Bersahabat dengan Gejala Alam

Bersahabat dengan Gejala Alam

Perkiraan kiamat oleh beberapa kalangan nan akan terjadi pada 2012 membuat global pemikiran mau tak mau tergelitik buat mengamati adakah unsur gejala alam nan mendahului pembentukan pemikiran kiamat tersebut. Bahwa bumi semakin tua, semakin padat, semakin panas, semakin sesak ialah unsur-unsur nan dipertimbangkan sebagai bagian nan mengarah kepada gejala alam nan seolah semakin ekstrem dan semakin sulit buat diprediksi.

Keekstreman gejala alam tersebut banyak dirasakan sebagai sesuatu nan biasa saja sebab memang begitu kalau sesuatu nan sudah tua bereaksi. Sama seperti manusia. Semakin tua semakin sering sakit-sakitan, batuk-batuk, demam, pusing, dan lain sebagainya.

Bumi nan sudah tua ini pun memberikan tanda-tanda ketuaannya dengan majemuk gejala alam. Bumi batuk-batuk ditunjukkan dengan banyaknya gunung meletus dan memuntahkan isi dalam perutnya nan gendut. Manusia pun sudah siap dengan keadaan ini, salah satunya peralatan canggih nan mampu memprediksi keadaan kesehatan gunung-gunung berapi tersebut.

Kecanggihan alat tersebut membuat manusia selalu siaga dan siap beradaptasi dengan keadaan. Latihan pengungsian ketika bala datang dan loka penampungan pengungsi sementara dengan segala peralatan dan perlengkapan hayati cukup baik telah disediakan dengan baik.



Gejala Alam Dampak Usia Bumi nan Semakin Tua

Masyarakat Baduy Dalam nan ada di Banten dianggap sebagai masyarakat terbelakang dan hayati bagai dalam pengasingan. Padahal mereka ialah orang-orang nan cerdas hatinya. Hayati tanpa listrik dan peralatan modern bukan berarti ketertinggalan. Mereka sengaja membuat diri mereka tak mengenal peradaban seperti orang-orang nan berada di luar lingkungan mereka semata-mata dengan satu keyakianan bahwa modernitas itu akan merusak alam.

Tidak ada salahnya keyakinan ini sebab ketika modernitas direngkuh tanpa batas, keserakahan akan merajalela. Tetua masyarakat Baduy Dalam sangat paham hal tersebut. Kalau ini terjadi, hutan akan rusak dan gejala alam berupa pemanasan dunia dan banjir akan melanda wilayah mereka.

Kearifan ini agak sulit dipahami oleh orang-orang nan telah gelap mata dengan hati nan berkabut pekat. Hutan nan dikuasai oleh masyarakt Baduy Dalam dianggap sebagai kawasan harta karun. Orang-orang buta hati itu tak pernah menyadari gejala alam nan semakin konkret dampak dari pembukaan hutan dan penebangan kayu nan sembarangan.

Bagi mereka, asalkan kesengsaraan itu bukan menimpa mereka, mereka tak peduli. Bahwa gejala alam berubah banjir nan semakin meluas dengan korban nan semakin banyak nan seolah menjadi santapan setiap waktu makan, bukanlah urusan mereka.

Orang-orang tidak berhati nurani itu hanya memikirkan bagaimana membeli mobil-mobil mewah nan tak dimiliki oleh orang lain, bagaimana membeli rumah besar sebesar-besarnya, bagaimana melancong ke luar negeri dan melihat pemandangan nan sangat indah. Mereka tak menyadari gejala alam nan terjadi sebab ulah mereka telah membunuh ribuan bahkan jutaan nyawa nan tak hanya nyawa manusia tapi juga hewan. Kerusakan lingkungan nan semakin parah akan menimbulkan bala bagi kehidupan manusia.

Orang-orang seperti masyarakat Baduy Dalam dan Orang Rimba di Jambi merupakan segelincir orang nan mau menyelamatkan hutan. Tanpa hutan, gejala alam seperti panas nan menyengat akan sangat cepat terjadi.

Gejala alam berupa musim dingin nan sangat ekstrem nan sedang melanda Eropa ada sesuatu nan harus dianggap serius. Ratusan nyawa manusia telah melayang. Sulit dapat bertahan hayati di cuaca dibawah minus 30 derajat Celcius dan harus hayati di jalanan sebab tidak memiliki rumah dengan penghangat ruangan nan memadai.

