Mesra dengan Mertua

Mesra dengan Mertua

Saat menjalani kehidupan berumah tangga, mesra dengan pasangan ialah suatu keharusan. Suami dan istri terikat pada interaksi pernikahan nan kokoh dengan Tuhan sebagai saksinya. Ketika memilih seseorang buat menjadi pasangan hayati kita, tentu sudah melewati pertimbangan nan matang. Tidak ada orang nan ingin memilih pasangan nan tak mesra dan akan menyakiti dirinya kelak di kemudian hari.

Sebelum menikah, orang nan sedang memadu kasih sudah jelas selalu diselimuti sikap mesra. Kemana pun pergi, niscaya mereka saling berusaha menunjukkan perhatian dengan sentuhan fisik nan mesra. Orang nan sedang dimabuk asmara niscaya akan selalu diliputi kebahagiaan. Hal ini dapat terlihat jelas dari binar mata dan aktualisasi diri mereka. Senyum nan tak kunjung henti dan mata nan selalu bersinar. Mendengar nama si dia disebut pun dapat membuat munculnya semburat merah di pipi.

Ketika sedang jatuh cinta, rasanya berada di puncak dunia. Sikap mesra pada pasangan tak malu-malu ditunjukkan meski kadang sedang berada di loka umum. Untuk orang bule, berciuman mesra di depan generik bukanlah masalah besar. Akan tetapi, lain halnya dengan kita sebagai orang timur. Tentu ada rasa sungkan buat tampil mesra di depan umum.

Akan tetapi, belakangan ini mulai terlihat jelas adanya pergeseran besar dalam Norma bangsa kita, terutama buat kaum muda. Sikap acuh pada lingkungan semakin meningkat sehingga tak heran kita melihat mulai banyak pasangan nan menunjukkan sikap mesra di depan generik tanpa rikuh. Yang terjadi, orang nan melihatnya justru merasa canggung dan malu.

Para anak muda ini seharusnya belajar bagaimana caranya agar tak tampil mencolok di depan umum. Mesra dengan kekasih tak harus dipertontonkan di depan umum, kan? Hanya saja sepertinya budaya kita pun belakangann kian permisif. Mungkin sebab siaran televisi pun menyuguhkan hal senada.

Lihat saja sinetron nan ada di hampir semua stasiun televisi! Cerita nan ditampilkan kerap hiperbola dengan kebiasaan-kebiasaan nan tak sejalan dengan kebiasaan dan kepatutan nan kita anut sebagai orang timur. Ketika para pemirsa monoton disuguhi tontonan seperti ini, mau tak mau akan terpengaruh juga sehingga lama kelamaan orang pun beranggapan bahwa tampil dengan baju minim atau sikap mesra dengan pasangan ialah sesuatu nan wajar-wajar saja.

Ketika sudah menikah, sikap mesra masih mendominasi terutama di awal pernikahan. Maklum, pernikahan ialah sebuah bentuk interaksi nan sangat baru bagi kedua belah pihak. Tapi, tak selamanya kemesraan itu bertahan. Penelitian menunjukkan bahwa ketertarikan fisik antara suami dan istri paling lama dapat bertahun selama 4 tahun! Bayangkan hanya 4 tahun! Itulah sebabnya butuh perjuangan lebih keras buat mempertahankan pernikahan ketimbang saat memulainya.

Setelah menikah, suami dan istri akan mulai disibukkan dengan berbagai hal. Pekerjaan dan anak ialah contohnya. Kehadiran buah hati tentu menjadi perekat nan latif antarpasangan. Namun kadangkala kehadiran anak membuat interaksi antara suami dan istri menjadi agak berjarak. Maklum, biasanya pihak istri akan sangat disibukkan buat mengurus si kecil, terutama lima tahun pertama dalam hayati anak. Ada banyak sekali perhatian nan harus tercurah pada ananda.

Di saat ini, wajar jika sikap mesra dengan pasangan sedikit mengalami perubahan sebab ada titik perhatian nan butuh konsentrasi penuh buat mengurusnya. Pada akhirnya, mesra dengan pasangan tak sekadar bersifat fisik belaka.

Setelah menjalani kehidupan berumah tangga selama bertahun-tahun, pasangan akan berkembang sedemikian rupa. Cinta pun tumbuh dengan cara nan latif mengiringi perkembangan tiap individu. Sikap mesra mengalami perubahan nan signifikan. Kebersamaan di suatu hari nan cerah dapat dianggap sebagai momen latif nan mewakili kemesraan suami dan istri.



