Motif Batik Lasem

Motif Batik Lasem

Batik tak selalu dikonotasikan dengan kain bermotif dengan warna-warna cokelat, hitam, merah tua, biru tua, atau putih. Mencermati batik lasem , kita akan menemukan rona nan berbeda dari jenis rona ceria seperti merah muda, hijau muda, kuning cerah, dan sebagainya. Itulah karakteristik khas dari batik lasem.

Dalam khazanah batik Nusantara, batik lasem memiliki loka tersendiri sebab keunikan nan dimilikinya tersebut. Bukan saja pada penguasaan rona cerah, namun juga pada unsur-unsur motif hias nan unik dan berbeda dari batik kebanyakan.

Kita mengenal motif parang, kawung, truntum, ceplok, dan sebagainya. Motif-motif itu dikenal dalam batik solo dan batik yogya. Namun, pada batik lasem, kita akan menemukan motif lain berupa burung hong, bilah bambu, kembang mawar, dan sebagainya.



Batik Lasem - Akulturasi Budaya

Jika batik solo dan batik yogya merupakan budaya nan berkembang dari balik tembok istana, maka batik lasem sebaliknya. Ia ialah budaya rakyat nan mencerminkan pembauran beberapa etnis dengan simbol budaya masing-masing.

Batik lasem merujuk pada daerah asalnya, yakni Lasem nan merupakan bagian dari Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Batik Lasem dipengaruhi oleh budaya Cina Tionghoa, budaya Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Batik lasem menjadi jejak perpaduan berbagai budaya tersebut dengan diakomodasinya motif Tionghoa berupa burung hong , kikin (semacam singa), dan bilah bambu. Motif itu bergabung serasi dengan motif kawung dan parang pengaruh dua keraton Jawa, tanpa meninggalkan karakteristik khas batik lokal nan mengandalkan rona cerah merah, biru, hijau, dan kuning.

Warna merah menyerupai darah ayam ialah karakteristik nan menonjol pada batik lasem, sebab rona merah tersebut diperoleh dari air lokal daerah tersebut dan tak terdapat pada daerah lainnya. Karena itu, rona merah batik lasem nyaris tak dapat ditiru.



Makna Filosofis Batik Lasem

Sebagai batik rakyat, batik lasem memang tak memiliki nilai falsafah nan njelimet sebagaimana dalam batik keraton. Batik lasem cenderung menggambarkan kehidupan rakyat jelata, kehidupan sosial nan penuh pembauran, harapan-harapan nan generik dalam masyarakat, dan sebagainya.

Batik lasem juga tak mengenal pengkhususan pengguna, sebagaimana batik keraton nan biasanya mengenal suatu jenis batik hanya boleh digunakan kalangan tertentu. Batik lasem, sebagaimana motifnya nan menganulir batas-batas bangsa, secara budaya pun menganulir disparitas kasta dan tingkatan sosial.

Dengan sifatnya nan demikian itu membuat batik lasem cenderung lebih luwes, tak kaku, dan bernuansa lebih ceria. Keluwesan tersebut memungkinkan batik lasem memiliki motif berupa mata uang, kembang seruni, burung hong, atau kisah percintaan sampek-engtay, nan berjajar dengan motif udan riris, parang rusak, sidomukti, dan sebagainya.



Motif Batik Lasem

Beberapa motif batik lasem nan terkenal misalnya motif latohan dan watupecah. Motif latohan mengambil inspirasi dari alam pantai. Motif hiasnya berupa stilasi bentuk tumbuhan latoh, homogen rumput laut. Sedangkan motif watupecah syahdan merupakan aktualisasi diri masyarakat Lasem nan kesal terhadap Daendels nan sedang membangun jalan raya.

Ada juga jenis motif sekar jagad, tiga negeri, tambal, sisik, pukel, klerek, dan lain-lain. Modifikasi pada motif hias dapat berlangsung sangat longgar sehingga nyaris tak dapat ditentukan secara khusus mengenai muatan filosofisnya.

Secara umum, motif batik keraton nan diadopsi ke dalam batik lasem memuat falsafah asalnya, namun dengan penerjemahan nan lebih longgar. Misalnya motif kawung bermakna ajaran hidup, kebijaksanaan dan keadilan. Motif parang bermakna dinamika dan semangat nan tidak pernah berhenti. Motif bulu garuda menggambarkan kehidupan alam atas atau alam roh.

