Menikah Sebuah Paksaan
Siapa nan tidak kenal dengan pahlawan Kartini ? Setidaknya setiap tanggal 21 April selalu diperingati sebagai Hari Kartini, sebab pada tanggal 21 April itulah pahlawan Kartini lahir ke dunia. Pesan moral dan semangat Kartini tentang emansipasi wanita selalu digaungkan setiap tanggal tersebut. Pahlawan Kartini ialah salah satu pahlawan wanita nan berasal dari Rembang, Jawa Tengah. Disparitas Kartini dari pahlawan wanita lain nan dikenal di Indonesia ialah tentang caranya dalam berjuang buat kemajuan bangsa ini. Kartini tak berjuang dengan cara fisik buat memperjuangkan apa nan diyakininya.
Perayaan hari Kartini selalu identik dengan pergelaran dan parade busana tradisional. Di sekolah-sekolah buat hampir semua jenjang, penyelenggaraan lomba peragaan busana ini menjadi kewajiban nan setiap tahun tidak pernah luput. Tradisi ini juga kemudian meluas ke taraf lebih tinggi dengan beberapa tambahan acara. Sentuhan hari Kartini juga terasa pada televisi nasional dan pusat-pusat perbelanjaan, nan diimplikasikan dalam penggunaan busana tradisional. Dan sedikit sekali nan mengisi seremoni hari Kartini dengan acara-acara nan membangkitkan kembali upaya-upaya dan pemikiran nan telah digagas Raden Adjeng Kartini.
Mengisi seremoni hari Kartini dengan peragaan busana atau mewajibkan mengenakan baju tradisional pada setiap 21 April, memang tak salah. Namun apabila tak disertai dengan usaha-usaha buat membangkitkan nilai-nilai dan gagasan Kartini, dikhawatirkan akan terjadi proses pengerdilan makna. Sehingga – seperti nan terjadi pada kebanyakan peristiwa sejarah nan terjadi dengan bangsa ini – pengetahuan masyarakatnya hanya sampai pada mengingat tanggal dan tahun kejadian bukan pada semangat apa nan secara hakiki telah menggerakkan berlangsungnya peristiwa tersebut.
Pahlawan Kartini Dan Perempuan Terpinggirkan
Sikap pahlawan Kartini ialah sebab keberaniannya buat mendobrak tradisi antik nan dianut oleh masyarakat Indonesia pada masa itu, khususnya di tengah masyarakat Jawa. Pada masanya, perempuan ialah makhluk nan terpinggirkan dan tak memiliki hak buat menikmati kebebasan sebagaimana nan diperoleh kaum laki-laki.
Hal ini disebabkan, pada masa Kartini masih hayati tradisi antik peninggalan jaman kerajaan masih demikian kuat inheren di tengah sistem masyarakat. Pembedaan kasta nan didasarkan pada faktor keturunan demikian kuat dijadikan sebagai tata krama pergaulan. Sehingga pada saat itu, kehidupan masyarakat terkotak-kotak antara rakyat jelata dan keturunan bangsawan.
Sistem ini menjadikan perempuan, khususnya nan berasal dari kalangan rakyat jelata menjadi tumbal atas kondisi tersebut. Para perempuan jelata tak memiliki peran kecuali sebagai pembantu di rumah mereka sendiri. Tugas mereka hanyalah megurus kebutuhan suami serta merawat rumah dan pekerjaan rutin rumah tangga lain, seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci serta melayani suami di atas loka tidur.
Di sisi lain, kaum lelaki memiliki kebebasan tanpa batas buat beraktivitas di luar rumah. Hanya perempuan dari kalangan bangsawan saja, nan dapat sedikit beruntung dengan mendapatkan kesempatan buat belajar. Itu pun masih terbatas pada lingkup kerabat keluarga penguasa wilayah saja. Pahlawan Kartini salah satunya nan mendapat kesempatan buat mengenyam pendidikan, berkenalan dengan global luar dengan lebih bebas. Namun keberuntungan nan dirasakannya itu dirasakan sebagai beban berat mengingat perempuan lain di masyarakatnya samasekali terbelenggu dan terpinggirkan. Inilah nan kemudian melahirkan kegelisan dan kegelisan itu pula nan mendorong dirinya buat bersikap. Bersikap menentang adat nan menurutnya tak adil tersebut.
Posisinya sebagai seorang anak Bupati, menjadikan pahlawan Kartini dapat merasakan global intelektualitas. Dirinya sempat mengenyam pendidikan di ELS, sehingga memungkinkannya buat dapat membaca serta menulis. Hal inilah nan kemudian membuka mata hatinya buat melawan semua tradisi antik tersebut dan membukakan pintu kemerdekaan buat kaum perempuan di masanya dan sesudahnya, atas apa nan dinamakan emansipasi.
