Kasih Sayang Suami, Kasih Sayang Istri, Kasih Sayang Allah

Kasih Sayang Suami, Kasih Sayang Istri, Kasih Sayang Allah

Mendengar kata menikah, niscaya di benak anda terlintas sebuah memori, harapan, bayangan, atau dapat jadi sebuah asumsi nan baru anda duga-duga. Memang, kata "menikah" saja dapat melahirkan berbagai persepsi nan berbeda tiap orang, bahkan penggambarannyapun dapat bermacam-macam. Pernikahan dapat jadi sesuatu nan harus dipertahankan, masih menjadi impian, atau menjadi tujuan perjuangan hayati seseorang. Dengan kata lain, persepsi anda tentang menikah dapat menjadi motivasi hayati tanpa anda sadari atau dengan anda sadari.

Menikah ialah peristiwa krusial dalam hayati seseorang. Bahkan, secara continue masyarakat menamai menikah sebagai "susunan hayati baru"yang artinya menikah bisa benar-benar merubah susunan hayati seseorang. Bagaimana tidak? Aspek-aspek dalam kehidupan manusia setelah menikah secara langsung akan saling terbuka dan terorganisasi bersama atas dasar cinta. Cara hayati nan bhineka akan mulai ditata bersama sebagai langkah buat mencapai tujuan bersama.

Dalam perspektif agama islam, pernikahan termasuk ke dalam peristiwa nan sakral dan agung. Anggaran mengenai pernikahanpun diatur sedemikian rupa dengan hukum nan tercantum dalam Al-Quran. Pernikahan juga diibaratkan sebagai tangga menuju surga. Selain itu, juga merupakan satu-satunya ikatan nan dapat membuat manusia hayati bersama seumur hayati bahkan selamanya. Untuk itu, pernikahan diikat oleh sebuah janji nan Allah sebut sebagai " mitsâqan ghalidzâ"(perjanjian nan kokoh).



Mitsâqan ghalidzâ dalam Al-Quran

Istilah mitsâqan ghalidzâ merupakan istilah buat menyebut perjanjian nan kokoh mengenai suatu hal dalam islam. Istilah ini bukan istilah nan main-main. Dalam Al-Quran, Allah Swt menyebut mitsâqan ghalidzâ hanya buat tiga kondisi. Pertama, ketika Allah Swt membuat perjanjian dengan para nabi, yaitu dengan Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Rasulullah saw. Al-Quran menyebutkan,

" Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian nan teguh ." (QS Al-Ahzab, 33:7)

Kedua, ketika Allah Swt mengangkat bukit Thursina di atas kepala orang-orang Bani Israil dan menyuruh mereka buat bersumpah setia di hadapan-Nya. Al-Quran menyebutkan,

" Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina buat (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka, 'Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud', dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka, 'Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu', dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian nan kokoh ." (QS An-Nisâ', 4: 154)

Ketiga, ketika Allah Swt merestui interaksi pernikahan dua orang hamba berlainan jenis.

" Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah berteman (bercampur) dengan nan lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian nan kuat ," demikian firman Allah Swt dalam QS An-Nisâ', 4: 21.

Pada ayat ketiga, Al-Quran pun menempatkan ayat tentang perkawinan, yaitu —QS Ar-Rûm, 30: 21— dalam rangkaian ayat nan membicarakan tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta, yaitu tentang tegaknya langit, tentang hamparan bumi, turunnya hujan, gemuruh halilintar, dan keajaiban penciptaan manusia. Dilihat dari perspektif ini saja, sumpah setia antara dua insan di hadapan penghulu buat mengikatkan diri dalam tali pernikahan ialah peristiwa monumental nan teramat suci.

Dari ayat tersebut, bisa dikatakan bahwa perjanjian dalam pernikahan merupakan salah satu perjanjian nan kuat, nan mengikat interaksi antara kedua insan dengan landasan dan hukum islam nan kuat pula. Ini juga membuktikan bahwa Allah selalu menuntun manusia agar bertanggung jawab dan setia dalam pernikahan dengan panduan nan kuat. Namun, kembali lagi pada manusia nan bagaimanapun harus menepati janji nan telah diikrarkan.

Janji nan diucapkan, sejatinya tak hanya dari satu mempelai ke mempelai lainnya, tetapi juga kepada Allah dan kepada semua nan hadir dalam prosesi tersebut, termasuk kepada para malaikat nan melingkupi prosesi sakral tersebut. Janji nan terucap bukan hanya sebagai prosesi pernikahan saja, melainkan sesuatu nan benar-benar disaksikan oleh Allah, malaikat, manusia, dan pasangan nan berada di sampingnya.



