Puisi Beserta Pengarangnya - Puisi-Pengarang-Konteks

Puisi Beserta Pengarangnya - Puisi-Pengarang-Konteks

Sebuah puisi tidak dapat dilepaskan dari sosok pengarangnya atau puisi beserta pengarangnya itu tidak terpisahkan. Ingatan pada sebait puisi terkadang muncul begitu saja dalam benak kita ketika kita mendengar nama seorang penyair (penulis puisi) disebut dan dibicarakan. Begitu pula ketika kita membaca sebuah puisi nan sangat populer, nama penyairnya serta-merta ikut berkelebat dalam ingatan kita sehingga secara tidak sadar kita langsung menghubungkan puisi beserta pengarangnya.

Ketika membaca atau mendengar bait puisi “Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang” misalnya, kita akan langsung teringat pada Chairil Anwar, sosok penyair nan menulis puisi tersebut. Sebaliknya, ketika kita mengingat nama Chairil Anwar, nan muncul dan berkelebat dalam ingatan kita ialah puisinya nan berjudul “Aku”. Bahkan, saking terkenalnya puisi berjudul “Aku” ini, sosok Chairil Anwar sebagai penyair seakan-akan tidak dapat dilepaskan dari puisi tersebut.



Puisi Beserta Pengarangnya - Puisi-Pengarang-Konteks

Selain sosok sang pengarang, ada satu unsur lagi nan sebenarnya tak dapat dipisahkan dari global teks, yaitu konteks (ruang- waktu ), sang pengarang itu hayati dan teks itu ditulis/dihasilkan. Sebuah loka dan penanda waktu dalam hal ini tak lagi bermakna sebatas fisik, namun juga menjadi jiwa dari lahirnya karya-karya sang pengarang. Keadaan sosial, politik, dan ekonomi pada saat pengarang hayati dan ketika melahirkan karyanya juga akan menentukan proses dan hasil akhir dari teks nan dihasilkannya.

Pengarang dengan konteksnya ialah sebuah kesatuan dalam proses kelahiran sebuah teks . Ketiga unsur di atas (puisi-pengarang-konteks) akan saling memengaruhi, namun juga dapat berdiri masing-masing. Teks tetap dapat ditafsirkan tanpa harus melihat sosok sang pengarang dan konteks di mana sang pengarang itu tinggal. Sang pengarang juga dapat hayati independen tanpa teks nan dihasilkannya.

Begitu juga sebuah konteks ( ruang -waktu) tetap tegak dengan dirinya sendiri sebagai sebuah ruang-waktu di luar teks nan ditulis oleh sang pengarang. Sebagai contoh, ketika mendengar nama Chairil Anwar pikiran kita dapat terseret ke masa pra-kemerdekaan dan masa-masa awal ketika republik ini baru berdiri, nan notabene ialah konteks kehidupan Chairil Anwar.

Kita dapat mengetahui orientasi dan kesamaan seorang penyair dari puisi-puisinya. Misalnya, buat apa puisi itu ditulis, dalam rangka apa puisi itu ditulis, hingga apa nan sedang ia perjuangkan dengan puisi nan ditulisnya itu. Hal-hal tersebut dapat kita ketahui sebab biasanya seorang penyair begitu dominan membahas tema eksklusif nan digandrunginya sehingga kita dapat mendapat citra seberapa jauh usaha penyair tersebut memperjuangkan pemikiran hingga ideologinya.

Jika kita jeli, kita juga dapat mengetahui latar belakang sang pengarang. Dari karya-karyanya pula kita dapat menggali kepada siapa pengarang itu berkiblat, tokoh nan menjadi penutannya, orang-orang nan memengaruhinya, hingga ideologi nan diyakininya maupun ideologi nan hendak dilawannya. Para pengarang (baik secara sadar atau tak sadar) seringkali menyelipkan ideologi nan diyakininya ke dalam teks nan ditulisnya.



Puisi dan Pengarangnya

Sajak -sajak Chairil Anwar misalnya, didominasi tema tentang perjuangan pra-kemerdekaan, keterasingan hidup, dan kehilangan nan mendalam atas kepergian seseorang. Sementara puisi-puisi Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji banyak berisi nasihat- nasihat kehidupan, terutama tentang tata krama.

Puisi-puisi Taufiq Ismail didominasi oleh citra-citra lihatan dan tanggapannya atas kehidupan sosial dan negara. Puisi-puisi WS. Rendra dan Widji Tukul begitu gandrung dalam memperjuangkan hal-hak kaum pinggiran: kaum miskin kota, buruh-buruh pabrik, hingga para pelacur nan hayati di ibu kota. Dan banyak lagi kesamaan penyair-penyair lainnya nan dapat kita tangkap ketika membaca puisi-puisinya.

