Konveksi di Bandung sebagai Aset Pariwisata Kota Bandung

Konveksi di Bandung sebagai Aset Pariwisata Kota Bandung

Perusahaan konveksi di Bandung merupakan hal nan sudah lazim kita temui. Bahkan banyak orang nan datang ke Bandung hanya buat melihat dan berbelanja benda-benda berupa baju dan aksesoris nan diproduksi oleh perusahaan perusahaan tersebut.

Perusahan konveksi tersebut bergerak sejak tahun 1950-an ketika bangunan Belanda dijadikan konsep bangunan bagi para perusahaan pakaian. Dengan konsep warisan budaya ini, maka muncullah berbagai nama nan kemudian terkenal sampai ke luar kota Bandung.

Beberapa perusahaan konveksi di Bandung membuka usaha mereka dengan nama-nama factory outlet , distro, butik, dan lain-lain nan pada perkembangan fashion dijadikan sebagai patokan gaya hayati bangunan perusahaan konveksi nan ada di kota bunga ini.



Factory Outlet , Butik, dan Distro?

Meskipun pada dasarnya sama, yakni menjual pakaian, namun konsep penjualan perusahaan-perusahaan tersebut berbeda-beda. Factory outlet merupakan konter baju nan mendistribusikan baju bermerek (impor) dengan harga bermacam-macam, dari nan harganya mahal sampai nan harganya terjangkau masyarakat kelas menengah.

Dewasa ini, kita dapat melihat usaha konveksi jenis factory outlet di daerah Jl.Riau, Jl.Sumatera, dan Jl.Setiabudi. Daerah-daerah ini merupakan daerah nan sering dikunjungi oleh masyarakat luar Kota Bandung pada hari-hari liburan.

Meskipun di beberapa bagian kota Bandung lainnya juga kini sudah muncul berbagai macam factory outlet , namun daerah-daerah tersebutlah nan dianggap mampu bersaing secara kualitas dan kuantitas. Dengan dmeikian, para wisatawan lebih memilih daerah tersebut buat dijadikan objek wisata belanja.

Selain itu, hampir seluruh factory outlet nan terdapat di daerah tersebut mengusung tema heritage agar terlihat 'lebih kota Bandung' dengan menggunakan rumah-rumah atau bangunan tempo dulu (bangunan Belanda). Bangunan-bangunan ini kemudian diaplikasikan dengan interior nan juga berkesan tempo dulu.

Sementara itu, butik-butik nan ada di kota Bandung juga melakukan hal nan tak kalah menarik dari factory outlet nan ada di kota ini. Butik-butik tersebut kebanyakan menggunakan konsep minimalis nan sinkron dengan tema busana nan mereka produksi.

Kebanyakan butik lebih berkonsentrasi pada produksi baju dibandingkan dengan konsep bangunan nan akan dijadikan loka bagi mereka mempromosikan hasil konveksi tersebut. Sebagai contoh, Butik Batik Tasik nan ada di daerah Sersan Bajuri.

Butik ini menggunakan konsep interior dan eksterior tradisional dengan ruangan nan tak terlalu mewah. Namun factory outlet ini mampu memikat para wisatawan nan lewat di kota ini. Dengan konsep tersebut, butik ini mempromosikan kekhasan batik Tasik nan juga disertai dengan aksesoris kerajian tangan lainnya.

Selain Butik Batik Tasik, ada juga beberapa butik di Bandung nan mengusung beberapa tema internasional, seperti butik baju Manga atau Jepang. Butik ini biasa digunakan para remaja buat mengikuti cosplay atau butik gaun malam “Tomodachi” nan terdapat di daerah Sukajadi Bandung.

Butik nan juga resto ini menyajikan berbagai model gaun malam dengan bahan dan model nan mewah. Dan nan pasti, harga nan ditawarkan oleh salah satu perusahaan konveksi di Bandung ini terbilang mahal dan hanya terjangkau oleh masyarakat kelas elit saja.

Dengan adanya butik, baik lokal maupun nonlokal, salah satu jenis busana dan aksesoris spesifik dijadikan tertentu sehingga satu item hanya akan diproduksi sebanyak satu barang. Dengan kata lain, jika kita ingin mendapatkan barang nan tak dapat dimiliki oleh orang lain, datang saja ke butik.

Butik hanya akan memproduksi satu model buat satu bahan dan satu barang. Dengan begitu, kita akan terbebas dari aksi memalukan di acara pesta saat melihat teman kita juga berpakaian serupa dengan kita.

