Puisi Pada masa ini Sebagai Representasi Budaya Popular

Puisi Pada masa ini Sebagai Representasi Budaya Popular



Puisi dari Generasi ke Generasi

Berbagai perkembangan dalam global kepenyairan tentu merupakan wilayah nan cocok buat dikaji oleh para pakar sastra. Disparitas genre, tema, dan latar sosial budaya nan bersokol dalam tiap generasi merupakan faktor nan turut berpengaruh terhadap perpuisian pada zaman tersebut.

Oleh sebab itulah muncul nilai kepenyairan nan sangat khas antara satu generasi dengan generasi lainnya. Misalnya saja, generasi Balai Pustaka nan lebih mengusung budaya pantun dalam perpuisiannya akan sangat berbeda dengan puisi pada masa ini nan lebih menitikberatkan kebebsan dalam mengekspresikan berbagai struktur pembangun puisinya.

Setelah Balai Pustaka, muncullah generasi Pujangga Baru nan hampir mirip, namun sudah mulai mengusung tema-tema nan tak terlalu klasik. Setelah itu, barulah pemberontakan nilai perpuisian diusung oleh generasi 45 nan memiliki tokoh terkenal sekaliber Chairil Anwar.

Angkatan 45 ini dianggap sebagai pemberontak nilai puisi lama sebab sudah muncul berbagai hal baru, baik secara bentuk maupun makna. Pada termin ini, puisi sudah mulai memunculkan saya lirik sebagai objek sekaligus subjek nan harus dipatuhi nilai-nilai puitisnya.

Begitu juga dengan tema nan dihadirkan oleh angkatan tersebut, lebih bersifat ekspresif jika dibandingkan dengan dua angkatan sebelumnya.

Angkatan inilah nan kemudian menjadi pelopor dan penggerak bagi generasi perpuisian di Indonesia selanjutnya, yakni angkatan 66, 80, hingga kini. Proses puitik ini mampu dijalankan secara khas dari generasi ke generasi. Hal itu tentu saja tak lepas dari latar sosial dan budaya nan ada pada saat itu.

Misalnya saja, pada saat angkatan 45 muncul, nilai pemberontakan tak begitu saja muncul sebagai ide perpuisian para penyair 45. Nilai tersebut muncul sebab ada latar belakang kemerdekaan Negara nan juga menjadi salah satu motif dalam mengekspresikan apa nan hendak disampaikannya pada budaya dan Negara Indonesia.

Begitu juga dengan puisi pada masa ini nan dihadirkan oleh penyair modern seperti Sutardji Calzoum Bachri, Joko Pinurbo, Afrizal Malna, dan lain-lain nan lebih menitikberatkan pemaknaan di dalam puisi itu sendiri dibandingkan dengan pemaknaan di luar puisi (secara bentuk).

Bagi para penyair modern, puisi bukanlah sebuah karya sastra nan terikat pada struktur standar nan selama ini diklaim sebagai syarat sahnya sebuah tulisan dianggap sebagai puisi.

Bagi mereka, puisi lebih dari sekadar bentuk. Puisi ialah wacana nan hendak dipublikasikan lewat caranya nan unik dan terkadang sulit buat dimengerti. Oleh sebab itu, pada generasi modern, puisi muncul dalam berbagai bentuk dan rupa.

Ada puisi rupa nan melibatkan berbagai objek nyata, ada juga puisi visual nan hanya mengedepankan imbas dan membiarkan makna didapatkan secara tak langsung oleh para pembaca puisi tersebut. Bahkan tanpa satu kata pun, sebuah makna dapat menjadi puisi baru.



Berbagai Contoh Puisi Kontemporer

Puisi pada masa ini dikategorikan sebagai puisi modern. Dikatakan sebagai puisi pada masa ini karena pengategoriannya ditekankan pada ciri puisi tersebut. Dalam puisi kontemporer, aturan-aturan standar nan berlaku atau diterapkan pada puisi lama sudah tak memengaruhi pembuatan puisi tersebut.

Puisi pada masa ini lebih bebas baik dalam segi tipografi atau tata bentuk (letak) puisi, maupun dalam bentuk rima atau akhir bunyi puisi. Kata-kata nan digunakan pun lebih lugas. Puisi pada masa ini pun banyak nan menggugah pencerahan dan berbicara mengenai kehidupan sosial.

Puisi pada masa ini ada nan lebih mementingkan unsur bunyi dan tipografi, seperti halnya puisi Sutardji Calzoum Bachri. Ada nan mementingkan kritikan nan ditulis dengan bahasa nan ringan, blak-blakan, dan terkesan lucu. Puisi seperti ini disebut dengan puisi mbeling, seperti puisi nan ditulis oleh Remy Silado.

