Padahal, anak nan berumur 25 tahun ingin menikah dan memiliki uang sendiri. Berbeda dengan anak nan 29 tahun nan menikah murni dengan uang kedua orang tuanya. Akhirnya, si anak nan berumur 25 tahun mulai menjauhi dirinya dari undangan mengisi pengajian.

Baginya, tidak pantas bicara tentang masalah agama bila dirinya belum menikah. Karena umumnya, orang nan belum menikah sangat sulit buat menyalamatkan dirinya dari dosa. Dan itu diakui oleh anak laki-laki nan berusia 25 tahun nan suka berdakwah.

Setelah anak nan berumur 29 tahun menikah, si ibu mulai curiga mengapa si anak nan dulunya ustad kini menjadi anak nan sporadis mau ceramah dan sporadis juga pergi ke mesjid. Ia malah jadi anak nan hedonis. Rajin membeli barang-barang mahal.

Si ibu bertanya kepada si anak nan berusia 25 tahun, namun ia memilih diam. Ia pun buat memberhentikan dirinya dari profesi ustad dengan memilih jalan kuliah kembali. Sehingga setiap kali ada nan memintanya buat mengisi ceramah atau pengajian selalu ditolak dengan alasan ceramah.

Suatu hari si ibu baru mengetahui bahwa anaknya memilih tak mau ceramah sebab sudah bersumpah. Ia tidak akan mau ceramah bila belum menikah. Sumpah tersebut diucapkannya kala ditolak keinginannya buat menikah. Si ibu menangis dan menyesali ucapan dan tindakannya. Sedangkan si ayah, hanya diam membisu.

Lebih dari 4 tahun si anak tersebut tidak mau menikah. Ia pun selalu menjadi orang boros. Padahal, dulunya ia ialah anak nan sangat hemat. Setelah menyesali, si ibu pun datang membujuknya buat menikah. Namun si anak masih bingung. Ia bingung sebab sudah tak ada uang nan dimilikinya. Ia bingung uang nan dimilikinya dulu sebanyak 25 juta kini sudah habis. Ia hanya memegang uang sekitar 1 juta.

Setelah mengetahui bahwa si anak nan berprofesi ustad meminta menikah sudah memiliki uang. Namun si ibu selalu menyepelekannya. Menganggap ia tidak memiliki uang. Kini si ibu terpaksa banting tulang buat membiayainya menikah.

Inilah cerita suami isteri nan kurang adil kepada anaknya dalam hal menikahkan. Seharusnya, kedua orang tua melihat dengan jelas, siapa nan sangat membutuhkan dan siapa nan sudah memiliki kapital buat menikah. Tak sedikit orang tua nan berperilaku tidak adil dengan anaknya. Padahal, anak tersebut ialah ujian dari Tuhan buat mendapatkan pahala nan besar.