Kesalahan Persepsi Kedua Terhadap Orang Autis - Orang Autis Tidak Dapat Komunikasi Nonverbal

Kesalahan Persepsi Kedua Terhadap Orang Autis - Orang Autis Tidak Dapat Komunikasi Nonverbal

Mungkin kita tak asing dengan kalimat: “Dasar orang autis!” buat mengungkapkan kekesalan pada orang nan selengean atau seenaknya sendiri. Meskipun presisi teks-konteksnya kurang tepat, namun sedikit relevan sebab orang autis cenderung menunjukkan konduite aneh, individual, obsesif, dan antisosial. Autisme merupakan suatu kondisi nan dialami seseorang sejak lahir atau pada masa balita (biasanya 3 tahun) nan membuatnya tak mampu membangun interaksi sosial atau komunikasi nan normal layaknya anak seusia mereka.

Akibat kondisi nan dideritanya itu, orang autis menjadi terisolasi dari orang lain dan hanya menikmati dunianya sendiri nan repetitif serta melakukan aktivitas nan obsesif. Menurut Power (1989) orang autis mengalami setidaknya 6 jenis gangguan dalam hidupnya. Adapun keenam jenis gangguan tersebut, di antaranya ialah sebagai berikut.

  1. gangguan dalam bidang hubungan sosial,
  2. gangguan komunikasi (bahasa dan bicara),
  3. gangguan konduite dan emosiemosi,
  4. gangguan dalam pola bermain,
  5. gangguan saraf, baik itu sensorik maupun motoriknya,
  6. gangguan perkembangan (terlambat atau tak normal).

Gejala gangguan-gangguan tersebut biasanya dialami orang autis sejak lahir hingga menuju usia 3 tahun. Sampai saat ini, penyebab kelainan nan dialami orang autis belum dapat dijelaskan secara ilmiah. Banyak klarifikasi nan mengarah pada penyebabnya.

Para orangtua nan memiliki anak dengan autis menganggap bahwa penyebab anak mereka mengalami autis ialah adanya kesalahan pemberian obat atau vaksin saat masih bayi. Namun, ada juga nan menganggap bahwa orang autis disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh menyerap vitamin atau nutrisi tertentu, sebab diet orangtua selama mengandung, hingga sebab keracunan merkuri.

Namun melalui beberapa penelitian nan telah dilakukan, asumsi nan disebutkan tadi langsung mendapatkan bantahan sebab tak ada bukti nan kuat buat membuktikan semuanya. Mereka menyebutkan bahwa penyebab seseorang menjadi orang autis ialah sebab adanya kelainan pada kromosom dan gangguan sistem saraf orang autis tersebut. Bahkan, keturunan sekalipun dapat menjadi penyebab seseorang menjadi orang autis.

Lantas, bagaimana cara orangtua buat mengobati orang autis dalam keluarganya? Memang, hingga saat ini, belum ada satupun obat nan mampu mengobati penyakit autisme. Namun, orangtua harus benar-benar memahami kondisi orang autis sehingga tak terjadi kesalahan dalam proses penanganannya.

Sejauh ini, ada banyak kesalahan persepsi tentang orang autis nan diterima orangtua sehingga menyebabkan penanganan nan salah pada seorang penderita. Beberapa kesalahan persepsi terhadap orang autis tersebut, di antaranya sebagai berikut.



Kesalahan Persepsi Pertama Terhadap Orang Autis - Orang Autis Sulit Belaja

Melihat mobilitas gerik serta aktivitasnya nan lebih banyak asyik dengan dunainya sendiri, tentu kita sering menyangka bahwa orang autis memiliki kesulitan dalam belajar. Padahal tak sepenuhnya demikian, tergantung pada kadar gangguan pemicu autisme. Faktanya, beberapa orang autis memiliki taraf kecerdasan tinggi pada suatu bidang eksklusif nan dia minati, dan mampu menyelesaikan soal rumit nan tak dapat diselesaikan orang lain.

Contoh konkret kemampuan orang autis dalam belajar dapat dilihat dari kasus Jacob Barnett. Ia ialah orang autis nan berumur 12 tahun nan tinggal di Amerika. Dalam keterbatasannya (seperti anggaan banyak orang) sebagai seorang autis, justru ia mampu memecahkan teori "Big Bang". Kita tahu bahwa teori tersebut merupakan konsep rumusan dalam ilmu matematika nan rumitnya melebihi apapun.

Banyak pihak nan merasa tak percaya terhadap capaian orang autis ini. Namun, setelah dilakukan serangkaian tes terhadap orang autis ini, terdapat hasil nan sangat mencengangkan, yakni orang autis tersebut memiliki IQ melebihi Albert Einstein (170).



