Kisah Singkat Hikayat Hang Tuah

Kisah Singkat Hikayat Hang Tuah

Hikayat Hang Tuah asal usulnya sebenarnya masih belum diketahui secara niscaya siapa pengarangnya. Meski naskah aslinya sudah ditemukan, namun nama pengarangnya tak tercantum dalam naskah tersebut. Dan dalam tradisi karya sastra Melayu klasik, hal ini sudah biasa terjadi.

Istilah hikayat sendiri berasal dari bahasa Arab, yakni hikayah nan berarti bercerita. Secara terminologis, hikayat merupakan cerita fiksi nan ditulis dalam bentuk prosa dan umumnya anonim. Oleh sebab itu, hikayat tak dapat dijadikan sebagai sastra lisan.

Tempat penulisan naskahnya juga belum diketahui secara pasti. Hanya saja dari segi waktu penulisan, ternyata masih dapat dibuat sebuah estimasi. Hal ini dapat dilihat pada epilog teks nan menceritakan kekalahan Portugis dari Belanda, yakni pada tahun 1641.

Berdasarkan teks tersebut, naskahnya ditulis pada abad ke-17, tepatnya setelah tahun 1641. Namun, sebelum tahun 1726 hikayat ini telah disebutkan dalam tulisan Oud en Nieuw Oost-Indien , karya François Valentijn.

Untuk mempersempit rentan waktu penulisan, maka data teks nan menyebutkan nama Raden Bajau, dapat dijadikan sebagai rujukan. Raden Bajau ialah anak kedua dari Raja Malaka nan menikah dengan puteri Majapahit.

Berdasarkan History of Pahang disebutkan bahwa Yam Tuan Muda Raja Bajau memerintah Pahang selama kurun waktu antara tahun 1641 hingga 1673. Dan Raja Bajau meninggal pada tahun 1676.

Dalam Hikayat Patani juga dijelaskan bahwa Raja Bajau meninggal pada tahun nan sama. Jika Raja Bajau nan dimaksud dalam hikayat ini ialah Raja Bajau dalam tulisan di atas, maka penulisan hikayat ini diperkirakan terjadi antara tahun 1676 hingga tahun 1700.



Hikayat Hang Tuah Sebuah Karya Sastra Fenomenal

Hikayat ini termasuk salah satu karya sastra nan populer. Nukilan hikayat ini selalu terdapat dalam kembang rampai sastra Melayu klasik. Bahkan hingga kini, hikayat tersebut tetap dihargai sebagai bentuk karya seni nan dapat dibanggakan.

Terbukti ada banyak seni pertunjukan nan mengangkat satu babak kepahlawanan dalam hikayat ini (Hang Jebat Mendurhaka).
Babak kepahlawanan tadi kemudian dijadikan sebagai sandiwara radio, pentas drama tari, film, hingga pemberian nama Hang Tuah pada kapal perang pertama RI.

Kapal perang ini diharapkan mampu mengikuti kesuksesan Hang Tuah nan telah sukses meraih sejumlah kemenangan di bahari selama ia menjadi laksamana.

Tidak mengherankan jika akhirnya naskah ini menjadi karya sastra nan dikaji banyak orang. Baik kajian dari sudut pandang antropologi, sosiologi, hingga ideologi. Sejumlah penelitian nan mengkaji karya sastra ini antara lain sebagai berikut.

  1. Hang Tuah dalam Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu (1960).
  2. Hikayat Hang Tuah sebagai Hasil Sastra Melayu (1962).
  3. Perbandingan tabiat Hang Tuah dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah (1962).
  4. Hikayat Hang Tuah (1963).
  5. Hang Tuah Sebenarnya Ada Hidup: Buku Sejarah Melayu Menjadi Buktinya (1963).
  6. Hikayat Hang Tuah dalam bidang sastra Melayu lama (1963).
  7. Isi dan gaya karangan Hikayat Hang Tuah (1964).
  8. Kenapa Hikayat Hang Tuah Bukan sebagai Satu Penulisan Sejarah (1970).
  9. Hikayat Hang Tuah dalam Kesusastraan Indonesia Lama (1972).
  10. Teknik Penceritaan Hikayat Hang Tuah (1975).
  11. Persamaan dan Disparitas antara Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu (1976).
  12. Imej Wanita dalam Hikayat Hang Tuah (1976).


Kisah Singkat Hikayat Hang Tuah

Hikayat ini menceritakan kisah kepahlawanan seorang Laksamana Melayu nan bernama Hang Tuah. Hang Tuah memiliki empat sahabat karib nan bernama Hang Lekiu, Hang Lekir, Hang Kesturi, dan Hang Jebat.

Mereka terlahir dari keluarga rakyat biasa, namun sebab keberaniannya akhirnya mereka menjadi tokoh nan masyhur dan disegani. Hang Tuah pun dipercaya menjadi duta dan mewakili berbagai urusan di negaranya.