Ada pula puisi nan tak menghiraukan makna, kata-kata dalam puisi dibuat begitu saja tanpa ada maksud kata eksklusif nan dikhususkan. Ada pula puisi pada masa ini nan mengkombinasikan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, juga nan membolak-balikkan struktur kata. Bahkan, ada pula puisi nan lebih menonjolkan unsur garis atau gambar seperti puisi Danarto. Penggunaan simbol pun banyak ditemukan pada puisi kontemporer.

Banyak nan mengatakan bahwa puisi pada masa ini adalah puisi nan muncul pada era 70-an. Disebut puisi pada masa ini karena puisi-puisi tersebut dianggap sebagai pendobrak dari pembuatan puisi nan selalu didasarkan pada aturan-aturan nan mementingkan unsur-unsur pembentuk puisi pada jenis puisi lama dan baru.

Pada 1970-an inilah mulai muncul teks-teks puisi nan tak lagi terikat pada aturan-aturan seperti pada jenis puisi lama. Jadi, angkatan 1970-an ini dianggap sebagai pendobrak, pembaharu. Itu sebabnya puisi angkatan 1970-an disebut sebagai puisi kontemporer.

Sesungguhnya puisi-puisi nan ditulis saat ini, selepas angkatan 1970-an merupakan puisi kontemporer. Hanya saja banyak nan menggolongkan puisi nan ditulis pada masa pascareformasi dikategorikan sebagai puisi 2000-an. Padahal, puisi-puisi nan ditulis pada tahun-tahun sekarang jelas merupakan puisi kontemporer.

Puisi pada masa ini bukan milik angkatan 70-an, bukan hanya pada puisi nan muncul di era 70-an. Arti kata pada masa ini sendiri adalah mutakhir, kekinian, jelaslah kekinian berarti masa kini. Berarti, puisi-puisi nan muncul saat ini nan ditulis oleh para penyair muda indonesia itulah puisi kontemporer.

Jika penggolongan puisi pada masa ini hanya diperuntukkan pada puisi era 70-an betapa politis sekali penggolongan puisi tersebut. Bukankah jika dilihat dari kesamaan dan bentuk karyanya, puisi-puisi nan muncul saat ini memiliki ciri-ciri seperti halnya puisi-puisi nan muncul pada era 70-an nan disebut sebagai puisi kontemporer, bukan?



Puisi Pada masa ini Sebagai Representasi Budaya Popular

Jika selama ini kita meilhat puisi dari segi temanya saja, maka sudah saatnya kita melihat puisi dari sudut pandang nan lain. Bentuk puisi pun sebenarnya dapat dijadikan sebagai objek bagi pembacaan puisi.

Dengan bentuk tertentu, kita dapat menilai representasi apa nan dihadirkan oleh puisi tersebut. Misalnya saja, bentuk tipografi rata kanan-kiri nan dewasa ini sering dipergunakan oleh para penyair sebetulnya dapat saja merupakan representasi atas kecenderungan atau keseragaman berbagai aspek kehidupan di global ini.

Budaya popular sebagai budaya massa nan serba seragam merupakan satu bentuk refleksi impulsif dari pembacaan tipografi tersebut. Tidak ada variasi nan teratur dari puisi merupakan reperesentasi nan sama mengenai tak adanya variasi nan teratur dari budaya masyarakat di Indonesia.

Selebritas menjadi sebuah tauladan bagi masyarakat awam hanya sebab muncul di sebuah media massa nan dibaca banyak orang. Lantas, orang tersebut menjadi terkenal dan dianggap sebagai ikon nan mampu menjembatani antara masyarakat awam dengan masyarakat kelas menengah ke atas.

Selain itu, pembacaan puisi pada masa ini juga dapat kita lakukan dengan menangkap berbagai diksi modern nan dihadirkan oleh kebanyak puisi modern. Misalnya saja pada puisi pada masa ini karya Afrizal Malna nan berjudul "Channel 00" berikut ini.

Channel 00

Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar.
Bunga dan bensin di halaman.

Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.

Dalam puisi tersebut, kita dapat menyaksikan aksi pada masa ini dari diksi 'channel', 'bensin', dan 'televisi berwarna' nan juga menjadi penanda representasi budaya massa nan terdapat dalam kehidupan modern ini.

Kita dapat membandingkan antara diksi tersebut dengan diksi tradisional nan terdapat pada puisi generasi lama (antara Balai Pustaka hingga Angkatan 66). Pada generasi lama tersebut, kita masih dapat menemukan diksi 'alami' nan juga merepresentasikan nilai budaya lokal pada masa itu.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa puisi pada masa ini bukan hanya sebuah penemuan dalam hal membebaskan puisi dari nilai-nilai baku, melainkan juga sebagai bentuk representasi budaya popular nan berlaku dalam kehidupan modern.