Papua dan Tinjauan Berdasarkan Geologis

Papua dan Tinjauan Berdasarkan Geologis

Pulau Papua atau nan dikenal oleh global Internasional sebagai New Guinea merupakan pulau terbesar kedua di dunia. Pulau papua terletak di sebelah utara Australia. Pulau ini terbelah menjadi dua bagian negara, nan sebelah barat masuk wilayah Indonesia dan nan sebelah timur masuk wilayah negara Papua Nugini. Di pulau inilah berdiri megah Gunung Puncak Jaya dengan ketinggian 4.884 m di atas permukaan laut. Gunung ini juga merupakan gunung paling tinggi di Indonesia dengan puncaknya nan diselimuti salju abadi.

Pulau Papua juga pernah disebut sebagai Pulau Irian. Nama Irian ini diusulkan oleh Marcus Kaisiepo pada tahun 1945 nan merupakan saudara Frans Kaisiepo, nan nantinya menjabat sebagai gubernur Irian Jaya . Nama Irian diambil dari bahasa suku Biak nan bermakna menguap, hal ini dapat diartikan dengan semangat nan menguap (bangkit).

Namun, pada tahun 2001 nama Irian Jaya tak dipakai lagi, dan berganti pada nama lama, yakni Papua. Sekarang nama Irian banyak dikenal orang sebagai nama nan diberikan oleh Jakarta, bukan nama dari penduduk nan diberikan dan disepakati oleh penduduk orisinil Papua.

Nama Papua sendiri sebenarnya merujuk pada holistik wilayah Pulau Papua. Sedangkan Nugini berasal dari bahasa Barat Guinea nan diindonesiakan. Oleh sebab itu, New Guinea ini merujuk pada adanya kemiripan antara Papua dengan sebuah wilayah di Afrika nan bernama Guinea sehingga Papua disebut New Guinea nan apabila dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia menjadi Papua Nugini. Namun, saat ini nama Papua di Indonesia merujuk pada wilayah Papua dan Papua Barat, nan keduanya termasuk dalam wilayah teritorial negara Indonesia.



Papua dan Polemiknya

Sejak dahulu, Papua menjadi banyak rebutan raja-raja maupun penguasa. Bahkan dalam kitab antik nan ditulis oleh Mpu Prapanca, Negarakertagama, kekuasaan Majapahit saat itu juga sudah sampai ke Papua. Dan di era nan lebih modern ini, kolonial Belanda ketika menjajah Indonesia juga berusaha menduduki Papua.

Papua tak hanya menjadi menjadi perebutan kolonial Belanda dengan raja-raja, namun juga dengan sesama sekutu seperti Inggris dan Jerman. Pada tahun 1836, Gubernur Belanda buat Maluku, Pieter Markus mendapat informasi bahwa pasukan Inggris sudah memasuki pantai Papua nan terletak di Kepulauan Aru.

Akhirnya, dia mengutuskan beberapa rombongan buat menjaga pantai tersebut sampai Pulau Dolak, dan membangun benteng Fort Du Bus. Benteng ini bertujuan buat menghadang negara-negara Eropa lainnya nan akan masuk ke Papua. Pada 1836, Benteng Fort Du Bus ditinggalkan. Bekas benteng ini sekarang dikenal dengan kota Lobo.

Pada 1898, Belanda kembali memasuki Papua. Akhirnya Papua dibagi menjadi tiga bagian Belanda, Jerman ( bagian utara Papua timur), Inggris ( bagian selatan Papua timur). Sedangkan Papua bagian barat dikuasai oleh Belanda, sehingga dikenal Nugini Belanda.

Pada 17 Agustus 1945, akhirnya Belanda menyerah dan di bawah pimpinan Soekarno-Hatta, rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Sejalan dengan itu Indonesia juga meminta agar daera-daerah jajahan Belanda dikembalikan pada Indonesia, termasuk Papua.

Namun, hal itu ditolk oleh Belanda dengan alasan bahwa antara Indonesia dan Papua terdapat disparitas etnis. Akhirnya digelarlah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Namun, hasil konferensi ini nihil sehingga terjadi penundaan keputusan selama satu tahun.

Masalah status Papua ini menjadi konflik nan berlarut-larut, sampai akhirnya pada tahun 1961 dan 1962 terjadi terjadilah konfrontasi bersenjata antara Indonesia dan Belanda. Akhirnya melalui diadakanlah Perjanjian New York nan berisi bahwa buat sementara waktu Papua di bawa kekuasaan PBB, sebelum akhirnya diserahkan pada Indonesia tanggal 6 Mei 1963. Status Papua menjadi semakin niscaya ketika diadakan telaah pendapat pada tahun 1969, dan penduduk Papua memilih buat kembali menjadi bagian dari negara Indonesia.

