Merawat Harapan?

Merawat Harapan?

Tahun baru masalah lama. Penegakan hukum di Indonesia geger lagi gara-gara Gayus. Tidak cukup plesiran ke bali. Gayus pergi ke tiga negara. Publik berang bukan kepalang. Manusia ini mampu menembus tembok hukum kita. Bahkan paspor pun dapat dipalsukan. Gayus menjelma jadi Super Gayus.

Dagelan ini kian lucu ketika Gayus mengajukan diri buat menjadi staf pakar kapolri/ jaksa agung/ KPK. Gayus mengklaim dalam tiga tahun mafia hukum di Indonesia akan ditumpas. Kurang lucu apa lagi, bukan? Kini asa publik sudah ada di titik nadir. Merasakan psikologi hukum masyarakat terasa disayat.

Mantan Kapolri BHD berucap bahwa jika kasus Gayus dibongkar maka negeri ini akan geger. Karena menyeret orang berkuasa. Indonesia berada dalam jurang kehancuran hukum.



Apa Itu Psikologi Hukum?

Menurut Soerjono Soekanto (1983) psikologi hukum “..adalah studi hukum nan akan berusaha menyoroti hukum sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari konduite atau sikap tindak tersebut”.

Lebih Khusus Lagi ciri Bahasa Dari pendekatan psikologi terhadap Hukum, sebagaimana dinyatakan Oleh Lawrence Wrightsman (1991 ::

"... Pendekatan psikologis terhadap hukum menekankan determinan manusia hukum. Begitu sosiologi dan antropologi - tetapi fokus dalam pendekatan psikologis pada individu sebagai unit analisis. Individu dipandang sebagai bertanggung jawab atas konduite mereka sendiri dan sebagai kontribusi terhadap penyebab nya. Psikologi melihat akibat dari polisi, korban, juri, pengacara, hakim, terdakwa, penjaga penjara, dan petugas pembebasan bersyarat pada sistem hukum. Psikologi mengasumsikan bahwa ciri dari peserta pada imbas sistem hukum bagaimana sistem beroperasi. Dalam "karakteristik", meliputi kemampuan orang-orang ini ', perspektif mereka, nilai-nilai mereka, pengalaman mereka - semua faktor nan mempengaruhi konduite mereka.”

Menurut Haney (Curt Bartol, 1983: 20-22), bahwa interaksi psikologi Dan Hukum bisa dilihat dalam Tiga metoda analisis, yaitu:

"Psikologi bisa berhubungan dengan hukum dalam tiga cara: psikologi dalam hukum, psikologi dan hukum, dan psikologi hukum" .... psikologi dalam interaksi hukum ialah pelaksanaan nan paling sering psikologi buat sistem hukum. Dalam situasi ini, jurits menggunakan psikolog dan knowlegde mereka buat kasus-kasus spesifik, seperti dengan meminta mereka bersaksi tentang kondisi mental terdakwa atau berkonsultasi dengan pengacara mengenai pemilihan juri. .... psikologi dan hukum, baik psikologi maupun hukum mendominasi atau mendikte nan lain. .... psikologi hukum, kekhawatiran itu sendiri dengan hukum sebagai penentu konduite ".

Bahkan hukum itu sendiri dapat dirubah oleh kondisi psikologis pelaku nya, sebagaimana Craig Haney melanjutkan (Curt R. Bartol, 1983: 21-22):

"Jika hasilnya negatif, pada sistem hukum memilih buat tak mengubah mekanisme dan pemikiran ke arah bukti ilmiah, maka anggota masyarakat terdidik akan prihatin dengan lautan psikologis fiksi (buruk serba tipuan) di dalam sistem peradilan bisa (atau akan) menuntut perubahan. Dengan demikian, psikologi bisa digunakan buat mengubah doktrin hukum serta mengubah sistem dan di mana hukum dikembangkan atau dikelola ".

Dengan demikian, psikologi bisa digunakan buat mengubah doktrin hukum serta merubah sistem di mana hukum dikembangkan dan ditangani. Kemudian dalam sisi lain dari hukum psikologis ini, akan muncul dan di perhatikan hukum sebagai penentu perilaku.

Maka interaksi psikologis hukum akan memperhatikan hukum sebagai penentu perilaku. Bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat dan bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum? Psikologi hukum meneliti ketidakadilan sosial dan mencoba memahami mengapa orang membiarkan hal hal berbau kebohongan, kong kalikong, atau tuduhan hukum buat memungkinkan masyarakat buat tumbuh dan mengapa kebijakan nan dianggap berbahaya atau bala buat melanjutkan hal semacam ini tanpa pengawasan?

