Cerita Rakyat Malin Kundang Fiksi Belaka?

Cerita Rakyat Malin Kundang Fiksi Belaka?

Dahsyat! Luar biasa! Ungkapan tepat buat menghargai sebuah cerita rakyat Malin Kundang . Berbagai adopsi cerita rakyat Malin Kundang ini telah terekam dalam berbagai jejak. Di antara jejak-jejak tersebut ada nan berupa cerpen, pertunjukkan sandiwara, sinetron, dan lain-lain.

Saking terkenalnya cerita rakyat Malin Kundang ini sehingga masyarakat sangat percaya kalau dulunya Malin Kundang itu memang ada. Sama dengan cerita Siti Nurbaya nan dianggap benar-benar ada. Mungkin saja ada, tapi cerita fitnah ini begitu terkesan konkret dan sangat hidup.

Kehebatan para penutur cerita pada zaman dahulu memang tidak dapat dipungkiri. Budaya lisan dan ketiadaan bentuk hiburan lain telah membuat para pendongeng mendapatkan loka nan sangat baik di hati masyarakat pada masa itu. Tak terkecuali cerita rakyat Malin Kundang nan sangat terkenal itu.



Bongkahan Batu dalam Cerita Rakyat Malin Kundang

Keberadaan sebuah batu berbentuk manusia dengan serpihan-serpihan bongkahan batu nan dipercaya sebagai reruntuhan bekas kapal megah si Malin Kundang nan terdapat di Pantai Air Manis, Padang, semakin membuat masyarakat konfiden kalau cerita rakyat Malin Kundang ini bukanlah sekadar imbasan jempol.

Bukan pula sebatas cerita pengantar tidur atau kisah nan dijadikan senjata bagi orang tua buat membuat anak-anak mereka menjadi patuh dan tak membangkang dari perintah orangtua. Siapa nan tak takut dikutuk menjadi sebuah batu dan jalan hayati nan tidak baik dilihat orang?

Rasa takut ini ialah senjata nan sangat ampuh bagi orangtua buat membuat anak-anak mereka tak nakal. Saking jahatnya karakter Malin Kundang, hingga kini belum ada satu pun orangtua nan menamai anak laki-laki mereka Malin Kundang.

Pasti ada rasa was-was dan tak tega di hati orangtua kalau kelak anak nan diberi nama ‘Si Malin Kundang’ ini hidupnya akan berakhir tragis seperti akhir cerita rakyat Malin Kundang. Cerita rakyat Malin Kundang ini memperlihatkan kehebatan dari daya kemarahan sang ibunda Malin Kundang hingga membuat murka sang Khalik pemilik bumi dan langit.

Kutukan nan menghantarkan Malin Kundang ke dalam keabadian kisah hingga saat ini. Tidak menutup kemungkinan bahwa cerita rakyat Malin Kundang ini akan menjadi kisah abadi seperti cerita Romeo dan Juliet nan monoton dikisahkan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Betapa sakit hati sang ibunda yang ringkih manakala anak nan diharapkan akan mengangkat harkat dan martabatnya telah melupakan dan menghinakannya di hadapan seorang wanita muda, istri anaknya. Tak ada teriakan histeris ketika wanita tua nan baik hati itu mengutuk anak, darah dagingnya sendiri menjadi batu.

Dia hanya berucap lirih seakan mengadu kepada sang Mahapengasih. “Bila mana laki-laki nan ada di hadapanku ini sahih Malin Kundang, anakku, maka jadikanlah ia batu.” Dalam cerita rakyat Malin Kundang tersebut, Malin Kundang memang tidak diberi waktu oleh sang Pencipta buat meminta ibunya menarik ucapannya.

Sekonyong-konyong selesai ibunya mengucapkan aktualisasi diri lara hatinya, sekejap itu pula sang Khalik mengabulkan pintanya. Mungkin bibir sang wanita tua itu pun belum kering. Seakan patung Malin Kundang membukakan mata semua orang kalau wanita nan ada di hadapan mereka benar-benar ialah ibunda Malin Kundang.

Demi kedahsyatan sumpah seorang ibu inilah nan membuat cerita rakyat Malin Kundang ini begitu menyayat hati dan membuat buluh roma berdiri.



Cerita Rakyat Malin Kundang dalam Kekinian

Cerita rakyat Malin Kundang masih saja menjadi bagian dari pelajaran budi pekerti di sekolah-sekolah. Hal ini patut diberi apresiasi nan baik. Anak-anak Indonesia nan tumbuh dengan majemuk piranti teknologi nan semakin hari semakin canggih butuh diberi kesadaran dengan cerita seperti Malin Kundang tersebut.