Dalam buku berjudul Hikajat Hang Tuah terbitan Balai Pustaka (1956), kisah Hang Tuah tercatat sebagai karya sastra Melayu klasik nan terpanjang. Pada buku setebal 593 halaman ini, kisah Hang Tuah dibagi dalam 24 bab.

Pada bagian pengantar dijelaskan bahwa buku ini disalin dari sebuah naskah bertulis tangan nan menggunakan huruf Arab.
Hang Tuah dikisahkan sebagai anak Hang Mahmud. Ketika Hang Mahmud mendengar bahwa negeri Bintan sudah memiliki raja, maka Hang Mahmud membawa anak dan istrinya berhijrah ke sana.

Di sinilah awal pertemanan Hang Tuah dengan Hang Lekiu, Hang Lekir, Hang Kesturi, dan Hang Jebat. Kelima sahabat ini akhirnya menjadi sahabat karib sehingga ke mana-mana selalu pergi bersama layaknya saudara kandung.

Pada suatu hari Hang Tuah menyampaikan gagasan kepada keempat sahabatnya. Hang Tuah mengusulkan kepada mereka buat pergi berlayar, merantau ke sebuah tempat. Usulan ini disepakati oleh keempat sahabatnya. Dan pada hari nan ditentukan mereka pun pergi berlayar.

Ketika mereka sedang berlayar, tanpa sengaja mereka berpapasan dengan tiga perahu. Penumpang bahtera tersebut berasal dari Siantan dan ternyata mereka ialah musuh kerajaan Bintan. Orang-orang Siantan tersebut tak lain ialah kaki tangan Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit nan ingin meluaskan kekuasaannya hingga tanah Palembang.

Akhirnya Hang Tuah dan keempat sahabatnya sukses menaklukkan musuh dari Siantan tersebut. Karena jasanya, Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya kemudian diangkat menjadi abdi bendahara paduka raja, salah satu pemimpin di Kerajaan Bintan.

Pada masa itu terjadi persaingan nan sangat sengit antara Majapahit dan Malaka. Gajah Mada sebagai patih dari Kerajaan Majapahit berulang kali menyusun planning jahatnya buat menghabisi Hang Tuah.

Menurut Gajah Mada, Hang Tuah ialah batu sandungan nan selalu berusaha menggagalkan ambisinya menguasai Malaka.
Keberanian Hang Tuah sukses mengantarkan Malaka mencapai puncak kejayaannya.

Hang Tuah mampu menggagalkan agresi dari Kerajaan Majapahit. Ia pun selalu berhasil dalam mengemban sejumlah misi penting. Sayangnya, dengan masuknya Belanda ke tanah Malaka, akhirnya Malaka sukses ditaklukkan.

Malaka kemudian jatuh ke tangan Belanda dan orang-orang Johor.
Kisah Hang Tuah memang tetap menjadi misteri. Apakah tokoh ini benar-benar sebuah sejarah ataukah sekadar mitos belaka.

Menurut pakar sastra Sir Richard Windstedt, karya sastra Melayu klasik tersebut sarat dengan syair nan berkisah kepahlawanan. Karya-karya seperti ini banyak ditulis di Pulau Jawa pada abad ke-11.

Karya-karya tersebut mampu mengubah mitos menjadi sejarah. Demikian pula sebaliknya, mengubah sejarah menjadi mitos. Kisah dalam Hikajat Hang Tuah terdapat perbedaan makna mitos (fiktif) seperti tak tercantumnya keterangan waktu dalam sejumlah peristiwa.

Atau kisah Sang Pertala nan menjadi pemimpin negeri kayangan, serta Hang Tuah nan dikisahkan berubah wujud menjadi harimau dalam suatu perkelahian. Meski kisah Hang Tuah menjadi kontroversi, namun bangsa Melayu sangat meyakini kebenaran kisah ini.

Mereka menganggap bahwa Hang Tuah ialah Wali Allah. Namun jika dilihat dari kronologi karya sastra ini, banyak kisah fiktif nan tertulis di dalamnya. Kisah-kisah tersebut penuh dengan unsur khayalan.

Oleh sebab itu, perlu pengkajian secara lebih mendalam serta penelitian secara hati-hati. Ketiadaan kronologi waktu dapat digali dari bukti arkeologis maupun sumber-sumber asing. Jika hal tersebut dikaji secara cermat, tak tertutup kemungkinan mampu menjawab sejumlah pertanyaan besar atau keragu-raguan nan timbul di dalamnya.

Dengan membaca kisah Hikayat Hang Tuah, setidaknya dapat diketahui bahwa sosok pengarangnya ialah seseorang nan memiliki pengetahuan luas. Kemungkinan besar ia juga berasal dari keluarga dekat kerajaan. Dugaan ini muncul sebab kisah ini cenderung memihak penguasa nan sedang menjabat pada masa itu.