Hingga kini Papua khususnya, dan Indonesia secara generik masih dibayang-bayangin kolonialisasi. Namun, kini kolonialisasi memakai paras baru nan lebih tersamar atau nan biasa disebut dengan neo-kolonialisme. Neo-kolonialisme bukanlah menjajah dengan menggunakan senjata dan kekerasan, namun lebih pada politik licik nan sangat merugikan rakyat.

Hal ini terlihat saat masuknya kapital asing nan dibuka lebar-lebar pada masa Soeharto, dan dikuasainya tanah dengan kandungan emas nan belimpah di Papua. Tanah tersebut nan lebih dikenal dengan tambang emas dan tembaga Freeport nan dikelola oleh Amerika Serikat.

Selain neo-kolnialisme, musuh nan paling berbahaya dan berat saat ini ialah musuh dari “rumah” sendiri, yakni munculnya gerakan separatisme di papua. Entah gerakan tersebut ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan asing atau memang murni ingin memerdekakan diri, nan niscaya akan sulitlah berperang dan perang melawan saudara sendiri. Gerakan ini muncul ketika sebagian dari penduduk Papua merasa bahwa dia berbeda dan tak memiliki interaksi sejarah dengan negara Indonesia.

Perjanjian dan referendum tahun 1969, merupaka kesepakatan antara Belanda dan Indonesia. Status Papua nan menjadi bagian negara Indonesia hanyalah penyerahan Belanda terhadap negara bekas jajahannya nan telah merdeka. Oleh sebab itu, sejak tahun 1965, mereka nan mengaku sebagai nasionalis Papua membentuk sebuah organisasi nan dinamakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Organisasi ini ditujukan sebagai wahana buat memperoleh kemerdekaan Papua. Hingga sampai saat ini pun Papua masih bergejolak menuntut kemerdekaannya.



Papua dan Tinjauan Berdasarkan Geologis

Indonesia merupakan negara kepulauan nan memiliki sejuta kekayaan alam nan eksotis dan menakjubkan. Bagi para pecinta alam, nama pegunungan Jayawijaya niscaya sudah tak asing lagi. Pada salah satu titik di pucak pegunungan ini terdapat titik paling tinggi Indonesia, yakni Carstenzs Pyramide.

Tidak hanya para pecinta alam dari dalam negeri saja nan mendengar mengenai keeksotisan pegunungan ini, banyak juga para pecinta alam nan ingin merasakan salju abadi nan turun di puncak gunung.

Namun ternyata puncak gunung dengan ketinggian 4.884 meter ini dulunya merupakan bagian dari lautan nan sangat dalam. Pendapat ini dipaparkan oleh seorang pakar geologi, Fransiskus Benediktus Widodo Margotomo. Dia mengatakan bahwa Pulau Papua mulai terbentuk sejak 60 juta tahun nan lalu dan pada saat itu Papua masih berada dalam dasar lautan dalam bentuk batuan sendimen. Lalu terjadi pengendapan dari Benua Australia nan terjadi secara intens dan terus menerus berlangsung dalam kurun waktu nan sangat lama. Akhirnya terbentuklah pulau nan kini bernama Papua.

Pendapat tersebut bertolah pada teori geologi nan mengatakan bahwa di global ini mulanya hanya ada satu benua nan ada 250 juta tahun nan lalu, benua itu bernama Pangea. Lalu benua pangea tersebut pecah menjadi dua bagian pada kurun waktu 240-65 juta tahun nan lalu, yakni menjadi benua Laurasia dan benua Eurasia.

Kedua benua tersebutlah nan menjadi cikal bakal pembentukan gunung dan benua-benua nan ada saat ini. Pada saat itu juga beua Eurasia nan berada di belahan bumi bagian selatan pecah, dan menjadi cikal bakal terbentuknya daratan Amerka Selatan, India, Afrika dan Australia.

Pada saat itu, benua Australia dengan benua-benua lainnya dipisahkan oleh lautan. Di bawah lautan itulah batuan nan nantinya membentuk Papua mengendap dan akan muncul dikemudian hari menjadi bagian dari Australia. Bukti mengenai pendapat bahwa Papua dulunya ialah sebuah dasr lautan bisa dilihat dari fosil nan terdapat di bebatuan Jayawijaya .