Motif bilah bambu nan diadopsi dari masyarakat Tionghoa mengandung falsafah kerukunan keluarga, anjuran buat manunggal dan tak terpecah belah sebagaimana rumpun pohon bambu nan bersama-sama saling menyangga. Motif burung hong dan naga mengandung falsafah kehidupan alam roh sebagaimana pada motif bulu garuda.

Adapun motif lain seperti kelopak kembang melati merupakan falsafah Islam nan berkembang di daerah pesisir. Digambarkan ajaran Islam sebagaimana kembang melati nan putih higienis dan berbau harum. Motif kembang mawar diadopsi dari budaya Barat. Dan masih banyak lagi motif lain nan bermacam-macam ragam hiasnya.

Saat ini, popularitas batik lasem cenderung menurun. Semakin sporadis ditemukan pengrajin batik lasem nan bertahan dengan gempuran budaya urban dan tuntutan hayati di era modern. Perlu upaya keras dari segenap elemen masyarakat agar kebudayaan ini tetap lestari.



Batik Lasem - Campuran Budaya Jawa dan Cina

Pada umumnya, batik di Pulau Jawa terdiri atas dua golongan besar. Pertama batik dari pesisiran (batik lasem, Cirebon, Tuban, dan lain-lain). Batik dari pesisiran dipengaruhi oleh budaya asing sebab di daerah tersebut banyak orang asing nan singgah di pelabuhan. Kedua, batik dari kerajaan seperti batik solo, batik jogja, batik banyumas, dan lain sebagainya. Menurut salah seorang pengusaha dan pangamat batik lasem, Sigit Wicaksosno, batik jenis ini tak dipengaruhi oleh budaya asing.

Menurut seorang pengamat batik lasem, kebudayaan dari Cina memiliki pengaruh paling besar terhadap motif batik lasem. Misalnya, motif nan dipengaruhi oleh kebudayaan Cina yaitu motif nan memakai gambar burung hong dan pokok-pokok pohon bambu. Menurut kepercayaan orang Cina, bambu ialah simbol kerukunan keluarga nan kuat.

Pengamat batik lasem ini juga mengatakan bahwa batik lasem memiliki dua corak khas, seperti nan telah disebutkan di atas, yaitu latohan dan watu pecah . Motif latohan mengambil inspirasi dari tanaman latoh, homogen rumput bahari nan merupakan makanan khas masyarakat Lasem. Sementara itu, motif watu pecah melambangkan kemarahan masyarakat Lasem saat pembuatan Jalan Daendeles nan menyebabkan banyak korban.

Hal nan sama juga terlontar oleh Ketua Dekranasda Rembang, Hj. Umy Jazilah Salim. Beliau mengungkapkan bahwa motif batik lasem banyak dipengaruhi oleh budaya Cina, misalnya motif-motif burung hong, naga, dan lain sebagainya.



Melestarikan Batik Lasem

Batik ialah salah satu warisan budaya Indonesia dan sudah ditetapkan oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009. Oleh sebab itu, pelestarian batik, termasuk batik lasem harus sering dilakukan, seperti nan dilakukan di Pemkab Rembang. Seluruh karyawannya wajib memakai batik lasem pada hari Kamis dan Jum’at.

Cara lain buat melestarikan batik yaitu dengan mendirikan galeri batik dan galeri dekranasda. Dengan berdirinya geleri-galeri ini, diharapkan mampu membantu para pengrajin batik memamerkan produknya. Disamping itu, Kerajinan Seni Batik pun dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal (mulok) nan berpusat di showroom batik lasem.

Pemerintah terkait juag akan terus berupaya melestarikan dan menjaga batik lasem. Deprindakop dan UMKM akan bekerjasama dengan dekranasda menjembatani para pengrajin buat mengikuti event-event batik nasional, misalnya event nan diadakan oleh Yayasan Batik Indonesia (YBI) beberapa waktu lalu dan pameran nan diadakan oleh UNESCO.

Pihak-pihak terkait juga akan menyelenggarakan pameran batik lasem secara rutin beberapa tahun sekali di kota-kota besar di Indonesia, seperti Semarang, Jakarta, sampai kota-kota nan ada di luar Pulau Jawa. Bahkan, jika ada kesempatan, juga akan mengikuti acara di luar negeri, misalnya di Singapura. Ada juga usulan mendirikan museum batik lasem sehingga bisa didokumentasikan dengan baik dan batik lasem akan tetap terpelihara dari waktu ke waktu.