Rukun Iman Ketiga dalam Filsafat Etika - Effect

Rukun Iman Ketiga dalam Filsafat Etika - Effect

Telinga kita tentu sering mendengar istilah filsafat etika atau lebih singkatnya etika. Ya, begitu banyak orang-orang menggunakan istilah ini dalam berbagai kesempatan. Misal dalam hal berumah tangga, bisnis, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Namun, apakah kita sudah mengetahui apa itu filsafat etika sebenarnya?

Nah, agar di kemudian hari kita tak salah menggunakan istilah ini, penulis akan mengajak Anda dan pembaca lainnya buat mengenal lebih dekat filsafat etika. Untuk memulai proses taaruf ini, penulis akan mengajak Anda buat mengamati cerita terlebih dahulu. Simak.

Alkisah, seorang gadis cantik tengah dilanda kebingungan. Betapa tidak, ia dihadapkan pada dua pilihan nan sangat sulit. Kalau memilih pilihan pertama, ia tak sampai hati mengabaikan pilihan kedua. Namun, seandainya ia memilih nan kedua, ia pun tak tega buat meninggalkan pilihan pertama.

Kedua pilihan tersebut sama baiknya, sama bermanfaatnya, nyaris sama bobotnya, namun bertolak belakang. Pilihan pertama, ia harus menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya. Lelaki ini tak sembarangan, ia mapan, pintar, taat beragama, lumayan ganteng, dan berasal dari keluarga terhormat pula. Orangtua si gadis tak memberi alternatif lain, selain ia harus menikah dengan pilihan mereka.

Padahal, pada saat nan bersamaan, si gadis sudah memiliki calon nan sangat dicintainya. Walau tak semapan lelaki pertama, ia sudah merasa cocok dengan pilihannya tersebut. Bahkan, di antara mereka sudah terucap janji setia buat segera melangkah ke pelaminan.

Pilihan manakah nan terbaik? Kedua-duanya terlihat baik. Menikah ialah kebaikan, bernilai ibadah malah, patuh kepada orangtua pun juga baik. Namun, pada sisi lain, memegang teguh janji nan sudah terucap tak kalah pula kebaikannya. Sudah cukup dikatakan jelek ketika seorang kekasih mengkhianati kekasihnya!

Sejatinya, si gadis cantik dalam kisah ini, tengah mengalami permasalahan etika. Ia dituntut buat memilih dua hal nan sama baiknya, sama etisnya, akan tetapi saling bertentangan sehingga salah satu di antaranya harus dikorbankan.

Dengan demikian, manakah nan terbaik? Apakah baik mengkhianati cinta demi berbakti kepada orangtua? Atau, mengorbankan perasaan orangtua demi membahagiakan sang kekasih?

Pada hakikatnya, sejak dahulu hingga sekarang,manusia senantiasa bertanya tentang mana nan baik dan mana nan buruk. Betapa tidak, selama hidupnya ia selalu di hadapkan pada pilihan-pilihan etis nan seringkali tak dapat dijawab oleh agama dan ilmu pengetahuan.

Inilah nan kemudian melahirkan sebuah genre dalam filsafat nan disebut filsafat etika. Sederhananya, etika ialah sebuah genre filsafat nan berusaha memecahkan persoalan tentang perbuatan nan baik dan nan buruk.

Dalam sejarah perkembangan ilmu, Filsafat etika merupakan genre pertama dalam filsafat, dengam Socrates -sang mahaguru para filsuf- sebagai pelopornya. Ada dua pertanyaan krusial nan mendasari filsafat etika, yaitu:

  1. Apa nan dimaksud hayati nan baik itu? What is the good life?
  2. Bagaimana kita bertingkah laku? How should we act?

Pada perkembangan selanjutnya, pembahasan dalam filsafat etika berkutat pada tiga "rukun iman" nan senantiasa ada dalam sebuah perbuatan, sebagai jawaban dari dua pertanyaan inti tersebut, yaitu:

  1. Pelaku atau orang nan melakukan tindakan ( agent )
  2. Tindakan atau kelakuan ( deontologis )
  3. Akibat dari perbuatan tersebut ( effect )

Apa maksudnya? Anda tentu masih bingung dengan poin-poin nan disebutkan di atas, bukan? Tenang, apa nan Anda rasakan memang wajar, sebab poin-poin tersebut memang belum diuraikan lebih jauh dan belum memiliki klarifikasi sama sekali. Untuk itu, agar tak membingungkan pembaca, penulis akan berusaha mengurai tiap poin tersebut dalam bahasan berikut.



