Karier Militer Jenderal Besar Soedirman

Karier Militer Jenderal Besar Soedirman

Di antara semua jenderal besar nan pernah lahir di bumi Indonesia, Jenderal besar Sudirman boleh dikatakan sebagai jenderal nan "paling susah" dan "paling miskin" hidupnya -secara materi. Namun, di antara para jenderal besar, Jenderal besar Sudirman pun merupakan sosok nan paling higienis namanya dan paling dikenang kontribusinya. Tidak ada skandal nan mencoreng nama baik Jenderal Besar ini, baik ketika hayati maupun sesudah wafatnya. Apa rahasianya?

Salah satu prinsip hayati sang Jenderal besar ialah menempatkan akhlak mulia di atas segalanya. Ia pernah menjadi seorang guru agama dan mubaligh, nan berceramah dari satu loka ke loka lainnya, dan ia menjadikan dirinya sebagai guru dan mubaligh nan berakhlak.



Perjalanan Panjang Jenderal Besar Soedirman

Catatan sejarah menyebutkan bahwa Pak Dirman -demikian beliau biasa disebut- mengawali karier sebagai seorang da´i muda dan guru agama nan giat berdakwah pada era 1936-1942 khususnya daerah Cilacap dan Banyumas. Pada masanya, Pak Dirman dikenal sebagai salah seorang dai prominen nan dicintai masyarakat.

Di tengah kesibukannya berdakwah, Pak Dirman masih menyempatkan diri buat aktif di organisasi Pemuda Muhammadiyah. Dia pun menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah di Karesidenan Banyumas.

Selain sebagai guru agama dan mubaligh, Pak Dirman pernah pula menjadi seorang prajurit sekaligus seorang panglima perang. Jabatan inilah nan kemdian melambungkan namanya dalam percaturan sejarah Indonesia. Dalam posisinya ini, dia sukses menjadikan dirinya panglima berakhlak mulia, teguh pendirian, dan lemah lembut tutur katanya.

Jenderal besar ini sukses memposisikan dirinya bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai ayah bagi nan dipimpinnya. Ada kata-kata khas nan selalu ia ucapkan ketika memberi amanat kepada bawahannya, "Anak-anakku segenap anggota Angkatan Perang, anggota Polisi Negara, serta seluruh anggota lasykar dan Barisan Perjuangan ...".

Semua itu menjadi kenangan kolektif bagi bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dalam sebuah tulisanya. ( Prisma , No. 8, 1977: 18 ).

Poin kedua nan menjadikan Jenderal besar ini sangat dihormati ialah kemampuannya buat mengembangkan sebuah pandangan hidup nan mempersatukan tentara dengan rakyat. Ada motto terkenal nan sering diungkapkannya" "Tentara Nasional, Tentara Rakyat, Tentara Revolusi".

Itulah nan membuatnya demikian populer. Jenderal besar ini menjadi panutan sekaligus teladan dalam sebuah periode nan teramat sulit dalam sejarah Indonesia. Ia menjadi simbol ketangguhan rakyat pada masa itu.

Sebagai seorang pemimpin, Pak Dirman selalu memposisikan diri sebagai stabilisator dan teladan bagi para pejuang nan umurnya masih sangat muda. Salah satunya, ia mencontohkan buat tak mementingkan diri sendiri dan serakah terhadap kekuasaan. Seandainya mau, posisi sebagai orang nomer satu di Indonesia dapat saja ia dapatkan.

Ketika semua pemimpin Indonesia dipenjarakan pascaagresi Militer Belanda ke-2, Jenderal besar Sudirman-lah nan memegang kendali kepemimpinan atas rakyat dan TNI buat melakukan perlawanan. Dia menjadikan dirinya sebagai lambang perlawanan sekaligus pemersatu antara rakyat dan tentara.

Pria kelahiran Purbalingga, 24 Januari 1916 ini mendapatkan respek dari seluruh komponen masyarakat ketika itu, salah satunya sebab ia mampu menepati janji buat memegang kembali tampuk pimpinan Angkatan Perang jika musuh menyerang kembali.

