Ilmu Kalam pada Zaman Khawarij
Secara harfiah dalam bahasa Arab kata kalam berarti pembicaraan, sehingga ilmu kalam dapat diartikan sebagai ilmu pembicaraan. Namun pembicaraan di sini bukan merujuk kepada pembicaraan dalam pengertian sehari-hari. Dalam istilah, ilmu kalam merujuk kepada pengertian tentang pembicaraan nan menggunakan logika.
Dengan demikian, salah satu karakteristik dari ilmu kalam ialah masalah rasionalitas itu sendiri. Ilmu kalam secara sederhana dapat dijelaskan sebagai salah satu kajian tentang agama Islam nan memfokuskan pada masalah-masalah Tuhan dan segala hal nan menyertainya. Ilmu kalam sering pula dipahami sebagai teologi.
Namun, ketika ilmu kalam dipahami sebagai teologi, harus dibedakan dengan pengertian teologi nan dianut para kaum Kristiani. Karena dalam pengertian Kristen, masalah teologi ini lebih mirip dengan ilmu fiqih dalam agama Islam.
Ilmu kalam termasuk satu dari empat keilmuan nan menjadi bagian krusial ketika seseorang ingin mengkaji tentang agama Islam. Ada empat bidang ilmu nan harus dipelajari ketika akan mengkaji agama Islam, yaitu ilmu kalam, ilmu fiqih, ilmu filsafat, dan ilmu tasawuf.
Bila ilmu kalam mengkhususkan diri pada kajian-kajian tentang Tuhan, maka fokus perhatian ilmu fiqih lebih mengarah kepada hal lahiriah nan berkaitan dengan masalah ibadah formal dan hukum. Sementara ilmu tasawuf berbeda dengan ilmu fiqih sebab fokus perhatian dari bidang ilmu ini mengarah kepada hal-hal batiniah seseorang, seperti pengalaman seseorang dalam hal beragama (Islam) melalui penghayatan-penghayatan.
Adapun ilmu filsafat lebih mengkhususkan diri dalam kajian keislaman melalui perenungan. Keempat disiplin ilmu itu menjadi satu kesatuan bagi siapa saja nan ingin mempelajari dan mendalami agama Islam. Keempat bidang keilmuan tersebut termasuk di dalamnya ilmu kalam, harus dilakukan dan dipelajari secara seimbang sehingga tak akan terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Dalam perkembangan agama Islam itu sendiri, ilmu kalam termasuk nan mendapat perhatian krusial dari para ulama, termasuk juga dalam perkembangan agama Islam di Indonesia. Dalam sistem pedagogi di madrasah ataupun pesantren, masalah ilmu kalam ini menjadi bidang kajian nan tidak dapat ditinggalkan. Hal itu sebab ilmu kalam inilah nan akan memberi dasar dari semua mobilitas langkah dan ibadah nan dilakukan seseorang.
Ilmu kalam menjadi fondasi krusial bagi seseorang dalam kaitannya sebagai makhluk di hadapan Sang Khalik. Tidak mengerankan bila ilmu kalam dalam praktiknya dikenal pula dengan nama-nama lain seperti ilmu aqidah, ilmu tauhid, dan ada pula nan menyebut ilmu kalam sebagai ushuluddin atau dasar-dasar agama.
Mempelajari ilmu kalam secara sahih akan melahirkan pemahaman nan sahih pula tentang kepercayaan seseorang terhadap keberadaan Tuhan. Dalam praktiknya, ilmu kalam diajarkan melalui dogma dengan pendekatan doktrin. Pada dasarnya, nan menjadi inti dari ilmu kalam ialah tak ada hal nan dapat dilakukan secara tawar-menawar mengenai Tuhan.
Sebagai sebuah fondasi nan memberikan pemahaman nan benar, maka ilmu kalam harus diajarkan secara sahih pula tanpa mengundang tanya atau memberi ruang kepada hal-hal nan berakibat munculnya tawar-menawar.
Bila dalam penanaman masalah ketuhanan ini masih memberi ruang buat terjadinya tawar-menawar, dapat dibayangkan akan muncul problem besar di akhir nanti nan akan memungkinkan berubahnya arah pandangan seseorang terhadap agama dan terhadap keberadaan Tuhan.
Mempelajari ilmu kalam memang tak semenarik mempelajari ilmu fiqih maupun tasawuf. Mempelajari ilmu kalam orientasinya buat menanamkan pemahaman nan sahih tentang masalah ketuhanan, berbeda dengan ilmu fiqih nan mempelajari tentang masalah hukum dan ibadah formal. Selain itu, kitab-kitab nan menjadi acum ilmu fiqih juga sangat banyak dan beragam. Dari nan paling sederhana buat kaum awam sampai dengan nan kompleks.
Tidak demikian halnya dengan ilmu kalam. Acum kitab tentang ilmu kalam ini dapat dibilang sedikit. Barangkali, faktor ini pulalah nan menyebabkan minat buat mempelajari ilmu kalam menjadi kurang greget. Acum buat ilmu kalam seperti nan diajarkan di pesantren misalnya, tidaklah terlalu baik selain jawharat al-Tauhid, ‘aqidat al ‘awamm, dan bad’al amal.
Perkembangan Ilmu Kalam
Perkembangan ilmu kalam dimulai beberapa abad setelah wafatnya baginda Nabi Muhammad saw. Ini tentu saja logis, sebab ketika Nabi Muhammad saw. masih ada atau keempat khalifah dan para sahabat dekat masih ada, segala hal tentang ketuhanan ini dapat ditanyakan langsung kepada mereka.