Lalu pada perkembangan konveksi di Bandung berikutnya, kita juga mengenal istilah distro nan membuat pakaian-pakain retro atau bergaya kasual. Jenis konveksi tersebut biasanya mengeluarkan tema-tema kekinian nan dikhususkan bagi para remaja masa kini.

Barang-barang nan diproduksinya pun bermacam-macam, sinkron dengan kekhasan masing-masing distro. Misalnya saja, distro Billabong nan mengusung tema kasual dengan menghadirkan kaos-kaos dan jaket berwarna gelap dan bergambar sederhana khas Billabong, syal, tas, topi, dan aksesoris fashion lainnya. Selain Billabong, masih banyak perusahaan konveksi di Bandung nan mengusung gaya modern dengan istilah distro.



Konveksi di Bandung sebagai Aset Pariwisata Kota Bandung

Selain memudahkan masyarakat kota Bandung dalam berbelanja kebutuhan sandang, konveksi di Bandung juga merupakan salah satu aset pariwisata nan dapat meningkatkan penghasilan kota Bandung. Dengan adanya berbagai macam factory outlet , butik, dan distro, Bandung dianggap sebagai salah satu kota fashion.

Hal ini nan membuat kota lain iri terhadap kecermatan masyarakat Bandung akan fashion . Oleh karena itulah mengapa kota Bandung disebut-sebut sebagai Paris van Java. Kepekaan masyarakatnya terhadap fashion dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan kepekaan masyarakat lain nan ada di Jawa.

Munculnya berbagai industri fashion di kota Bandung juga menawarkan pengetahuan lain bagi masyarakatnya. Pengetahuan sejarah mengenai bangunan-bangunan nan dijadikan loka buat berkembangnya perusahaan-perusahaan konveksi tersebut. Sayangnya, kebanyakan masyarakat nan datang ke kota Bandung tak menjadikan hal tersebut sebagai bukti konkret bahwa fashion memiliki nilai sejarah nan tidak kalah dengan sejarah perjuangan lainnya.

Bahkan jika dibandingkan dengan masyarakat luar negeri, tokoh-tokoh fashion seperti Coco Channel, Cristian Dior, dan lain sebagainya dianggap sebagai bagian dari sejarah nan juga berpengaruh terhadap perkembangan budaya dan politik di negara mereka. Sementara di Kota Bandung, fashion hanya dianggap sebagai konsumsi sekali pakai nan tak perlu diteliti nilai-nilai sejarah, budaya, dan politiknya.

Padahal, dengan banyaknya perusahaan konveksi di Bandung, semakin mudah pula masyarakat pelajar buat lebih mengenal kultur kota ini sebelum menjadi kota fashion di Indonesia. Dengan munculnya sebutan “Paris van Java” saja, seharusnya masyarakat kota Bandung sudah berpikir kritis mengenai sejarah.

Tanpa penjajahan Belanda, mungkin saja kehadiran nama “Paris van Java” tak akan sefenomenal nan kita kenal sekarang ini. Atau mungkin saja bangunan-bangunan nan kini digunakan sebagai loka distribusi produk fashion yang ada di Bandung memiliki keterkaitan dengan sistem politik pada zaman bangunan tersebut di bangun.

Perkembangan kultur seperti inilah nan diharapkan mampu digali oleh masyarakat Indonesia. Khususnya kota Bandung agar tak kalah saing dengan negara lain nan senantiasa menyajikan warisan sejarah dan budaya dalam setiap fashion nan mereka tampilkan.

Kemunculan perusahaan konveksi di Bandung juga sebaiknya dijadikan objek penelitian bagi para sejarawan muda. Hal ini dimaksudkan buat lebih mengenal seluk-beluk perusahaan fashion. Juga hubungannya dengan politik di Indonesia saat pertama kali global fashion diperkenalkan kepada masyarakat kota Bandung.

Seperti nan kita tahu, fashion merupakan salah satu alat nan digunakan oleh global Barat buat mendominasi global Timur dalam bidang politik dan ekonomi. Demikian juga dengan konveksi di Bandung nan mungkin saja memiliki kemungkinan-kemungkinan manifestasi politik dan ekonomi nan tak muncul sehingga nampak sekadar konsumsi publik atas kebutuhan masyarakatnya terhadap sandang, pangan, dan papan.