Janji, Ikatan, Komitmen, dan Pernikahan

Sebuah janji saja pada dasarnya harus ditepati, apalagi sebuah janji kudus nan telah diberi gelar oleh Allah sebagai Mitsâqan ghalidzâ. Perjanjian perkawinan nan kokoh merupakan perjanjian terindah dan teristimewa nan didasarkan atas cinta, impian, dan perjuangan. Dengan adanya penguatan bahwa pernikahan merupakan perjanjian nan kokoh, manusia memiliki landasan nan lebih kuat selain cinta, impian, dan perjuangan buat melaksanakan pernikahan di jalan Allah.

Mahmud Muhammad Al-Jauhari memberi citra bahwa siapa pun nan telah berani mengikrarkan perjanjian nan kokoh, ia harus berusaha seoptimal mungkin buat menjaganya. Betapa tidak, itulah karakter orang beriman dalam berkeluarga, selain sebagai bukti ketundukan dirinya dalam mengamalkan hukum-hukum Allah secara utuh. Pernikahan nan demikian dapat membawa banyak berkah.

Perjanjian nan kokoh membuat sepasang suami istri harus memiliki komitmen buat saling setia, saling menjaga, saling melengkapi, saling mengayomi, dan saling menyayangi. Saling percaya saja tak cukup tanpa diimbangi dengan komitmen tersebut. Komitmen juga tak dapat berjalan dengan satu pihak saja nan mendominasi. Baik istri maupun suami harus memiliki tekat dan komitmen nan sama buat menepati janji pernikahan.

Khianat dan cerai menjadi sisi 'anonim' dari sebuah perjanjian perkawinan nan kokoh. Bahkan, dikatakan bahwa khianat dan perceraian dapat mengguncang Arsy. Singgasana Tuhan (Arasy) tak akan berguncang saat seseorang meninggalkan ibadah puasa, tak akan berguncang ketika seseorang meninggalkan shalat, zakat, atau ibadah haji. Namun, Arasy akan berguncang ketika sepasangan suami istri saling mengkhianati dan memutuskan interaksi perkawinan.



Kasih Sayang Suami, Kasih Sayang Istri, Kasih Sayang Allah

Perkawinan menandai bersatunya "darah daging" dua insan berbeda jenis. Karena sudah bersatu, di antara mereka tak ada lagi rahasia. Aspek kehidupan dua insan manusia akan saling terbuka. Surga juga dapat terbuka sebab perkawinan, neraka pun dapat terbuka lebar sebab perkawinan. Seseorang nan menyayangi pasangannya, pasti ia akan disayangi Zat Yang Maha Penyayang. Bukankan Rasulullah saw pernah bersabda,

" Orang-orang nan berkasih sayang akan dikasih sayangi oleh nan Maha Pengasih dan Penyayang. Karena itu, kasih sayangilah manusia di bumi pasti (Dia) nan di langit akan mencurahkan kasih sayang-Nya kepadamu ." Inilah hakikat mitsaqan ghalidzâ .

Melalui sabda Rasulullah SAW tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa pernikahan memang mendekatkan kita dengan surga apabila dijalankan dengan sebaik-baiknya. Hal ini tentu saja sangat masuk akal, mengingat sabda Rasul nan menyatakan bahwa afeksi antara suami istri dapat menjadi jalan buat mendapat curahan afeksi dari Allah. Bahkan, bukan hanya surga, di duniapun manusia nan demikian mendapat afeksi dari Allah melalui berbagai hal dalam hidupnya.

Berbicara mengenai kasih sayang, pernikahan merupakan suatau pengikat afeksi antar manusia dengan cara nan mulia. Melalui pernikahan, cara manusia berkasih sayang satu sama lain menjadi lebih berarti dalam sebuah kehidupan bersama. Bahkan, afeksi nan terikat sebuah janji tersebut tak hanya berhenti pada suami dan istri saja. Anak-anak akan mulai berkasih sayang dengan orang tuanya dan sebaliknya.

Kasih sayang antar dua sejoli akan melahirkan afeksi nan lebih banyak lagi. Anak-anak akan belajar mengenai afeksi dari ayah dan ibunya, hingga sampai anak-anak nan selanjutnya. Dengan demikian, pernikahan akan membawa manusia ke dalam jalinan afeksi nan tidak pernah putus sehingga afeksi Allah terus mengalir pada kita dan anak-anak kita.

Saling mencintai berarti saling berjanji. Pernikahanlah wadah dari itu semua. Perjanjian kokoh juga buat mengikat dua sejoli buat menjalani hayati bersama hingga akhir hayat. Karena, hayati bersama tidak lepas dari disparitas nan kadang akan menimbulkan masalah. Janji itulah nan harus diingat agar pernikahan tak hancur sebab perbedaan. Kelebihan dan kekurangan manusia ialah bagian dari hidup.