Peninggalan Sejarah di Tanjung Pinang

Peninggalan Sejarah di Tanjung Pinang

Di manakah letak Tanjung Pinang itu? Tanjung Pinang terletak di Pulau Bintan. Syahdan dulunya kota ini dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu nan saat itu menjadi pusat dari lalu lintas perdagangan. Adapun namanya sendiri diambil dari posisi kota ini nan terletak di tanjung dan dipenuhi dengan tumbuhan pinang.

Nama Tanjung Pinang semakin terkenal ketika Kerajaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah. Sultan Abdul Jalil Syah membuka Bandar perdagangan di Sungai Carang, nan terletak di Hulu Sungai Riau. Lambat laun, Bandar ini pun semakin nan ramai, selanjutnya disebut dengan Bandar Riau. Bandar Riau akhirnya menjadi bandar perdagangan besar. Dia mampu bersaing dengan bandar Malaka (saat itu dikuasai Portugis).

Berkaitan dengan keberadaan Bandar ini, Tanjung Pinang otomatis menjadi kawasan penyangga sebab sebagai pintu keluar masuk Bandar. Sementara itu, pada sisi lain banyak pedagang nan semula bermaksud menuju Malaka, tetapi akhirnya malah transit di Bandar ini. Akibatnya Bandar menjadi semakin ramai, demikian pula dengan kota ini, nan dengan setia mengikuti geliat Bandar Riau.

Pecahnya Perang antara Kerajaan Melayu Riau dengan Belanda tahun 1782-1784, menjadi momen krusial bagi keberadaan Tanjung Pinang. Peperangan ini akhirnya dimenangkan oleh Kerajaan Melayu Riau pada 6 Januari 1784, ditandai dengan tenggelamnya kapal Belanda "Malaka's Wal Faren". Untuk itu, tanggal itu pun selanjutnya diabadikan sebagai hari jadi Kota Tanjung Pinang.



Tanjung Pinang: Belanda dan Indonesia

Belanda nan sebelumnya kalah, ternyata masih berhasrat buat menguasai wilayah ini. Terlebih sebab posisinya nan strategis dalam peta perdagangan internasional. Setelah beberapa bulan kekalahanya, Belanda kembali mengirim armadanya nan terdiri dari 6 kapal nan dilengkapi 326 pucuk meriam dengan kekuatan personil 2130, pada 1 Juni 1784.

Dalam serangannya kali ini, Belanda menang, bahkan sukses menewaskan Raja Haji. Atas kekalahan itu, masuklah babakan baru sejarah Tanjung Pinang. Selanjutnya, kota ini dijadikan daerah Karesidenan Belanda, dengan David Ruhde sebagai residen pertamanya. Selanjutnya Belanda membangun pangkalan militer di loka ini.

Berdasarkan kesepakatan dalam Traktat London 1828, Kerajaan Melayu Riau semakin kehilangan peran. Apalagi ketika Inggris dan Belanda membagi wilayah kekuasaannya disini, di mana Riau-Lingga berada dalam kekuasaan Belanda, sedangkan Johor-Pahang dikuasai Inggris. Campur tangan Belanda bukan hanya sampai di situ saja, pada tahun 1912 Belanda memecat Sultan Riau dari Kasultanan Riau. Akibatnya Sultan Riau harus menyingkir ke Singapura sebab tak mau menandatangani surat pemecatan tersebut.

Dengan menyingkirnya Sultan Riau ke Singapura, berakhir pulalah Kasultanan Riau. Namun demikian, Belanda tetap menjadikan kota ini sebagai ibu kota karesidenan Belanda. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka berakhir pula kekuasaan Belanda atas Kepulauan Riau. Di mana pada 1950, seluruh wilayah Kepulauan Riau diserahkan kepada pemerintah Indonesia.

Selanjutnya melalui UU No. 58/1948 Tanjung Pinang ditunjuk sebagai ibu kota Kepulauan Riau. Status ini dipertegas dan diperjelas dengan UU No. 19/1957 tentang pembentukan Provinsi Riau. Dalam UU tersebut, Tanjung Pinang ditetapkan sebagai ibu kota provinsi. Namun pada 1960, ibu kota provinsi Riau dipindahkan ke Pakan Baru.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 31/1983 tertanggal 18 Oktober 1983, Tanjung Pinang dikukuhkan sebagai Kota Administratif. Status ini ditingkatkan lagi dengan UU No. 5/2001 nan menetapkan Tanjung Pinang sebagai Kota Otonom, dan menjadi ibu kota dari Provinsi Kepulauan Riau.



Peninggalan Sejarah di Tanjung Pinang

Tanjung Pinang memiliki banyak bangunan peninggalan sejarah nan bernilai tinggi, baik secara arkeologis maupun budaya. Bangunan-bangunan bersejarah tersebut, antara lain sebagai berikut.



• Kompleks Istana Kantor

Kompleks ini terletak di Pulau Penyengat, dulunya merupakan Istana Raja Ali. Komplek Istana Kantor didirikan tahun 1844. Selain berfungsi sebagai loka tinggal, istana ini juga dipergunakan sebagai kantor, hingga disebut dengan Istana Kantor.