Ketika itu, dia harus non-aktif beberapa bulan dari tugas sebab penyakit paru-paru kronis nan dideritanya. Dia sangat paham apa konsekuensinya jika berangkat ke medan gerilya: "dia harus berpindah-pindah loka dalam segala macam kondisi tanpa istirahat". Namun, Pak Dirman tetap menepati janji walau harus berjuang dengan ditandu.

Jika mengukur rute gerilya sang Jenderal Besar , kita akan dapat menilai seberapa besar penderitaan nan harus ditanggungnya. Betapa beratnya perjalanan sejauh seribu kilometer, naik gunung, turun tebing, menempuh terik matahari dan guyuran hujan, serta kehabisan obat-obatan nan begitu vital bagi dirinya.

Namun, penyakit TBC nan diderita, tak menyurutkan langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya, sang Jenderal besar nan dicintai rakyat ini pun menghadap Tuhan tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad pada usia 38 tahun.

Di balik singkatnya masa dia hidup, serta tubuhnya nan kurus dan rapuh, Jenderal besar Sudirman telah memperoleh loka mulia di hati masyarakat nan sebagian besar belum pernah melihat wajahnya pada suatu zaman di mana televisi belum banyak dikenal.



Pendidikan Jenderal Besar Soedirman

Jenderal besar Soedirman berasal dari keluarga sederhana, yaitu ayahnya nan bernama Karsid Kartowirodji merupakan seorang buruh di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas dan ibunya, Siyem, ialah keturunan Wedana Rembang. Sejak umur delapan bulan, Jenderal besar ini diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, asisten Wedana Rembang.

Jenderal besar Soedirman mendapatkan pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa nan dilanjutkan ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tetapi tak tamat. Ketika itu, Jenderal besar ini juga aktif di organisasi Pramuka Hizbul Wathan dan menjadi seorang guru di sekolah HIS Muhammadiyah, Cilacap.



Karier Militer Jenderal Besar Soedirman

Saat Jepang menduduki Indonesia, Jenderal besar Soedirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dilatih oleh tentara Jepang. Jenderal besar ini menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah setelah menyelesaikan pendidikannya di PETA. Selanjutnya, Jenderal besar Soedirman menjadi Panglima DIvisi V/Banyumas setelah TKR dibentuk dan dipilih lagi menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).

Jenderal besar ini memiliki kepribadian nan kuat pada prinsip dan keyakinan, selalu mengutamakan kepentingan masyarakat umum, kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, bahkan kesehatannya sendiri. Kepribadian Jenderal besar ini selalu konsisten serta konsekuen membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara, sama seperti apa nan ditulis dalam buku karangan Tjokropranolo, pengawal pribadi Jenderal besar Soedirman saat bergerilya.

Pada zaman Jepang, Jenderal besar ini pernah menjabat sebagai anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Jenderal besar ini juga membuat koperasi buat membantu rakyat dari kelaparan waktu itu.



Jenderal Besar Soedirman - Setelah Masa Kemerdekaan

Sesudah Perang Global II berakhir, tentara Jepang menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu sehingga Soekarno pun mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Prestasi pertama Jenderal besar Soedirman ialah keberhasilannya merampas senjata pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah. Jenderal besar Soedirman memimpin batalyon PETA menjadi resimen nan berpusat di Banyumas. Batalyon ini dijadikan pasukan perang Republik Indonesia nan kemudian berjasa dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.

Setelah dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Jenderal besar ini menduduki posisi sebagai Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Jenderal besar ini terpilih menjadi Panglima Besar TKR atau Panglima Angkatan Perang RI setelah didakannya Konferensi TKR pada 12 November 1945.



Warisan Budaya Jenderal Besar Soedirman
  1. Patung dan monumen Jenderal Soedirman didirikan di beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya.
  2. Banyak kota besar di Indonesia memiliki jalan raya nan dinamakan "Jalan Jenderal Sudirman".
  3. Sebuah perguruan tinggi negeri di Purwokerto, Jawa Tengah diberi nama Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).

Itulah kisah perjalanan hayati sang Jenderal besar Soedirman.