Akhir Hayat
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kita banyak mengenal beberapa nama pahlawan. Mereka memiliki peran nan sangat penting, dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan bangsa asing. Diantara sekian banyak pahlawan, terdapat beberapa nama pahlawan wanita nan juga memiliki peran tak kalah pentingnya.
Perjuangan para pahlawan wanita tersebut, bukan sekedar melalui perjuangan fisik. Beberapa diantara mereka, berjuang dengan kemampuan fikiran dan sinkron kodrat kewanitaannya. Meski demikian, peran ini dianggap memiliki fungsi nan sama pentingnya dengan perjuangan nan dilakukan melalui perjuangan fisik.
Perjuangan para pahlawan wanita ini hampir dapat dijumpai di berbagai pulau di Indonesia. Mulai dari Aceh, Jawa hingga Maluku kita dapat menjumpai beberapa nama pahlawan wanita nan dengan gagah berani, turut berperan menciptakan kehidupan nan lebih baik bagi bangsa Indonesia.
Berkat perjuangan merekalah, pada saat ini rakyat Indonesia memiliki kesempatan buat dapat meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Mulai dari sektor fisik, hingga ke proses pengembangan pemikiran. Hal ini tentu sangat berharga buat mewujudkan cita-cita nan tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, yaitu buat mewujudkan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Dewi Sartika
Salah satu tokoh pahlawan wanita nan ada di Indonesia ialah Dewi Sartika. Pahlawan nan berasal dari Jawa Barat ini, dilahirkan dari keluarga bangsawan Sunda, yaitu Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somagara. Dewi Sartika kecil memiliki keberuntungan sejak kecil, sebab kedua orang tuanya memiliki kemauan nan besar buat mendidik Dewi Sartika di sekolah Belanda. Walaupun pada saat itu, apa nan dilakukan kedua orang tuanya sempat mendapatkan tentangan sebab antagonis dengan adat pada saat itu.
Setelah ayahnya meninggal, Dewi Sartika diasuh pamannya, nan menjadi seorang patih di Cicalengka. Dari pamannya tersebut, dirinya memperoleh pengetahuan kebudayaan Sunda. Sementara wawasan budaya Barat diperolehnya dari seorang nyonya Asisten Residen warga negara Belanda.
Sejak kecil, Dewi Sartika memiliki talenta besar di bidang pendidikan dan kemauannya buat maju. Hal ini terlihat ketika sedang belajar di gedung kepatihan, Dewi Sartika sering memperagakan cara belajar di sekolah, cara membaca dan menulis serta bahasa Belanda pada anak-anak pembantu nan ada di kepatihan. Alat peraga nan digunakan ialah papan bilik kandang kereta, arang atau pecahan genting sebagai alat tulisnya.
Apa nan dilakukan Dewi Sartika saat berusia sepuluh tahun itu cukup membuat gempar di kawasan Cicalengka. Sebab, hal itu menjadikan para anak pembantu itu mampu menguasai bahasa Belanda. Dimana pada masa itu, belum ada rakyat jelata nan dapat berbahasa Belanda sebagaimana nan dimiliki oleh anak-anak pembantu kepatihan tersebut. Terlebih, kemampuan tersebut didapat dari seorang anak perempuan nan baru berusia sepuluh tahun.
Memasuki usia remaja Dewi Sartika nan lahir pada 4 Desember 1884 ini, kembali ke asuhan ibunya di Bandung. Dalam usia tersebut, semangatnya semakin kuat buat dapat mewujudkan cita-citanya dalam memberikan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Beruntung, keinginan tersebut didukung oleh pamannya nan menjadi bupati, yaitu Bupati Martanagara.
Sayangnya, meski mendapatkan dukungan, bukan berarti semua nan dicita-citakannya tersebut dapat terwujud dengan mudah. Salah satu nan menghambat ialah adanya adat pada masa itu, nan membatasi para perempuan buat dapat mendapatkan pendidikan sekolah.
Namun berkat kegigihannya serta kemampuannya meyakinkan sang Paman, akhirnya cita-cita itu sukses diwujudkan. Dan sebuah sekolah nan ditujukan spesifik buat kaum perempuan pun sukses didirikan. Dewi Sartika sendiri nan kemudian menjadi pengajar di sekolah tersebut.
