Permasalahan Asas Praduga tidak Bersalah

Permasalahan Asas Praduga tidak Bersalah

Di alam demokrasi, kebebasan jurnalistik menjadi satu tuntutan tersendiri. Para pekerja jurnalis pun menginginkan kebebasan tersebut setelah sekian lama di bawah bayang-bayang kekuasaan otoriter Orde Baru. Pada masa Orde Baru, banyak perusahaan media cetak nan dibredel gara-gara terlalu vokal menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Sesaat setelah reformasi, jurnalistik atau tepatnya kebebasan pers pun telah sukses membebaskan keterkurungannya dari orde baru nan penuh kungkungan.



Landasan Kode Etik

Dalam praktek jurnalistik, institusi pers beserta para wartawan seharusnya mengacu kepada ketentuan-ketentuan nan digaris bawahi didalam KEWI.

Jurnalistik ialah suatu pekerjaan nan meminta tanggung jawab wartawan dalam menjalankan profesinya. Untuk memenuhi tanggung jawabnya ini maka wartawan harus memenuhi etika profesi yaitu Kode etik wartawan Indonesia (KEWI), alinea pertama, nan berbunyi

"...Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat diperlukan buat landasan moral/etika profesi nan menjadi panduan operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan." Pada butir kelima KEWI ini juga disebutkan "Wartawan Indonesia tak menerima suap dan tak menyalahgunakan profesi" (Sobur, 2001:103).

Dengan KEWI, wartawan bisa menimbang prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai kewajiban terhadap dirinya dan kewajiban terhadap orang lain. KEWI nan bersifat nasional, sebagian landasan moral/etika profesi dan menjadi panduan operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas. (Dewan pers, 2001:16).



Bebas Tanpa Bablas

Berbagai media dan para pekerja jurnalistik bebas mengemukakan dan menuliskan setiap peristiwa dengan gamblang. Akan tetapi, kebebasan pers nan dimaksud harus tetap diatur dalam koridor eksklusif agar tak kebablasan. Selain ada Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999, para jurnalis juga memiliki Kode Etik Jurnalistik nan mengatur kerja para jurnalis atau wartawan dalam memperoleh informasi buat diberitakan.

Dalam Kode Etik Jurnalistik dijelaskan bahwa wartawan Indonesia memiliki independensi agar dapat menginformasikan peristiwa sinkron dengan fakta dan hati nurani. Wartawan tak boleh bekerja di bawah campur tangan, paksaan, atau hegemoni pihak tertentu. Selain itu, informasi nan disampaikan wartawan harus akurat. Artinya, bisa dipercaya sahih sinkron keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

Wartawan juga tak dibenarkan memberitakan informasi sinkron "pesanan" atau berperilaku memeras pihak eksklusif buat mendapatkan laba finansial. Sebab, banyak pula wartawan gadungan nan kerjanya hanya mengancam pihak eksklusif dengan tulisan nan sengaja memojokkan pihak tersebut. Jika tak ingin diberitakan, biasanya wartawan gadungan tersebut meminta bayaran dengan nominal tertentu.

Oleh sebab itu, seorang wartawan tak boleh beritikad buruk ketika memberitakan sesuatu. Informasi nan disampaikan tak tendensius, tetapi benar-benar buat kepentingan publik nan bisa dirasakan manfaatnya.
Untuk memperoleh informasi nan seksama dan berimbang, seorang wartawan atau jurnalis harus bersikap profesional. Profesionalisme wartawan itu ditunjukkan dengan cara sebagai berikut.

  1. Menunjukkan bukti diri kewartawanan nan absah kepada narasumber. Dengan demikian, narasumber akan percaya dan mau memberikan informasi nan benar.
  2. Seorang wartawan harus menghormati hak privasi. Setiap orang mempunyai privasi nan tak boleh diganggu oleh orang lain. Wartawan tak dibenarkan buat memberitakan informasi nan sifatnya pribadi nan mengarah pada gosip atau ghibah.
  3. Untuk memperoleh informasi, wartawan tak dibolehkan melakukan suap terhadap pihak tertentu.
  4. Wartawan harus menghasilkan warta nan faktual dan jelas sumbernya. Sumber nan memberikan informasi harus bisa dipertanggungjawabkan.
  5. Jika mengutip atau memuat gambar, foto, atau suara, harus dilengkapi dengan keterangan tentang sumber atau narasumber dan ditampilkan secara berimbang sehingga tak dianggap plagiat.

Seorang wartawan atau pekerja jurnalis harus memahami sahih rambu-rambu nan telah dibuat, baik dalam Kode Etik Jurnalistik maupun dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999.