• Masjid Raya Sultan Riau

Masjid ini terletak di Pulau Penyengat. Masjid ini didirikan pada 1 Syawal 1245 H (1832 Masehi), oleh Raja Abdurrahman, dengan campuran putih telur sebagai bahan bangunan. Masjid sepanjang 19,8 meter dan lebar 18 meter ini dirancang dengan arsitektur nan khas.

Di dalam bangunan masjid ada empat buah tiang penyangga, sementara pada setiap sisinya berdiri dengan megah empat buah menara. Secara holistik masjid ini memiliki 17 buah kubah, jumlah ini disesuaikan dengan jumlah rakaat dalam sholat sehari semalam. Koleksi unik nan dimiliki masjid ini ialah sebuah kitab kudus Alquran tulisan tangan.



• Kompleks Makam Daeng Marewah

Kompleks makam ini terletak di Hulu Riau. Daeng Marewah Kelana Jaya Putra ialah orang Bugis nan mendapat gelar Yang Dipertuan Muda. Gelar ini didapatnya setelah Daeng Marewah membantu Sultan Sulaiman buat memadamkan pemberontakan sebuah kerajaan kecil dari Siak. Di kompleks makam ini dimakamkan juga Tun Abas, seorang bendahara Kerajaan Riau-Johor.



• Gedung Mesiu

Gedung ini terletak di Pulau Penyengat. Gedung ini merupakan bangunan arsenal (gudang mesiu) milik Belanda, berbentuk segi empat nan terbuat dari tembok beton dengan bentuk atap nan runcing.



• Benteng Pertahanan Bukit Kursi

benteng ini terletak di Pulau Penyengat. Benteng ini didirikan oleh Raja Haji, nan pada waktu itu memilih Pulau Penyengat sebagai basis pertahanan kerajaannya. Benteng ini boleh dibilang cukup modern pada masanya. Pemandangan dari Benteng di atas bukit ini cukup indah, bahkan dapat menikmati pemandangan Tanjung Pinang dari puncaknya.



• Kompleks Makam Raja Jakfar

Kompleks makam ini terletak di Pulau Penyengat. Makam Raja Jakfar ini cukup megah sebab dilapisi dinding dan berhiaskan pilar-pilar latif dan kokoh. Pada bagian atasnya terdapat sebuah kubah kecil, nan makin melengkapi keagungan makam ini. Pada saah satu sisinua terdapat kolam mini buat berwudhu. Raja Jakfar juga dikenal sebagai Yang Dipertuan Muda VI pada Kerajaan Riau-Lingga. Pada masa kekuasaannya, pusat kedudukan kerajaan dipindahkan dari Hulu Riau ke Pulau Penyengat.



• Kawasan Pecinaan Senggaran

Kawasan ini sarat dengan perbedaan makna religius dari umat Buddha nan banyak berdiam disekitar kawasan ini. Ada banyak klenteng nan berdiri megah di sini, beberapa klenteng di antaranya bahkan dipercaya memiliki kekuatan magis. Klenteng-klenteng tersebut, antara lain Klenteng Su Te Kong (Klenteng Dewa Api), Klenteng Marko (Klenteng Dewa Laut), dan Klenteng Tay ti kong (Klenteng Dewa Tanah).



• Kompleks Makam Engku Putri

kompleks makam ini terletak di Pulau Penyengat. Loka ini ialah komplek pemakaman Engku Putri Raja Hamidah, nan merupakan anak dari Raja Haji Fisabilillah. Engku Putri ialah Permasuri dari Sultan Mahmud. Sementara itu, menurut cerita sejarah Pulau Penyengat ialah mahar atau mas kawin dari Sultan Mahmud buat Engku Putri.

Engku Putri ialah pemegang Regalia, dia dipercaya buat memegang peralatan kebesaran dalam penobatan Sultan. Dia juga merupakan wanita nan memiliki pengaruh besar di Kerajaan Riau-Lingga. Dalam kompleks ini juga dimakamkan jenazah Raja Ali Haji. Selain sebagai seorang bangsawan besar di Kerajaan Riau, Raja Ali Haji juga seorang Pahlawan Nasional Indonesia buat bidang bahasa.



• Kompleks Makam Daeng Celak

kompleks makam ini terletak di Hulu Riau. Daeng Celak dikenal juga sebagai Yang Dipertuan Muda II pada Kerajaan Riau. Daeng Celak sangat popular, sebab pada masa kekuasaannya dia memerintahkan seluruh warga masyarakat buat menanam Pohon Gambir, hingga pada akhirnya biji gambir dapat dijadikan sebagai komoditas ekspor perdagangan kerajaan Riau.

Memang sejarah tak dapat terulang. Tanjung Pinang sebagai bagian dari Kerajaan Melayu tetap memiliki kisah tentang kejayaan mereka dan sebagai bukti-bukti peninggalan sejarah nan ada dan tetap lestari itu, ialah saksi bisu dari kejayaan ini.

Selain itu, keberadaan Bandar Riau sebagai pusat transit perdagangan dunia, degan sendirinya telah menanamkan nilai-nilai pluralism bangsa Melayu. Betapa tidak, Bandar Riau ini telah memikat banyak orang dari berbagai belahan dunia, buat datang dan berinteraksi dengan prinsip-prinsip nan saling menghargai.