Perjanjian Malino - Strategi Penangguhan Agresi Balik

Perjanjian Malino - Strategi Penangguhan Agresi Balik

Masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kerusuhan Poso nan mengakibatkan banyak korban tidak bersalah bergelimpangan. Ketegangan nan dipicu oleh dua agama terbesar di Indonesia ini semakin menawarkan ide patologis mengenai peperangan sengit antar umat beragama.

Beberapa umat Kristen radikal nan menganggap Islam sebagai musuh besar membuat banyak anak kecil dan wanita beragama Islam harus mengakhiri hayati mereka dengan cara nan sangat tak manusiawi. Beberapa anak kecil bahkan balita ditemukan tewas dengan luka bacokan serta jeroan nan keluar di bagian tubuh mereka.

Begitu juga dengan para wanita muslim nan ditemukan tak lepas dari darah nan buncah dari bagian tubuh mereka. Para penganut agam Islam menyebut para pelaku kerusuhan Poso ini dengan sebutan ‘Kristen Radikal’. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat Indonesia tak menggeneralisasi masyarakat nan beragama Kristen lainnya (umum).

Para pemuda dan lelaki muslim lainnya tak lepas dari siksaan dan keroyokan para Kristen radikal tersebut. mereka dikeroyok dengan cara nan sangat mengenaskan. Hampir semua orang nan melihatnya berteriak histeris dan tak mampu menahan rasa takut mereka. Begitu juga dengan para wartawan nan pada mulanya mencari berita, namun merasakan trauma setelah melihat kerusuhan Poso tersebut.

Sayangnya, tak ada satu pun pihak nan berani mencoba menghentikan tindakan sadis tersebut. Polisi setempat pun tak memiliki nyali buat dapat bertindak tegas terhadap oknum-oknum radikal itu. Bahkan dalam beberapa kasus, para polisi justru berusaha mengusir korban kerusuhan pada saat mereka meminta pertolongan polisi dalam keadaan berlumuran darah.

Hal ini tampak sangat ironis. Polisi sebagai aparat pemerintahan nan bertugas mengamankan rakyat malah menjadi pihak pengecut nan tak dapat melakukan apapun. Bahkan hanya buat membantu para korban bersembunyi pun mereka tak mampu dan tak mau.

Tidak hanya itu, para wanita pun banyak nan diperlakukan lebih kejam dari itu. Sebelum disiksa, mereka diperkosa secara beramai-ramai oleh pelaku kerusuhan Poso. Sebagian besar tewas setelah mendapatkan konduite biadab tersebut.



Latar Belakang Tragedi Kerusuhan Poso

Banyak orang bertanya-tanya apa nan melatarbelakangi terjadinya kerusuhan Poso sehingga menyebabkan banyak orang tak bersalah menjadi korbannya. Salah satu faktor nan memengaruhi terjadinya tragedi tersebut ialah adanya kecemburuan sosial umat Kristen nan merasa bahwa umat Islam lebih maju daripada mereka.

Keadaan ekonomi kaum muslim nan lebih baik daripada mereka ini membuat banyak masjid dibangun di daerah ini. Dengan keadaan tersebut, umat Kristen merasa bahwa kaum muslim lebih jemawa sebab kemajuan nan dimiliki mereka.

Lantas, adanya pihak-pihak di luar umat beragama tersebut disinyalir merupakan oknum tak bertanggung jawab. Mereka ingin membuat perpecahan antara umat Islam dan umat Kristen di wilayah Poso. Dalam keadaan nan rentan dengan provokasi itu, para penganut agama Kristen radikal mudah sekali tersulut sehingga memicu peperangan sengit nan dimulai oleh pihak mereka.

Bahkan dapat dibilang bahwa kejadian tersebut sama sekali tak mendapatkan agresi balik dari umat Islam. Mereka (umat Islam) tak merasa bahwa diri mereka mengesampingkan masyarakat Kristen hanya sebab perekonomian mereka jauh lebih baik dibandingkan dengan perekonomian para umat Kristen.

Oleh sebab itu, mereka juga tak menyangka bahwa para penganut Kristen radikal akan melakukan hal nan di luar insting humanisme tersebut. Sayangnya, umat Kristen radikal ini seolah-olah tak mampu menangkap diamnya umat Islam. Lambat laun, masyarakat Islam di Poso pun melakukan penyerangan balik atas apa nan mereka lakukan sebelumnya terhadap kaum muslim.

Serangan ini menimbulkan kekalahan pada kaum Kristen sehingga muncullah ide buat berdamai dengan masing-masing pihak menandatangani perjanjian Malino. Mereka juga menyerahkan senjata kepada pihak nan berwajib. Sayangnya, perjanjian tersebut hanya lewat begitu saja.

