Toko Merah

Toko Merah

Apa sajakah gedung bersejarah di Jakarta ? Di Jakarta, ada begitu banyak loka dan bangunan nan bersejarah. Sejarah sendiri ialah peristiwa nan terjadi pada masa lalu. Sejarah ialah catatan. Ada kenangan dan pelajaran di dalamnya. Belajar sejarah tidaklah melulu membaca buku. Bagi anak-anak nan mau belajar sejarah, membaca terkadang malah membuat bosan. Apalagi jika gurunya bercerita sejarah dengan tak menarik.

Salah satu alternatif belajar sejarah nan dapat menarik minat buat belajar ialah dengan mengunjungi museum atau tempat-tempat bersejarah lainnya. Di tengah hiruk pikuk keramaian dan bangunan modern, tempat-tempat bersejarah di Jakarta berdiri kokoh dan memiliki nilai-nilai historis nan tak dapat dilupakan begitu saja.

Selain museum tentunya, terdapat pula gedung-gedung bersejarah lain di Jakarta nan memiliki nilai historis cukup tinggi. Gedung-gedung tersebut kini masih berfungsi dan menjadi ikon nan tak bisa dipisahkan dari kota metropolitan ini. Berikut lima gedung bersejarah di Jakarta nan beberapa di antaranya sudah mulai diabaikan orang banyak.



Museum Wayang

Museum wayang merupakan salah satu museum nan kini mulai dilupakan. Berlokasi di Jakarta Barat, tepatnya Jalan Pintu Besar Utara Nomor 27, bangunan ini berdiri tegak di antara bangunan-bangunan lainnya. Museum ini merupakan salah satu museum tertua di ibukota. Museum nan didirikan pada tahun 1640 dengan nama Gereja Lama Belanda (De Oude Hollandsche Kerk) ini pernah mengalami perombakan.

Tepatnya tahun 1808, gedung ini pernah hancur dampak gempa bumi. Namun tak berapa lama museum ini dibangun kembali. Pada masa era kepemimpinan Soeharto, gedung ini berubah nama menjadi Museum Wayang nan diresmikan pada 13 Agustus 1975.

Seperti namanya, Museum Wayang banyak berisi koleksi wayang dari Nusantara serta negara Cina dan Kamboja. Terdapat pula koleksi boneka nan berasal dari Eropa dan negara Asia lainnya. Jumlah koleksi di dalam museum ini setidaknya sudah mencapai lebih dari 5.000 koleksi.

Museum ini pun tak hanya memiliki loka pameran saja tetapi juga terdapat sebuah ruangan nan spesifik menampilkan pertunjukan wayang 3D. Untuk bisa masuk ke salah satu gedung bersejarah di Jakarta ini, diperlukan karcis seharga Rp. 2000 saja. Murah, bukan? Sayangnya, keberadaan museum ini kalah pamor dengan gedung-gedung megah (termasuk mall) nan mengelilinginya.



Museum Tekstil

Museum Tekstil merupakan salah satu museum nan juga terletak di Jakarta Barat. Museum nan terletak di Jalan K.S. Tubun/Petamburan No. 4 Tanah Abang ini merupakan loka alternatif kunjungan wisata. Sampai saat ini, koleksi nan dimiliki oleh museum ini hampir mencapai 2.000 koleksi dari seluruh nusantara.

Koleksi-koleksi tersebut terdiri atas ratusan koleksi kain tenun dan koleksi kain batik serta tiga ratus lebih koleksi campuran. Sebagiannya lagi terdapat koleksi peralatan, koleksi busana, dan koleksi tekstil kontemporer. Selain itu, di museum ini, terdapat ruang display terbuka. Ruang ini berfungsi sebagai loka pengunjung mengamati berbagai macam koleksi nan terdapat di museum ini.

Museum ini awalnya merupakan sebuah rumah milik Abdul Azis Almussawi Al Katiri, seorang konsulat Turki nan kemudian menetap di Indonesia. Beliau membeli rumah ini dari seorang warga negara Prancis nan sudah memiliki rumah tersebut sejak abad ke-19.

Sebelum berubah menjadi museum, gedung ini terlebih dulu dijadikan markas Barisan Kemanan Rakyat pada tahun 1947. Baru pada 28 Juni 1976, gedung ini diresmikan jadi museum oleh Ibu Tien.