Kesalahan Persepsi Kedua Terhadap Orang Autis - Orang Autis Tidak Dapat Komunikasi Nonverbal

Kita tahu, orang autis begitu sulit berkomunikasi, termasuk komunikasi nonverbal sekalipun. Namun, tak semua orang autis mengalami hal tersebut. Pada beberapa orang autis memang sensitif dengan stimuli indrawi, terutama mata dan telinga. Namun, fakta menunjukkan bahwa ada beberapa orang autis nan mampu melakukan kontak mata meskipun dalam waktu nan pendek.

Bahkan, mampu merespons komunikasi nonverbal seperti tersenyum atau tertawa. Banyak orang autis nan mampu mengembangkan keterampilan berbahasa menggunakan isyarat, gambar, dan perangkat elektronik.



Kesalahan Persepsi KetigaTerhadap Orang Autis - Orang Autis Tidak Dapat Memberi dan Menerima Kasih Sayang

Sebenarnya, orang autis bukan tak dapat memberi dan menerima kasih sayang. Mereka sebenarnya akan smerasa bahagia dengan perlakuan orang di sekitarnya nan selalu membahagiakannya. Hanya saja, stimulasi sensoris pada orang autis diproses secara berbeda dengan anak normal menyebabkan mereka kesulitan menunjukkan kasih sayang dengan cara umum. Di samping itu, orang autis juga tak dapat memberi respons secara impulsif sehingga mereka terlihat tak peduli.



Kesalahan Persepsi Keempat Terhadap Orang Autis - Orang Autis Menyukai Kesendirian dan Mengisolasi Diri

Orang autis memang cenderung menyendiri dan tak peduli dengan orang lain. Tapi, bukan berarti mereka tak ingin membangun komunikasi. Pada dasarnya, mereka pun ingin membangun hubungan dengan orang lain, tapi mereka mengalami gangguan dalam mengembangkan kemampuan komunikasi sosialnya. Mereka memiliki kesulitan nan luar biasa buat mengomunikasikan apapun nan mereka inginkan.



Kesalahan Persepsi Kelima Terhadap Orang Autis - Orang Autis Tidak Mampu Mengembangkan Keterampilan Sosial

Banyak orangtua orang autis nan tak menyekolahkan mereka. Para orangtua menganggap orang autis tak akan memiliki kemampuan buat menerima apapun nan diajarkan di sekolahan. Kesalahan persepsi ini sering membuat orangtua enggan mengupayakan pembelajaran keterampilan sosial pada anak.

Padahal, orang autis sebenarnya mampu mengembangkan keterampilan tersebut, hanya saja itu tak dapat berlangsung secara alami sebagaimana orang normal. Karena itu, orang autis membutuhkan bentuan orang lain dalam pembelajaran tersebut. Untuk itu, orangtua harus benar-benar menempatkan orang autis di lingkungan belajar nan tepat.



Kesalahan Persepsi Keenam Terhadap Orang Autis - Autisme Hanya Dialami di Usia Anak-anak, Saat Dewasa Akan Hilang dengan Sendirinya

Faktanya, autisme ialah sebuah kelainan pada psikologi nan tak bisa disembuhkan, tapi dapat diminimalisir dampak-dampaknya. Pemberian terapi nan tepat dan teratur akan membantu penderita autis mengembangkan kemampuan dan keterampilan sebagaimana orang normal.

Dalam beberapa kasus kondisi autisme ringan, seseorang dapat hayati berdikari dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Sedangkan pada gangguan nan lebib berat, orang autis membutuhkan donasi orang lain secara terus-menerus.



Kesalahan Persepsi Ketujuh Terhadap Orang Autis - Mayoritas Tokoh Ilmu Pengetahuan Adalah Orang Autis

Orang autis memang memiliki kesamaan perhatian nan besar terhadap suatu objek, misalnya: benda, mainan, orang, atau suatu bidang ilmu. Ketertarikan tersebut bersifat obsesif dan possesif. Dapat jadi seorang autis memiliki obsesi tinggi terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan sehingga mereka mampu mencapai taraf pemahaman jauh di atas manusia normal.

Namun, bukan berarti setiap tokoh ilmu pengetahuan tersebut ialah orang autis, karena orang normal pun dapat mencapainya apabila diiringi dengan keseriusan, fokus, dan usaha belajar nan tak pernah surut.

Nah, itulah beberapa persepsi salah nan sering dialamatkan kepada orang autis. Sebenarnya, mereka ingin menjalani hayati sebagaimana orang lain. hanya saja mereka memiliki keterbatasan. Untuk itu, jangan sekalipun mengucilkan orang autis nan terdapat dilingkungan Anda.