Permasalahan Asas Praduga tidak Bersalah

Dalam penelitian Rositin (2003) di jelaskanAdalah Prof Harold L Nelson dan Prof Dwight L Teeter (1982) nan mengatakan bahwa makna trial by the press sebenarnya mempersulit seorang terdakwa buat memperoleh peradilan nan bebas dan tidak memihak ( fair trial ). Terdakwa seakan-akan kehilangan hak atas "asas praduga tidak bersalah" sebab sebelum ada putusan pengadilan nan bersifat tetap baginya, ia telah dinyatakan bersalah oleh media massa.

Akan tetapi, tolok ukur bersalah dalam pengertian itu bagaimana? Tentulah tidak seperti amar putusan hakim, meskipun media massa bertindak seperti hakim. Pasal 5 Undang-Undang (UU) Pers No.40.1999, mengharuskan pers menghormati "asas praduga tak bersalah", tetapi tak menjelaskan makna menghakimi atau membuat konklusi kesalahan seseorang nan sedang menjadi terdakwa, dalam perkara pidana. Kaidah-kaidah kode etik jurnalistik (KEJ) nan diterima secara universal melarang buat disebutkan nama lengkap terdakwa. Juga paras terdakwa di dalam foto jurnalistik media cetak atau dalam jurnalistik penyiaran, tak boleh diperlihatkan.

Sebenarnya sinkron dengan perkembangan pers sekarang ini asas "praduga tidak bersalah" tak hanya menyangkut perkara kriminal dan hukum, meskipun keutamaan memang di kedua bidang itu. Seseorang atau badan dapat saja telah tercemar atau dipermainkan atau dianggap dursila oleh masyarakat dampak warta pers, meski nan bersangkutan tak pernah berurusan dengan polisi, Jaksa, pengadilan. Semua berita, termasuk warta politik, ekonomi, olah raga, bahkan hiburan, juga bisa melanggar asas praduga tidak bersalah meski bukan warta mengenai pengadilan.

Asas praduga tidak bersalah nan mendasari hukum pidana di Indonesia seperti tercantum dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 8:

"Setiap orang nan disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan nan menyatakan kesalahanya dan memperoleh hukum nan tetap."

Putusan hakim nan mempunyai Hukum Tetap adalah suatu putusan Hakim dimana tak terbuka lagi buat menempuh upaya Hukum nan tersedia bagi terpidana.



Pers Menghakimi Siapa di Untungkan?

Soal pelanggaran asas praduga tidak bersalah dalam pemberitaan di media massa bukan kali ini saja menjadi persoalan. Hampir dalam setiap warta besar, terutama dalam bidang kriminalitas dan hukum, wartawan Indonesia dihadapkan pada dilema antara tuntutan pemberitaan secara lengkap dan "jebakan" melanggar asas praduga tidak bersalah.

Serta dengan pemberitaan secara tak lengkap sehingga pembaca tak mendapatkan holistik informasi nan dibutuhkan tetapi "tidak terjebak" dalam pelanggaran asas praduga tidak bersalah. Lebih jauh, asas "praduga tidak bersalah" mempunyai arti nan krusial sebab mempunyai akibat hukum apabila dilanggar. Tidak sporadis dalam praktek jurnalistik terjadi pelanggaran nan disebut kejahatan pers (delik pers).

Pelanggaran asas "praduga tidak bersalah" bisa mengakibatkan orang nan diberitakan tercemar nama baiknya atau merasa terhina. Penyiaran warta nan tak sahih seperti ini bisa menjadi kasus penghinaan, nan bisa digolongkan sebagai delik pers penyiaran kabar dusta dan delik pers nan bersifat penghinaan (Assegaf, 1991:83).

Pemberitaan nan menimbulkan delik pers menyebabkan surat kabar nan bersangkutan dituntut pidana, atau bisa juga dituntut perdata dengan ganti rugi atas pencemaran nama baik, citra itu menunjukan bagaimana asas praduga tidak bersalah, selain menyangkut masalah etika, juga mempunyai aspek hukum.

Persoalan Asas praduga tidak bersalah cukup krusial diungkap mengingat banyak contoh cara pemberitaan oleh pers nan sering diprotes masyarakat khususnya orang nan berkaitan dengan subjek pemberitaan. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara penulisan nan tak akurat, bahkan menjurus pada penuduhan tanpa bukti-bukti nan kuat. Dan nan diuntungkan dari penerapan kode etik jurnalistik nan rentan ini, ialah pihak nan paling serakah ingin memanfaatkan celah hukum, demi laba finansial. Dari titik itu Anda dapat menebak sendiri.