Memang cerita rakyat Malin Kundang ini terkesan tidak lekang dimakan oleh waktu. Tapi, semakin lama sepertinya semakin banyak saja nan tak mempercayai kebenaran cerita tersebut. Batu-batu nan ada di Pantai Air Manis itu diperkirakan sengaja dipahat oleh seseorang atau sekelompok orang buat membuat masyarakat konfiden terhadap kebenaran cerita rakyat Malin Kundang.

Mereka berharap bahwa kisah nan menarik dan penuh dengan unsur-unsur mendidik tersebut harus dilestarikan dan tak boleh tergerus oleh perubahan zaman. Ibu tetaplah ibu. Tidak peduli dia ibu nan dianggap baik maupun ibu nan dianggap tak baik. Kesakitan dalam masa kehamilan dan kelahiran tetap saja sama walau dihadapi dengan cara nan berbeda.



Cerita Rakyat Malin Kundang Fiksi Belaka?

Ada nan beranggapan bahwa bila suatu kisah tak tertulis dalam Al-Quran, maka kisah itu hanyalah bualan manusia. Begitupun dengan cerita rakyat Malin Kundang. Cerita ini diperkirakan hanyalah bentuk intrepretasi dari kisah-kisah nan ada di Al-Quran, seperti kisah seorang sahabat nan hampir meninggal, tapi nyawanya tak putus-putus sebab sang ibu sahabat Rasul itu merasa sakit hati terhadapnya.

Rasulullah saw sampai mengatakan kalau sahabatnya itu akan dibakar saja. Akhirnya sang ibunda memaafkan sehingga lapanglah jalan sang sahabat menghadap Allah Swt.

Rasulullah saw pun hingga tiga kali mengatakan bahwa siapa nan harus dihormati terlebih dahulu ialah ibu, ibu, ibu, baru setelah itu ayah. Bukannya Rasulullah hendak mengecilkan peranan seorang ayah, tapi takdir nan diberikan kepada seorang wanita buat mengandung, melahirkan, dan menyusui telah membuat Rasulullah begitu menghargai seorang wanita.

Masyarakat Padang nan sangat agamis niscaya tahu bahwa seorang ibu ialah mahluk nan harus dihormati dan dimuliakan. Kepedihan saat melahirkan, kesusahan saat menyusui dan menjaga sang buah hati ketika kecil ialah bentuk jerih payah nan tidak akan pernah terbayarkan oleh sang anak. Oleh sebab itulah cerita rakyat malin Kundang menjadi semakin inheren di hati.

Ucapan terima kasih dan do’a semoga kubur pencetus cerita rakyat Malin Kundang dilapangkan dan semoga cerita nan galinya itu menjadi amal jariyahnya sehingga menjadi penerang kuburnya akan senantiasa terukir kepada siapa pun nan tahu bagaimana memberikan penghargaan kepada siapa pun nan telah berjasa walau sekecil biji sawi. Kepada nan melestarikan cerita rakyat malin Kundang inipun diucapkan ribuan terima kasih.

Meski begitu, hendaknya cerita rakyat Malin Kundang ini tak menjadikan sumber kesyirikan dan kedurhakaan terhadap Allah Swt. sang Mahakuasa. Keberadaan bongkahan batu nan berbentuk manusia dan beberapa bongkahan batu nan seperti serpihan bekas kapal itu hendaknya disikapi dengan bijaksana dan tak terlalu dicerna tanpa logika.

Mudah-mudahan batu-batu tersebut hanya dianggap sebagai wujud kebendaan nan tak mampu berbuat apa-apa demi kehebatan seseorang bila dia tak berbuat apa-apa. Bagaimana pun bagusnya sebuah kisah dan bagaimana hebatnya akibat sebuah cerita, bila sudah menyangkut aqidah, maka kebenaran tetap kebenaran nan harus diungkapkan dengan sebenar-benarnya.

Tanpa mengecilkan makna cerita rakyat seperti cerita rakyat Malin Kundang dan cerita rakyat lainnya, diharapkan bahwa cerita-cerita tersebut tetap akan memberikan kegunaan kepada perkembangan budi pekerti anak bangsa. Semoga apapun nan mendukung cerita rakyat tersebut, baik bongkahan batu, rumah adat, dan lain-lain, hanya sebatas pendukung cerita bukan sangat diyakini sebagai sebuah kebenaran nan terlalu diagungkan.