Rumah Adat Bali

Rumah Adat Bali

Rumah adat di Indonesia ialah kelengkapan nan digunakan oleh masyarakat adat eksklusif dengan tujuan memenuhi kebutuhan papan, serta kebutuhan adat di tiap daerah. Kebutuhan papan di sini ialah kebutuhan loka tinggal nan berfungsi buat melindungi masyarakat adat di Indonesia dari berbagai situasi cuaca dan lingkungan sekitar, sedangkan nan dimaksud dengan kebutuhan adat adalah kebutuhan masyarakat adat dalam mengangkat nilai-nilai primordial di daerah loka tinggal mereka.

Kebutuhan adat inilah nan nantinya akan berguna bagi kehidupan masyarakat primordial buat mengidentifikasi diri dan lingkungan sekitarnya. Dengan bentuk rumah adat di Indonesia nan berbeda-beda, dapat diartikan bahwa kehidupan sandang, pangan, dan papan tiap masyarakat nan ada di Indonesia pun berbeda-beda.

Sebagai contoh, rumah adat di Indonesia nan terdapat di daerah pesisir pantai akan berbeda secara bentuk dan filosofinya dengan rumah adat nan ada di daerah pegunungan sebab sistem kepercayaan kedua masyarakatnya pun berbeda.

Masyarakat pantai cenderung memercayai berbagai mitos dan legendayang berasal dari pantai (seperti mitos Nyi Roro Kidul), sedangkan masyarakat pegunungan cenderung percaya pada hal-hal mistik nan muncul dari mitos penguasa gunung atau hutan (seperti mitos harimau atau maung penjaga hutan nan ada di tatar Sunda).

Oleh sebab itulah, rumah adat di Indonesia memiliki fungsi batiniah nan mengungkapkan nilai-nilai budaya, serta aspek-aspek lain nan berhubungan dengan kebudayaan suatu daerah adat. Sebagai contoh, rumah adat di Indonesia nan dihuni oleh masyarakat Sunda dan Jawa memiliki struktur nan berbeda dengan rumah adat masyarakat nan ada di Lombok, Bali, dan daerah pantai lainnya sebab kedua wilayah tersebut berada di daerah nan berbeda.

Rumah adat di Indonesia nan dihuni oleh masyarakat suku Sunda cenderung lebih tertutup dan bersekat jika dibandingkan dengan rumah adat nan dihuni oleh masyarakat Lombok. Hal ini disebabkan oleh cuaca pegunungan di daerah Sunda (mayoritas daerah Sunda berupa pegunungan) dengan daerah bercuaca panas di pantai loka masyarakat Lombok tinggal.

Selain itu, bahan-bahan pembentuk rumah adat di Indonesia pun berbeda-beda, bergantung pada bahan alam nan bisa dengan mudah ditemukan di daerah tersebut. Ada nan bahan bangunannya mayoritas menggunakan bebatuan, ada juga nan mayoritas bahan dasar bangunannya berupa kayu atau bambu.



Estetika Rumah Adat di Indonesia

Selain memiliki disparitas dalam struktur fisik atau bentuk, rumah adat di Indonesia juga memiliki disparitas dalam hal keindahan dan mitos nan dibawanya. Misalnya saja, masyarakat Sunda nan lebih mengedepankan nilai-nilai luhur keperempuanan tentu akan mengaitkan struktur rumah adat mereka dengan mitos tersebut sehingga muncullah keindahan goah .

Estetika goah ialah bukan hanya estetika nan dimiliki oleh rumah adat di Indonesia nan dihuni oleh masyarakat Sunda, akan tetapi juga memiliki nilai-nilai budaya nan menyangkut sifat-sifat keperempuanan. Goah atau dapur akan ditempatkan di belakang rumah beserta hal-hal nan berhubungan dengan perempuan, seperti peralatan memasak, peralatan makan, dan bahan-bahan makanan.

Ini artinya, filosofi rumah adat di Indonesia nan dimiliki oleh masyarakat Sunda menempatkan perempuan sebagai subjek primer nan wajib dan berhak melakukan serta mengurus semua urusan wanita, sedangkanlelaki hanya boleh menempati sisi luar dari rumah (ruang tamu). Dalam hal ini, laki-lakilah nan memiliki kewajiban buat mencari nafkah sehingga ditempatkan di luar rumah atau rumah bagian depan.