Toko Merah

Toko Merah merupakan salah satu gedung bersejarah di Jakarta nan memiliki arsitektur unik. Toko nan dindingnya didominasi rona merah ini, dibangun dengan gaya arsitektur Cina dan dibangun pada tahun 1730. Gedung ini menjadi populer saat seorang keturunan Tionghoa berjualan di gedung ini. Saat itulah muncul julukan Toko Merah buat gedung nan satu ini.

Dalam sejarahnya, gedung ini mengalami berbagai pergantian fungsi. Toko Merah pernah dijadikan loka tinggal oleh Gubernur VOC Gustaaf Willem Baron Van Imhoff (1743–1750). Gubernur-gubernur VOC lainnya pun pernah tinggal di gedung ini. Selain sebagai loka tinggal, gedung ini pun pernah jadi loka penginapan pada masa kolonial Belanda.

Bahkan saat itu, Toko Merah pun pernah menjadi loka Akademi Maritim Belanda. Perusahaan Perdagangan Indonesia juga pernah menjadikan gedung ini sebagai kantornya. Kini, toko nan luasnya mencapai 5.000 m2 ini masih tetap berdiri kokoh di Jalan Kali Besar Barat No. 11, Jakarta Barat, meskipun saat ini sudah tak berpenghuni lagi alias kosong.



Masjid Luar Batang

Salah satu gedung bersejarah di Jakarta nan identik dengan keagamaan ialah Masjid Luar Batang. Masjid nan letaknya berada di daerah Pasar Ikan, Jakarta Utara ini merupakan masjid nan cukup terkenal di Jakarta. Masjid ini banyak didatangi oleh para pejabat negara, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Nama masjid ini syahdan diambil dari nama Habib Luar Batang, sebuah julukan nan inheren pada Habib Husein, salah satu ulama nan makamnya ada di masjid ini. Tidak jelas sejak kapan masjid ini didirikan. Beberapa catatan sejarah hanya memuat bahwa masjid ini sudah ada sejak abad ke-17. Namun tahun 1916, diketahui bahwa masjid ini diselesaikan pada 29 April 1739.

Dari hal tersebut bisa diasumsikan bahwa masjid ini didirikan akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Saat Jakarta masih bernama Batavia sampai sekarang, masjid ini ramai dikunjungi para peziarah. Barangkali hal tersebut terjadi sebab di masjid ini terdapat makam Sayid Husein bin Abu Bakar Alaydrus nan dianggap keramat.



Gedung Schouwburg/GKJ

Gedung Schouwburg, barangkali nama ini cukup asing dan kurang dikenal oleh kebanyakan orang di Jakarta. Namun jika menyebut nama lainnya, Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), hampir kebanyakan orang Jakarta tahu gedung tersebut. Sebelum bernama GKJ, gedung ini punya nama Gedung Schouwburg nan berarti Gedung Teater GKJ.

Gedung ini merupakan gedung kesenian kelas atas di Jakarta. Karena, selain desainnya nan bergaya neo-renaisance, gedung ini merupakan salah satu loka pertunjukan seni semacam resital, drama, teater, tari, serta musik klasik. Gedung nan dulunya pernah jadi bioskop ini, memiliki kapasitas sekitar 475 orang dengan berbagai fasilitas pertunjukan nan cukup lengkap.

Awalnya, gedung ini hanya berupa pondok bambu dengan kapasitas penonton sekitar 20 orang. Saat itu, tahun 1814, Jawa sedang dikuasai oleh Inggris. Gubernur Jendral saat itu, Raffles, mendirikan gedung ini sebagai loka hiburan bagi tentara Inggris. Setelah Belanda masuk dan menguasai Jawa, gedung ini dirobohkan dan dibangun kembali dengan nama Schouwburg.

Setelah itu, gedung ini berubah fungsi dari mulai loka sidang, kegiatan kampus UI, menjadi sebuah akademi seni sampai beralih menjadi bioskop. Beruntung, pada tahun 1984, saat R. Suprapto menjabat sebagai gubernur Jakarta, gedung ini kembali ke fungsi awalnya, yaitu sebagai sebuah gedung pertunjukan seni.

Selain kelima gedung tersebut, masih banyak gedung bersejarah lainnya di Jakarta nan memiliki nilai historis dan mulai dilupakan orang. Museum misalnya, ada Museum Bahari, Museum Gajah, Museum Seni Rupa dan Keramik, serta Museum Bank Indonesia.

Museum-museum ini sekarang hanya terlihat sebagai hiasan kota. Museum-museum tersebut memiliki jumlah pengunjung nan sedikit dan kalah pamor dibandingkan gedung lain nan memiliki fungsi sebagai hiburan.