Puisi merupakan ungkapan perasaan personal seorang penyair ketika menangkap peristiwa dan perasaan nan dianggapnya berkesan. Kesan itu dicernanya melalui perenungan nan mendalam dan kemudian dituangkan dalam bait-bait puisi. Puisi memang bersifat personal, namun puisi dapat ditafsirkan dengan sangat universal .

Maka tidak heran jika sebuah puisi seringkali tidak hanya menjadi citra kehidupan dan perasaan hati sang pengarang, namun juga mampu menggambarkan nuansa, suasana, dan peristiwa ketika puisi itu sedang ditulis sang pengarang. Dalam hal ini, puisi “Aku” karya Chairil Anwar, sebagaimana disinggung di atas, dapat dijadikan contoh puisi nan tidak hanya menjadi citra kehidupan sosok pengarangnya saja, namun juga menjadi citra kondisi di mana sang pengarang itu hidup, yaitu masa-masa awal kemerdekaan.

Puisi nan secara kualitas bagus dan menonjol sehingga menjadi terkenal, akan membawa akibat besar pada penyairnya dan bahkan akan menjadi ‘identitas’ nan inheren pada penyair tersebut. Ada beberapa puisi Indonesia nan begitu lekat dengan penyairnya.

Di antaranya adalah: Syair Bahtera (Hamzah Fansuri), Gurindam 12 (Raja Ali Haji), Doa (Amir Hamzah), Malam Lebaran (Sitor Situmorang), Sajak Kawin (Sutardji Calzoum Bachri), Manusia Pertama di Angkasa Luar (Subagio Sastrowardoyo), Malu Aku Jadi Orang Indonesia (Taufiq Ismail), Sajak Pamflet (WS. Rendra), Aku Ingin ( Sapardi Djoko Damono ), dan lain-lain

Selain judul puisi nan begitu lekat dengan pengarangnya, beberapa penyair di tanah air juga memiliki julukan sebab kemenonjolannya di global puisi. Chairil Anwar seringkali dijuluki “Binatang Jalang” nan notabene julukan tersebut ialah sebuah frasa dari puisinya nan berjudul “Aku”. Selain Chairil, ada beberapa penyair lainnya nan diberi julukan berdasarkan karya -karyanya.

Penyair Amir Hamzah dijuluki “Raja Penyair Melayu ” karena puisi-puisinya menjadi pamungkas tradisi puisi bercorak Melayu di Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri dijuluki “Presiden Penyair”, Sitor Situmorang dijuluki “Penyair Agung” sebab dia terus berkarya lebih dari 60 tahun dan sudah lebih dari 600-an sajak nan dihasilkannya. Selain nama-nama nan disebut di atas, ada banyak nama penyair lain nan mendapat julukan sebab karya-karyanya dianggap menonjol.

Puisi dengan pengarangnya mempunyai posisi nan sangat unik . Puisi seringkali menggambarkan sosok sang pengarang, gagasannya, orisentasinya, bahkan ideologinya. Di sisi lain, kehidupan biografis seorang penyair juga dapat menjadi pintu masuk ketika akan membaca sebuah teks (puisi). Dalam hal ini, puisi dan pengarangnya akan ‘saling menghidupi’ satu dengan nan lain, saling memberikan ‘kata kunci ’ dalam proses penafsiran.



Pengarang Telah Mati

Roland Barthes, seorang Filsuf Perancis mengatakan bahwa “Pengarang telah wafat ketika karyanya telah selesai dituliskan”. Pernyataan Barthes ini bukan berarti hendak memisahkan teks dengan sang pengarang, Barthes hendak menekankan bahwa sang pengarang tidak lagi mempunyai otoritas dalam menggiring penafsiran pembaca atas teks nan ditulisnya.

Ketika karya itu telah selesai ditulis dan dilempar ke publik , maka pembaca bebas menafsirkan teks tersebut tanpa harus terpaku kepada maksud pengarangnya, apalagi jika sampai disetir oleh sang pengarang atas tafsir dari karya nan ditulisnya. Pembaca akan menjadi lebih higienis dari pengaruh nan diperjuangkan sang pengarang melalui teks nan ditulisnya.

Dengan demikian penafsiran pembaca menjadi lebih objektif, karena teks memiliki kehidupannya sendiri, global dalam teks dapat jadi sangat jauh berbeda dengan global nan ingin digambarkan oleh benak sang pengarang. Inilah nan dimaksud Barthes dengan “ the death of the author ” (kematian sang pengarang).

Semoga artikel tentang puisi beserta pengarangnya ini bermanfaat!