Menelusuri semangat Kartini baik pada saat memandang dirinya sebagai perempuan Jawa di hadapan perempuan eropa, maupun pemikiran-pemikirannya pada saat ia berhadapan dengan dogma agama dan sosio kultur lingkungan Jawa, merupakan kapital primer buat merevitalisasi semangat Kartini nan dapat diimplemantasikan pada kekinian. Masalah hukum agama Islam tentang poligami misalnya, termasuk masalah nan dikritisi Kartini pada usianya nan masih belia. Pada teman korespondensinya, Estelle Zeehandelaar, Kartini mengungkapkan bagaimana lingkungan adat Jawa nan membelenggu kaum perempuan. Perempuan di Jawa saat itu tidak boleh bersekolah tinggi, usia 12 tahun harus mulai dipingit , harus rela dinikahkan dengan laki-laki mana saja sekalipun tak saling mengenal dan tentu saja harus bersedia dimadu (poligami)
Sejarah Pahlawan Kartini
Pahlawan Kartini lahir di Rembang, 21 April 1879 dari pasangan bupati Rembang nan bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan ibu bernama M.A. Ngasirah. Masa kecil dilaluinya dengan mengikuti pendidikan di ELS atau Europese Lagere School , nan merupakan sekolah setingkat sekolah dasar.
Dari global pendidikan nan dinikmatinya dalam sekejap tersebut, Kartini muda kemudian berkenalan dengan seorang remaja putri dari Belanda nan bernama JH. Abendanon. Mereka aktif saling bertukar kabar melalui surat nan dikirimkan.
Dalam suratnya, Kartini banyak bercerita dan mencurahkan kegelisahannya atas kondisi nan dihadapinya. Gayung bersambut, sahabatnya tersebut memberikan dorongan kepada Kartini buat memulai perlawanan dalam memperjuangkan kebebasan kaum perempuan dalam berekspresi. Kumpulan surat-surat Kartini ini kemudian disusun ke dalam sebuah buku nan berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Meski demikian, pahlawan Kartini tetaplah seorang perempuan nan hayati di dalam sistem kerajaan. Di mana pada masa itu, perintah seorang ayah nan merupakan kepala rumah tangga ialah sebuah perintah nan tak dapat dibantah. Dan ini pun dirasakan oleh Kartini. Pada awalnya pahlawan Kartini tak mengira bahwa ayahnya nan dianggap lebih demokrat itu akan memperlakukan dirinya sama seperti orang tua lainnya. Pahlawan Kartini samasekali tak akan mengira dirinya akan bernasib sama seperti perempuan lainnya pada masa itu.
Menikah Sebuah Paksaan
Salah satu paksaan nan mau tak mau harus dituruti pahlawan Kartini ialah pada usia 24 tahun, ia dipaksa buat menikah dengan seorang lelaki pilihan orang tuanya. Kartini tak memiliki kekuasaan sedikitpun buat menolak perintah sang ayah. Sekalipun telah mengenyam pendidikan dan mulai pandai bersurat-suratan dengan sahabatnya seorang eropa, ini tak menjadikannya terbebas dari paksaan kawin muda. Akhirnya, Kartini meninggal dalam usia 25 tahun pada saat melahirkan putra pertamanya. Dan sebab jasanya nan sangat besar dalam mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia inilah, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan kepada Raden Ajeng Kartini. Tugas dan cita-cita pahlawan Kartini memang belum selesai. Setidaknya menjadikan perempuan menjadi sederajat dalam hal pendidikan dan kesempatan buat mengembangkan diri masih dirasakan belum sepenuhnya sukses sampai dengan hari ini. Di lain pihak sendiri perempuan Indonesia sering keblablasan dalam mengimplementasikan nilai-nilai dan semangat Kartini tentang emansipasi tersebut. Tidak sporadis dengan dalih emansipasi, memposisikan sejajar dalam segala hal dengan kaum perempuan sehingga telah kehilangan kodratnya sebagai perempuan. Padahal pada kodratnya itulah beda antara laki-laki dan perempuan. Ini kemudian menjadi dilema dan masalah besar bagi bangsa ini.
Pahlawan Kartini memang telah tiada, namun semangatnya tetap bergaung, sekalipun seringkali disederhanakan dengan cukup merayakannya Hari Kartini pada setiap tanggal 21 April dan menggunakan baju adat atau baju tradisional sebagai wujud dari semangat itu. Sayang memang, nilai-nilai luhur nan diperjuangkan pahlawan Kartini terlalu sederhana diterjemahkan generasi berikutnya tersebut.