Rukun Iman Pertama dalam Filsafat Etika - Agent

Menurut para penganut rukun nan pertama, sesuatu itu dikatakan baik dan sahih kalau dilakukan oleh orang-orang nan baik. Jadi, baik dan jelek sangat ditentukan oleh pelaku atau subjek. Rukun pertama filsafat etika ini kemudian melahirkan aliran-aliran dalam etika, di antaranya legalisme (etika hukum), bahwa baik dan jelek ditentukan sepenuhnya oleh hukum.

Sebagai penduduk nan tinggal di negara hukum, tentu tak sulit memahami rukum iman pertama filsafat etika ini. Kita dapat dengan mudah melihat sesuatu itu baik atau jelek berdasarkan atas melanggar atau tidaknya perbuatan tersebut kepada hukum. Misal, kita bisa dengan mudah menyebutkan bahwa pencurian ialah salah satuetika nan jelek sebab jelas-jelas melanggar hukum.

Namun, jika melihat sesuatu berdasarkan pada rukun iman filsafat etika nan pertama ini, tentunya akan sulit menjelaskan mengenai etika nan dilakukan oleh (mantan) orang dursila nan mencoba berbuat baik. Akan selalu ada asumsi negatif nan menempel pada (mantan) orang dursila ketika berbuat baik sekalipun.



Rukun Iman Kedua dalam Filsafat Etika - Deontologis

Pandangan penganut rukun iman pertama dalamfilsafat etika berbeda dengan penganut rukun iman filsafat etika nan kedua. Menurut mereka, baik dan sahih sangat didasarkan pada tindakan atau perbuatan itu sendiri, bahwa perbuatan nan baik itu sudah baik dari sananya, terlepas dari siapa pelakunya dan apa akibatnya.

Berlaku jujur itu ialah baik dan ia tak dapat diganggu gugat. Menolong orang itu merupakan sebuah kebaikan, baik itu dilakukan oleh seorang pencuri maupun seorang kiai.

Rukun kedua filsafat etika ini kemudian melahirkan beberapa genre etika, semacam virtue ethics nan menyatakan bahwa sahih dan salah itu didasarkan pada perbuatan-perbuatan nan dapat membawa orang menjadi lebih baik.



Rukun Iman Ketiga dalam Filsafat Etika - Effect

Adapun menurut rukun iman dalam filsafat etika nan ketiga, baik dan benarnya suatu perbuatan didasarkan pada dampak nan ditimbulkannya. Suatu perbuatan dianggap baik apabila membawa dampak (konsekuensi) nan baik dan menguntungkan.

Sebaliknya, suatu perbuatan dianggap jelek apabila membawa dampak nan jelek dan tak menguntungkan -baik bagi diri sendiri maupun orang banyak. Rukun etika nan ketiga ini melahirkan aliran-aliran semacam egoisme, emotivisme, hedonisme.

Ketiganya menekankan pada kebaikan, kepuasan diri, dan utilitarianism nan menyatakan bahwa suatu perbuatan disebut baik kalau membawamanfaat bagi sebanyak-banyaknya orang.

Kembali ke cerita tadi. Lantas, bagaimana seharusnya tindakan sigadis tersebut agar sinkron dengan filsafat etika? Masih bingung, bukan? Ya, memang, jika berkaca kepada holistik rukun iman dalam filsafat etika di atas, perbuatan gadis nan memilih menuruti orangtuanya maupun mengikuti keinginannya buat membahagiakan kekasih, keduanya tidaklah salah, namun tak pula benar.

Akan menjadi etika nan baik dan sahih jika si gadis merupakan penganut salah satu rukun filsafat etika. Ya, semua kembali kepadakepercayaan si gadis, jika ia menganut rukun filsafat etika kedua misalnya, maka perbuatan menikah itu baik, maka dengan siapapun si gadis itu menikah, ia telah melakukan sesuatu nan benar.

Pun jika ia menganut rukun iman filsafat etika nan pertama. Apapun nan dilakukannya tentu saja sudah benar, sebab kebenaran itu terlahir darisikap atau pelakunya nan merupakan orang baik. Namun akan jadi berbeda jika ia menganut rukun iman filsafat etika nan ketiga. Apapun nan dilakukannya akan menjadi salah. Memilih menikah dengan pilihan orangtua tentu akan menyakiti perasaan kekasihnya, demikian juga sebaliknya.

Jadi, mengenai pilihan si gadis dalam cerita tersebut tentunya harus dikembalikan lagi pada si gadis itu sendiri dengan filsafat etika nan dianutnya.