Tidak demikian halnya ketika baginda Nabi Muhammad saw. telah tiada. Dalam mengamalkan agama pun tentu saja sedikit demi sedikit telah mengalami distorsi. Hal ini mendorong orang nan ingin memperbaiki masalah dasar-dasar ketuhanan ini, kembali mengungkap kitab-kitab nan berkaitan dengan ilmu kalam tersebut.
Kalau menilik sejarah perkembangan agama Islam itu sendiri, seperti juga berkembangnya ilmu-ilmu lain, ilmu kalam tumbuh dan berkembang setelah peristiwa rekaan besar, yakni peristiwa tragis pembunuhan Khalifah III, Utsman bin Affan. Pasca peristiwa rekaan besar dalam agama Islam ini, kajian tentang ilmu sosial dan politik mengalami perkembangan dan pertumbuhan nan pesat.
Perkembangan ilmu kalam berkaitan erat dengan perkembangan ilmu mantiq atau ilmu nan didasarkan pada masalah logika seperti nan diajarkan dalam silogisme-nya Aristoteles. Perkembangan ilmu kalam mulai terasa ketika kaum Muslimin mulai dapat menaklukkan negara-negara nan sebelumnya banyak dipengaruhi oleh kebudayaan dan pemikiran-pemikiran Yunani.
Beberapa negara nan menjadi sasaran dari pembebasan Muslim jauh sebelumnya sudah terpengaruh oleh peradaban Yunani, seperti antara lain Irak, Mesir, Syria, Damaskus, Aleksandria, Harran, dan Atiokia. Begitupun Persia nan tidak pernah terpengaruh Kristenisasi tapi tak dapat membebaskan diri dari pengaruh kebudayaan dan peradaban Yunani.
Pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan bermula dari sebuah rangkaian logika antara pengertian dan pemahaman terhadap dosa besar – kafir – menentang Tuhan. Logika itulah nan mendasari Khalifah Utsman bin Affan dibunuh sebab dianggap telah melakukan kesalahan atau dosa besar atau berbuat tak adil pada saat menjadi pemimpin.
Ilmu Kalam pada Zaman Khawarij
Para penerus kaum Khawarij atau kaum pembelot nan kemudian dikenal dengan nama kaum Mu’tazilah merupakan kaum nan banyak mengembangkan ilmu kalam sehingga menjadi seperti sekarang ini.
Berkaitan dengan hal ini, ada ungkapan terkenal dari Ibnu Taimiyyah nan mendasarkan pendapatnya kepada ungkapan Imam Abdullah bin al-Mubarak, yakni agama ialah kepunyaan pakar hadits, kebohongan milik kaum Rafidlah, ilmu kalam kepunyaan Mu’tazilah, dan tipu daya ialah miliknya pengikut pakar Ra’yu.
Bila ilmu kalam merupakan kepunyaan dan menjadi keahlian para kaum Mu’tazilah, maka perkembangan ilmu kalam ini pun tak dapat dipisahkan dari karakteristik khas pemikiran-pemikiran kaum Mu’tazilah, terutama nan menyangkut masalah rasionalitas dan pemahaman tentang pemikiran kaum Qadariyah nan mendasarkan segala perbuatan manusia semata-mata sebagai takdir.
Dengan begitu, manusia itu sendiri tak bertanggung jawab pada apa nan telah dilakukannya. Namun demikian, sebenarnya nan memasukkan unsur rasionalitas dalam agama Islam ini ialah Jahma bin Shafwan nan mendasarkan pendapatnya kepada Aristoteles tentang ketuhanan.
Kegiatan penerjemahan buku dan surat keterangan dari Yunani ke dalam bahasa Arab nan berkembang pesat pada pemerintahan Harun al-Rasyid, semakin memperdalam persinggungan pemikiran kaum Mu’tazilah dalam mengembangkan ilmu kalam tersebut. Misalnya saja kaum Mu’tazilah seringkali menggunakan metoda kaum Jahmi ketika menjelaskan sifat ketuhanan dan kebebasan berpikir manusia.
Pemikiran-pemikiran nan dianggap terlalu rasional ini semakin mempertajam gesekan dengan pengembang ilmu fiqih, termasuk salah seorang dari empat pengembang mazhab ilmu fiqih, yaitu Ahmad bin Hambal. Disadari atau tidak, gencarnya program penerjemahan surat keterangan dan buku-buku Yunani, telah memunculkan para pakar ilmu kalam dan filsafat.
Perselisihan antara kaum kalam dan kaum hadits, menjadi bagian krusial dari perkembangan ilmu kalam itu sendiri. Perselisihan tersebut sebab disparitas pandangan antara kaum hadits dengan kaum kalam tentang sabda Allah nan berwujud Alqur’an. Pertanyaan nan fundamental tentang sabda Allah ini ialah apakah Alqur'an termasuk qadim atau hadits?
Qadim ialah tidak terciptakan dan menjadi satu dengan hakikat Allah, sedangkan hadits ialah terciptakan sebab berupa suara nan ditafsirkan dengan huruf dan bahasa Arab.
Para kaum hadits seperti diwakili oleh pendapat Ahmad bin Hambal, meyakini bahwa Alqur’an itu ialah qadim sebab menyatu dengan dzat Allah, sedangkan kaum Mu’tazilah dan Khalifah al-Ma’mun menganggap bahwa kalam Alqur’an ialah hadits sebab ada wujud suara sebagai aktualisasi diri dari huruf dan bahasa Arab.
Silang pendapat tentang masalah ini pun semakin meruncing. Hal inilah nan menyebabkan Ahmad bin Hambal dipenjara. Inilah nan menandai perkembangan ilmu kalam .