Hal ini seperti tergambar pada film The Day After Tomorrow . Tidak ada kemustahilan bahwa gejala alam berupa hujan es dengan bongkahan nan sangat besar seperti nan digambarkan di film The Day After Tomorrow tersebut akan dapat terjadi bahkan di negera beriklim tropis seperti Indonesia.

Akan begitu banyak anomali gejala alam nan tidak pernah ditemui sebelumnya manakala manusia tak mau bekerja sama menyelamatkan bumi secara bersama-sama. Gempa bumi nan dahsyat, banjir bandang, kekeringan, gagal panen, hujan nan sudah asam, seolah tak mampu menyadarikan manusia kalau gejala alam tersebut sama seperti ‘surat cinta’ dari bumi agar manusia sadar. Tapi siapa nan mau sadar kalau dampak dari gejala alam tersebut belum menimpa dirinaya sendiri.



Keserakahan Membuat Gejala Alam Semakin Parah

Ketika nan dipikirkan hanya urusan perut dan nan di bawah perut, manusia seolah tidak ada bedanya dengan hewan nan diciptakan Allah Swt, berada di taraf nan sangat jauh dari manusia. Manusia akan selalu merasa kurang dan kurang terus.

Pembukaan hutan buat perkebunan kepala sawit contohnya. Bahan-bahan kimia nan dipakai buat memupuk telah mengotori air sungai. Dapat ditebak apa nan terjadi dengan masyarakat nan tinggal di genre sungai tersebut. Penyakit kulit dan kematian ikan di keramba nan di letakkan di genre sungai pun mati.

Walaupun bukan merupakan gejala alam nan biasa dialami, tetapi ketika hal tersebut dibiarkan terus-menerus, masyarakat akan marah. Akibatnya mungkin lebih parah dari gejala alam nan berproses. Pembunuhan dan penyiksaan mungkin akan berlangsung antara pemilik huma perkebunan dan masyarakat nan sudah tak tahu harus berbuat apa.

Menipisnya lapisan es nan ada di Kutub Utara dan Kutub Selatan ialah gejala alam nan tak dapat diabaikan begitu saja. Ketika lapisan es itu semakin menipis, itu artinya lapisan ozon semakin menipis juga. Sinar matahari nan semakin panas tentunya akan sangat cepat melelehkan es.

Kalau es di kutub itu meleleh terus-menerus, maka niscaya terjadi peningkatan permukaan laut. Permukaan bahari nan naik satu meter saja, sudah cukup buat membuat orang-orang nan tinggal di dekat pantai harus mengungsi. Air bahari pasang hingga 3 meter! Ribuan nyawa harus hayati dalam evakuasi nan wilayahnya tak terlalu luas tapi harus diisi dengan ribuan orang.

Belum lagi masalah logistik dan fasilitas mencuci, mandi, dan kakus (MCK) nan sering kali menjadi pemicu perpecahan dan saling sikut di antara orang-orang nan mengungsi tersebut. Bila saja setelah mengetahui semua gejala alam di sekitarnya, banyak orang nan rela berjuang menunda pemanasan global. Menghentikan pemanasan dunia mungkin sudah terlambat dan sudah tak mungkin lagi. Tapi usaha hayati nan lebih bersahabat dengan alam mungkin akan membuat kehidupan manusia semakin baik dan damai bagi alam.



Bersahabat dengan Gejala Alam

Kalau tak dapat mengalahkan sesuatu, temanilah sesuatu nan tidak dapat dikalahkan tersbeut. Ketika gejala alam tak dapat dilawan apalagi dikalahkan, bersahabatlah dengan gejala alam. Misalnya, ketika musim penghujan, gejala alam nan timbul misalnya angin ribut, hujan sangat lebat nan kedatangannya hanya dapat diprediksi dan tanpa kepastian.

Selain itu, kalau terjadi satu gempa di loka lain, gunung barah nan ada di loka nan mungkin saja dikira jauh oleh manusia, meletus juga. Gunung barah satu dengan gunung barah lainnya saling berkaitan. Gempa nan terjadi akan mengakibatkan pergeseran lempengan bumi. Hal inilah nan membuat gunung barah nan ada di loka lain akan ikut tergoncang dan mulai bergoyang-goyang.

Cara manusia bersahabat dengan gejala alam ialah membangun rumah tahan gempa, membuat rumah anjung bagi nan tinggal di tepi pantai atau di tepi sungai nan sering meluap, dan sebagainya.