Beberapa lama kemudian, umat Kristen radikal kembali melakukan pembantaian dan penyerbuan terhadap masjid-masjid nan ada di Poso. Pembantaian ini membuat umat Islam kembali murka. Umat Islam menganggap bahwa perjanjian Malino nan mereka lakukan sama sekali tak ada artinya. Lantas peperangan pun kembali terjadi, dan korban tidak berdosa pun kembali bergelimpangan.



Perjanjian Malino - Strategi Penangguhan Agresi Balik

Seperti nan sudah dijelaskan di atas, setelah meledaknya kerusuhan Poso di berbagai media, muncullah langkah terakhir nan dilakukan oleh para pelaku kerusuhan ini. Lamhkah ini yaitu dengan memunculkan ide perjanjian Malino.

Umat Islam nan dipimpin oleh 16 orang dalam DPO (daftar pencarian orang) muslim mendapatkan kemenangan dari peperangan tersebut. Pihak Kristen radikal sepakat buat menandatangani perjanjian Malino. Secara politis, perjanjian tersebut sepertinya merupakan upaya para Kristen radikal buat melindungi diri mereka dari kecaman umat Islam.

Dengan cara ini pula mereka dapat menyusun agresi balik buat menjungkirbalikkan umat Islam kembali. Tibo dan kawan-kawan nan menjadi dalang dari kerusuhan Poso ini telah dihukum wafat setelah fakta membuktikan bahwa tragedi tersebut telah menewaskan lebih dari 2000 kaum muslim di Poso.

Akan tetapi, sanksi tersebut tak lantas membuat peperangan usai begitu saja. Pasca sanksi wafat Tibo dkk., pembantaian umat Kristen radikal kembali dilayangkan sehingga kerusuhan lagi-lagi terjadi. Sebanyak 16 DPO membuat agresi nan tidak kalah ganasnya dengan apa nan dilakukan oleh umat Kristen radikal.

Kerusuhan Poso ini mengalami perubahan peta perang. Peperangan antar umat beragama itu berubah menjadi peperangan antara aparat pemerintahan dengan kaum muslim di Poso. Pihak polisi menganggap bahwa kaum muslim di Poso merupakan penyebab gagalnya perjanjian Malino sehingga peperangan lagi-lagi terjadi.

Kejadian tersebut bukan hanya menimbulkan konflik lebih melebar, tapi juga membuat masyarakat Poso sangat terlihat patologis. Mereka memiliki kecacatan hukum dan moral nan sangat akut . Ini menyebabkan tak ada satu pihak pun nan dapat melerai perkelahian ini.

Polisi dan aparat pemerintahan lainnya pun sama sakitnya dengan kedua umat nan berperang. Mereka (polisi dan TNI) juga sukses disulut agar membantai sadis para umat Islam nan berhubungan denga keenam belas DPO.

Ketiga kubu tersebut menjadi saksi sekaligus bukti bahwa masyarakat Indonesia, khususnya Poso tak lagi memiliki pertahanan bukti diri diri nan baik. Mereka mudah disulut hanya sebab faktor perekonomian nan remeh temeh itu.

Hingga saat ini, perselisihan antarumat beragama tak hanya terjadi di wilayah Poso. Beberapa umat nan satu agama (namun berbeda golongan) pun banyak melakukan tindakan nan serupa. Beberapa waktu lalu, masyarakat di Tasik pun sempat dihebohkan dengan adanya penyerangan warga setempat terhadap sebuah masjid. Masjid ini disinyalir merupakan loka berkumpulnya para penganut Islam Ahmadiyah (dianggap sebagai genre sesat).

Konflik budaya ini juga terjadi sebab tak adanya pengetahuan dan wawasan nan luas mengenai nilai-nilai primordial nan secara adiluhung diajarkan oleh nenek moyang kita. Masyarakat Indonesia sebagai manusia ramah nan saling tenggang rasa dan menghargai bukan lagi menjadi ikon nan baik buat disuguhkan kepada pihak luar Indonesia.

Kerusuhan Poso nan menjangkiti seluruh masyarakat Poso menjadikan pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia lainnya. Pelajaran buat lebih meningkatkan kewaspadaan serta pencerahan diri akan pentingnya harmonisasi antarumat beragama. Dengan saling mengasihi dan menyayangi, tak akan ada lagi kejadian naas nan mampu menghabiskan ribuan nyawa tidak berdosa seperti nan etrjadi pada kerusuhan Poso tersebut.