Kumpulan Sajak Terbaik

Kumpulan Sajak Terbaik

W.S Rendra. W.S ialah singkatan dari Willybrordus Surendra. Dalam cerita wayang, Surendra ialah nama salah seorang bidadari nan terkenal. Willybrordus ialah nama baptis. Ia datang dari keluarga Katolik. Ia dilahirkan pada 7 November 1935 di Surakarta. W,S Rendra seorang penyair nan puisinya menunjukkan semangat hidup.

Semangat hayati tersebut ditularkan kepada orang-orang nan dipandang sebagai korban ketidakadilan. Rendra berpihak kepada mereka nan lemah, miskin, tertindas dan terhina. Sifat puisi demikian membuat gerah pemerintah, membuat telinga mereka memerah. seperti nan terlihat dalam Sajak Sebatang Lisong ciptaannya.

Jadi, jangan heran jika puisi-puisi Rendra mendapat embargo dibacakan, pementasan dibatalkan, Rendra sendiri pernah ditahan sebab kelancangan puisi-puisinya. Rendra punya resep spesifik dalam mencipta karya sastra berupa puisi dan mendorong orang buat membacanya.

Inilah resep pembuatan puisi nan mengetarkan itu: Karya itu harus menyangkut kehidupan. Penyair harus melakukan pergumulan dalam hidup, tentu saja secara batin, karya itu harus ditulis dalam kualitas tinggi.

Sejak kecil ia sudah rajin membaca dan tekun belajar bahasa Inggris. Saat masih bocah Rendra sudah membaca dan menikmati karya Hemingway, John Steinbeck, Wiliam Saroyan, dan sebagainya. Ketika duduk di kelas dua SMP ia sudah mulai menulis lakon buat seremoni di sekolah, ia pun sudah mulai mengarang sajak.

Inilah salah satu sajak terbaiknya.

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.
fajar tiba.
dan saya melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan nan macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
nan terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.

Menghisap udara
nan disemprot deodorant,
saya melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
saya melihat wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita ialah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi nan diimpor

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta rona di dalam senjakala
Dan saya melihat
protes-protes nan terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
nan bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta asa ibu dan bapak
menjadi gemalau suara nan kacau,
menjadi karang di bawah muka samudra.

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan nan nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

W.S Rendra, 17 Agustus 1977
ITB Bandung, Potret Pembangunan dalam Puisi

***



Kumpulan Sajak Terbaik

Masih banyak sajak-sajak lainnya nan tak kalah indahnya dari sajak Sebatang Lisong di atas. Dari segi penyampaian maupun bahasa juga sama-sama menggetarkan hati bagi nan mendengarnya. Membuat sebuah sajak memang kepiawaian seorang W.S Rendra, sehingga tak mengherankan sajaknya banyak nan disukai dan dijadikan bahan surat keterangan dalam membuat sajak dalam bahasa Indonesia. Berikut sajak lanjutan dari sajak Sebatang Lisong.

Sajak Peperangan Abimanyu

Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya nan bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewjiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat
apakah petani-petani akan tetap menderita,
dan para wanita kampung
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?
Itulah pertanyaan buat kita nan hidup.
Tetapi bukan itu nan terlintas di kepalanya
ketika ia tegak dengan tubuh nan penuh luka-luka.
Saat itu ia mendengar
nyanyian angin dan air nan turun dari gunung.

Perjuangan ialah satu aplikasi cita dan rasa.
Perjuangan ialah pelunasan konklusi penghayatan.
Di saat badan berlumur darah,
jiwa duduk di atas teratai.

Ketika ibu-ibu meratap
dan mengurap rambut mereka dengan debu,
roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala
untuk menanam benih
agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
- dari zaman ke zaman

Jakarta, 2 September 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

***

Sajak Bulan Purnama

Bulan terbit dari lautan.
Rambutnya nan tergerai ia kibaskan.
Dan menjelang malam,
wajahnya nan bundar,
menyinari gubug-gubug kaum gelandangan
kota Jakarta.

Langit sangat cerah.
Para pencuri bermain gitar.
dan kaum pelacur naik penghasilannya.
Malam nan permai
anugerah bagi sopir taksi.
Pertanda nasib baik
bagi tukang kopi di kaki lima.

Bulan purnama duduk di sanggul babu.
Dan cahayanya nan kemilau
membuat tuannya gemetaran.

“kemari, kamu !” kata tuannya
“Tidak, tuan, saya takut nyonya !”
Karena sudah penasaran,
oleh cahaya rembulan,
maka tuannya bertindak masuk dapur
dan langsung menerkamnya

Bulan purnama raya masuk ke perut babu.
Lalu naik ke ubun-ubun
menjadi mimpi nan gemilang.
Menjelang pukul dua,
rembulan turun di jalan raya,
dengan rok satin putih,
dan parfum nan tajam baunya.
Ia disambar petugas keamanan,
lalu disuguhkan pada tamu negara
yang haus akan hiburan.

Yogya, 22 Oktober 1976
Potret Pembangunan dalam Puisi

***

Sajak Burung-Burung Kondor

Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali nan luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani – buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah nan subur,
memanen hasil nan berlimpah dan makmur
namun hayati mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen buat tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para pakar ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir
dari parit-parit paras rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tidak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan di loka itu mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat nan sepi.

Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat nan sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.

Yogya, 1973
Potret Pembangunan dalam Puisi

***

Sajak Mata-Mata

Ada suara bising di bawah tanah.

Ada ucapan-ucapan rancu di antara rumah-rumah.
Ada tangis tidak menentu di tengah sawah.
Dan, lho, ini di belakang saya
ada tentara marah-marah.

Apa saja nan terjadi ? Aku tidak tahu.

Aku melihat kilatan-kilatan barah berkobar.
Aku melihat isyarat-isyarat.
Semua tak jelas maknanya.
Raut paras nan sengsara, tidak dapat bicara,
menggangu pemandanganku.

Apa saja nan terjadi ? Aku tidak tahu.

Pendengaran dan penglihatan
menyesakkan perasaan,
membuat keresahan -
Ini terjadi sebab apa-apa nan terjadi
terjadi tanpa kutahu telah terjadi.
Aku tidak tahu. Kamu tidak tahu.
Tak ada nan tahu.

Betapa kita akan tahu,
kalau koran-koran ditekan sensor,
dan mimbar-mimbar nan bebas telah dikontrol.
Koran-koran ialah penerusan mata kita.
Kini sudah diganti mata nan resmi.
Kita tak lagi melihat fenomena nan beragam.
Kita hanya diberi gambara model keadaan
yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.

Mata rakyat sudah dicabut.
Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.
Mata pemerintah juga diancam bencana.
Mata pemerintah memakai kacamata hitam.
Terasing di belakang meja kekuasaan.
Mata pemerintah nan sejati
sudah diganti mata-mata.
Barisan mata-mata mahal biayanya.
Banyak makannya.
Sukar diaturnya.
Sedangkan laporannya
mirip pandangan mata kuda kereta
yang dibatasi tudung mata.

Dalam pandangan nan kabur,
semua orang marah-marah.
Rakyat marah, pemerinta marah,
semua marah lantara tak punya mata.
Semua mata sudah disabotir.
Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.

Hospital Rancabadak, Bandung, 28 Januari 1978