Dilanjutkan pula Michael J. Saks (1978), menggambarkan konduite hakim nan bisa mempengaruhi keputusan pengadilan, seperti nan digambarkan dalam hasil penelitiannya, yaitu:

"Karena keputusan hakim imbas taraf keyakinan Kejaksaan, dan refleksinya pada catatan penangkapan petugas polisi. Aktor dalam sistem nan baik akan mengantisipasi atau cepat menanggapi perubahan konduite hakim".

Dalam menjelaskan studi psikologi dengan kaitannya pada hukum, tampak seolah-olah hukum ialah bagian dari studi sosiologi hukum, tapi menilai dari obyek kajiannya, tampak disparitas antara keduanya.

Namun, ada juga beberapa pakar nan menempatkan hukum sebagai bagian dari psikologi sosial. Terlepas dari perbedaan, nan krusial buat mengetahui hukum studi psikologi dan ciri pendekatan nan berbeda atau studi realitas lainnya.

Dengan demikian, interaksi psikologi dan hukum merupakan kawan sejajar dalam analisis sistem peradilan, khususnya dalam melakukan penelitian tentang kebijakan hakim, perintah pengadilan, dan keputusan nan akan saling berkaitan langsung di kasa depan.

Dan itu ditunjukkan lewat melenggang bebasnya para koruptor di negeri ini, nan lantas malah membawa semacam sisi psikologis kemarahan dan ketidakpercayaan pada hukum. Masyarakat ingin nan serba cepat dan mengarah langsung kepada jantung pelaku korupsi, tapi sistem hukum tak menyediakan hal itu. Maka mereka akan mencari pelarian di luar sistem hukum Indonesia lewat jalan main hakim sendiri.

Itu pula nan terjadi saat aparat hukum negara dalam hal ini ialah Tentara, nan notabene juga di sebut tentara elite Kopassus, mengeksekusi narapidanan kasus pembunuhan di Lapas Lebongan, Yogyakarta. Kejadian ini menyiratkan pelanggaran demi pelanggaran petugas hukum, menjadikan aparat hukum sendiri tak percaya diri.



Psikologi Hukum Masyarakat

Masyarakat kaget bukan kepalang ketika Gayus mampu melenggang bebas ke luar negeri. Padahal Gayus ditahan di mako Brimob. Penjara nan syahdan sulit ditembus. Tapi, ketika uang berbicara maka semua itu mudah. Money talks monkey walks . Gayus bebas berkeliaran. Bahkan, disinyalir sudah puluhan kali.

Namun, paradoksal ketika melihat Bu Rasminah nan ditahan hanya sebab persoalan piring. Lalu joki penjara nan dibayar 10 juta. Psikologi hukum masyarakat sudah hopeless . Titik cahaya itu kian memudar. Karena hukum seolah tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Hukum kini jadi alat mainan sang berkuasa. Untuk orang nan bergelimang duit dan kuasa hukum dapat diatur. Bagi si miskin jangan macam-macam. Sedikit berbuat salah dapat dijebloskan penjara.

Maka psikologi hukum masyarakat sudah tak percaya pada aparat penegak hukum. The truth is out there and the lie is here . Kebohongan sudah lazim dibuat. Namun seolah itu bukan barang haram. Terus berulang dan kembali berulang.



Merawat Harapan?

Ketika situasi genting ini terus menerus berlangsung. Maka masyarakat sudah kehilangan harapan. Mereka memendam rasa ini. Terkesan terkubur. Namun, suatu waktu dapat meledak. Dan menjelma jadi revolusi. Dalam hal ini leadership sangat berperan. Cuci tangan dan campur tangan berbeda tipis. Ini bukan semata soal hegemoni hukum. Namun pembenahan sistem nan sudah sakit.

Leadership adalah soal tuntunan bukan tuntutan semata. Maka nasib hukum kita akan bergantung pada leadership . Bila jalan ini macet, pasti pemberontakan tinggal menunggu waktu. Silence is not always gold . Berdiam diri bukan jalan terbaik. Maka mumpung masyarakat masih “sabar”. Leadership harus berdiri di depan. Membereskan masalah ini secara clear . Mengutip pernyataan Presiden, ini test of our history , bukan?