Sekolah ini sukses didirikan pada tahun 1902. Lokasi sekolah tersebut, menggunakan sebuah ruangan kecil nan terletak di bagian belakang rumah ibunya. Pada awalnya, hanya anggota keluarga perempuan saja nan menjadi muridnya. Dewi Sartika mengajarkan beberapa kegiatan seperti merenda, memasak, jahit menjahit, membaca, menulis dan berbagai materi lain sebagaimana materi nan ada pada saat itu.
Setelah berjalan selama dua tahun akhirnya pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri pertama se Hindia Belanda. Sekolah ini didirikan setelah mendapatkan restu dari Bupati R. A Martanegara. Di sekolah tersebut, Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya sebagai tenaga pengajar, yaitu Ny. Poerwa dan Nyi Oewid.
Respon masyarakat pada saat itu cukup bagus menanggapi dibukanya sekolah buat kaum perempuan tersebut. Hal ini terlihat dari jumlah murid angkatan pertama sekolah ini nan mencapai 20 orang. Untuk kegiatan belajar, digunakanlah ruangan pendopo kabupaten Bandung nan berukuran lebih luas daripada ruangan belakang rumah ibunya.
Pada tahun 1905, sekolah ini pindah ke Jalan Ciguriang, Kebun Cau Bandung. Hal ini sebab sekolah bermaksud buat menambah kelas, sehingga membutuhkan lokasi nan lebih luas lagi. Lokasi baru tersebut dibeli dengan menggunakan uang pribadi Dewi Sartika serta donasi pribadi Bupati Bandung.
Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata. Suaminya tersebut memiliki profesi sebagai seorang guru, sehingga mereka berdua memiliki visi dan misi nan sama tentang sekolah nan didirikan oleh Dewi Sartika. Keduanya bahu membahu buat menciptakan sekolah tersebut agar dapat lebih berkembang lagi di masa mendatang.
Perkembangan Sekolah
Sekolah nan didirikan oleh Dewi Sartika ini menghasilkan lulusan pertama pada tahun 1909. Hal ini menjadi bukti, bahwa bangsa Indonesia juga dapat memiliki kemampuan nan setara dengan kaum pria. Pada tahun 1910, sekolah perempuan tersebut diperbaiki agar dapat memenuhi syarat dan kelengkapan sebagai sebuah sekolah formal. Dana nan digunakan buat melakukan proses pemugaran tersebut, seluruhnya menggunakan dana pribadi dari Dewi Sartika.
Setelah pendirian sekolah Dewi Sartika tersebut, di beberapa loka lain di daerah Bandung mulai berdiri beberapa Sakola Istri lainnya. Pendirian sekolah ini dipelopori oleh kaum perempuan Sunda nan memiliki kecenderungan cita-cita dengan Dewi Sartika. Tercatat pada tahun 1912, ada sembilan Sakola Istri nan ada di kota-kota kabupaten.
Pada tahun 1914, nan merupakan genap 10 tahun pendirian Sakola Istri tersebut, nama sekolah diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri atau sekolah keutamaan perempuan. Dan pada masa itu, jumlah kabupaten nan belum memiliki Sakola Kautamaan Istri di Bandung, tercatat tak lebih dari empat kabupaten saja. Hal ini merupakan sebuah indikasi nan positif dan mampu menyebar hingga ke beberapa daerah di luar Bandung.
Salah satunya ialah kota Bukittinggi, nan juga mulai didirikan sekolah buat perempuan tersebut. Pelopornya ialah Encik Rama Saleh. Dan pada tahun 1920, seluruh kota kabupaten di Bandung, tercatat sudah mampu memiliki Sakola Kautamaan Istri, nan ditambah beberapa sekolah nan didirikan di kota kawedanan.
Pada bulan September 1929, Sakola Kautamaan Istri tepat berusia seperempat abad. Nama sekolah pun kemudian diganti menjadi Sakola Raden Dewi. Pengakuan atas jasa sekolah ini pun datang dari pemerintahan Hindia Belanda, nan diwujudkan dengan pemberian bintang jasa kepada Dewi Sartika.
Akhir Hayat
Dewi Sartika meninggal pada usia 62 tahun, tepatnya tanggal 11 September 1947 di Tasikmalaya. Dewi Sartika dimakamkan melalui sebuah upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon, Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Dan pada tahun 1950, makam Dewi Sartika dipindahkan ke Pemakaman Bupati Bandung nan terletak di Jalan Karang Anyar, Bandung hingga saat ini.