Mesra dengan Anak

Membangun mesra dengan anak pun sangat krusial sebab anak ialah bagian terpenting dari sebuah rumah tangga. Bayangkan saja, rumah nan tadinya hanya diisi oleh dua pribadi, kini ditambah dengan makhluk mungil nan lahir dari rahim sang istri. Interaksi nan mesra dengan anak harus dibangun sejak dini, sejak mereka masih kecil.

Kita niscaya sering menyaksikan betapa interaksi antara orangtua dan anaknya dapat berubah menjadi konkurensi di usia dewasa. Warta tentang seorang aktris nan kabur dari rumah dan enggan kembali kepada keluarganya sebab dianggap terlalu dieksploitasi cukup menyita perhatian publik. Si aktris nan masih berusia belasan tahun itu bahkan sempat kabur sebanyak dua kali!

Juga ada seorang aktris muda nan memilih buat menikah diam-diam dengan lelaki pujaannya dengan alasan tak mendapat restu dari ayah dan ibunya. Beritanya bahkan berkali-kali dimuat di acara infotainment. Perang pernyataan pun tak terelakkan. Sungguh suatu kondisi nan memperihatinkan, bukan?

Orangtua dan anak seharusnya menjadi tim nan kompak, bukan pihak nan saling berseberangan dan bermusuhan. Mesra antara anak dan orangtua ialah hal nan latif sehingga seharusnya memang sudah diusahakan sejak dini.

Mesra di sini bukan berarti anak menjadi robot nan selalu mematuhi keinginan orang tua. Bagaimana pun, orangtua tetaplah manusia biasa nan dapat saja melakukan kekhilafan. Disparitas antara kedua belah pihak ialah sesuatu nan sangat wajar, apalagi ketika anak mulai menapaki usia remaja. Namun bukan berarti menjadi arena “perang” nan saling menyakiti bagi kedua belah pihak.

Hubungan nan mesra antara orangtua dan anak sebaiknya dibangun dengan saling percaya. Orangtua harus belajar mempercayai buah hatinya sehingga anak pun belajar melakukan hal nan sama. Kadang orangtua justru terlalu banyak menuntut dan meminta dari anak. Mengharapkan mereka tampil paripurna menjadi anak terbaik di global ini.

Tanpa usaha sejak dini, interaksi orangtua dan anak akan mirip bunga api. Penuh ledakan nan mengejutkan di sana-sini. Itulah sebabnya para pakar selalu menganjurkan orangtua buat membentuk interaksi mesra nan penuh pengertian dengan anak. Jadi ketika ada hal nan tak disepakati, bisa diselesaikan dengan perbincangan dari hati ke hati.



Mesra dengan Mertua

Untuk masyarakat Indonesia nan sistem kekerabatannya masih sangat kental, pasangan menikah tak dapat lepas sepenuhnya dari peran mertua. Banyak sekali kita mendengar kisah tentang kontradiksi antara menantu dan mertua, bukan? Yang paling sering terjadi ialah antara menantu perempuan dengan ibu mertuanya. Agak sporadis dapat melihat interaksi nan mesra di antara keduanya.

Entah kenapa, ibu mertua seolah menjadi “saingan” bagi menantu perempuannya. Padahal, tak demikian nan seharusnya terjadi, bukan? Sebuah pernikahan menjadi awal baru bagi tiap orang. Untuk pasangan menikah, artinya mereka akan bergabung menjadi anggota keluarga besar baru.

Bagi para orangtua, pernikahan sang anak menjadi pintu pembuka bagi kehadiran tambahan buah hati dalam keluarga mereka. Menantu ialah anak juga, bukan? Jika ingin mempunyai interaksi nan mesra dengan mertua, harus mampu menekan ego.

Menjadi mempelai dalam pernikahan bukan berarti harus menjadi prioritas pasangan selamanya. Pesta niscaya usai. Jadi niscaya ada satu titik di mana langkah harus dihentikan buat melihat realita nan terjadi. Mertua ialah orangtua dari pasangan, bukan pihak nan pantas buat dicemburui.

Jika sesekali mertua ingin “membajak” anaknya, biarkan saja. Jangan memasang kuda-kuda buat memulai perang dengan mertua. Karena sekalinya perang meletus, akan sangat sulit buat merapikan residu dari kekacauan nan ditimbulkannya. Bahkan mungkin tak akan hilang bekasnya seumur hidup.

Mesra dengan mertua bukan hal nan mustahil. Saling mengerti, itu kuncinya. Jika sebagai menantu kita harus banyak mengalah, lakukan saja. Sepanjang masih dapat ditoleransi, mengapa tidak? Mesra dengan pasangan dan mertua sekaligus, bukankah itu hayati nan sangat indah?