Filosofi lain nan dapat kita temui dari keindahan rumah adat di Indonesia ialah subjek nan berhak tinggal dan memiliki rumah adat tersebut. Pada masyarakatSunda, perempuan ialah orang nan paling berhak buat memiliki rumah adat dan tinggal di rumah tersebut. Sementara itu, masyarakat Minang menempatkan laki-laki sebagai orang nan paling berhak memiliki dan menempati rumah adat mereka.

Masyarakat Sunda membenarkan istilah bahwa pihak laki-laki membeli (melamar) pihak perempuan saat menikah sehingga rumah adat di Indonesia nan dihuni oleh masyarakat Sunda berhak dimiliki oleh pihak perempuan. Sementara itu, rumah adat suku Minang dimiliki oleh laki-laki sebab masyarakat tersebut percaya bahwa pihak laki-lakilah nan dibeli (dilamar) oleh pihak perempuan pada saat pernikahan.

Dari kedua keindahan rumah adat di Indonesia tersebut, bisa kita ketahui bahwa sistem kekerabatan kedua wilayah tersebut berbeda. Masyarakat Sunda memiliki sistem kekerabatan matrilineal nan mengambil garis keturuan dari ibu, sedangkan masyarakat Minang memiliki sistem kekerabatan patrilineal nan mengambil garisketurunan dari ayah.

Namun, ada persamaan keindahan nan hampir dimiliki oleh setiap rumah adat di Indonesia, yakni fungsi fisik nan tak hanya melindungi satu kepala rumah tangga saja, melainkan beberapa keturunan atau kerabat pun bisa tinggal berbarengan di dalam satu rumah adat. Rumah adat di Indonesia kebanyakan ditempati oleh beberapa kepala rumah tangga nan juga masih memiliki interaksi kekerabatan.

Hal tersebut memperlihatkan adanya satu kecenderungan sifat nan dimiliki oleh masyarakat Indonesia, yakni gotong royong dan kebersamaan.Akan tetapi, penempatan rumah adat di Indonesia tak bisa dilakukan sewenang-wenang sebab ada beberapa hukum adat nan harus dipatuhi sebagai bagian dari nilai-nilai primordial nan dipercayai masyarakat adat setempat.

Seperti nan sudah dijelaskan sebelumnya, penempatan ini berhubungan dengansistem kepercayaan masyarakat nan menempati rumah adat di Indonesia. Ada nan sangat percaya bahwa bumi dikuasai oleh nilai-nilai perempuan, tapi ada juga nan percaya bahwa kekuatan energi laki-laki lebih kuat dibandingkan dengan energi lain nan ada di bumi.

Selain masalah gender, ada pula rumah adat di Indonesia nan sebelum menempatinya, harus pula dipenuhi beberapa syarat agar sinkron dengan ketentuan adat. Dan ada pula nan rumah adatnya hanya dapat dipakai pada saat prosesi adat.



Keberagaman Filososfi Rumah Adat di Indonesia

Lain adat, lain pula rumah adatnya. Selain memiliki disparitas secara estetik, rumah adat di Indonesia juga memiliki nilai filosofis nan beraneka ragam. Salah satunya ialah rumah adat Jawa, yakni rumah Joglo nan memiliki bentuk segi empat dengan empat pilar penopang dan lantai nan datar dan luas.

Rumah adat di Indonesia nan ditempati oleh masyarakat Jawacenderung lebih luas dibandingkan dengan rumah adat di daerah lain sebab masyarakat Jawa terkenal akan budaya Istana sentris nan di dalamnya terdapat banyak anggota keluarga (kerajaan) sehingga dibutuhkan rumah nan luas agar bisa menampung seluruh anggota keluarga.

Selain itu, ada juga disparitas antara rumah adat di Indonesia nan berada di daerah pegunungan atau pesawahan dengan rumah adat nan berada di daerahpantai. Rumah adat nan berada di daerah pantai cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan rumah adat nan ada di daerah pegunungan dan pesawahan. Hal tersebut dilakukan buat menghindari rumah dari terjangan ombak atau badai bahari saat musim pasang surut tiba.

Kemudian, rumah adat di Indonesia nan terdapat di wilayah nan bersuhu udara tinggi cenderung lebih tertutup dibandingkan dengan rumah adat nan terdapat di daerah bersuhu udara rendah. Keberagaman rumah adat di Indonesia juga tak hanya terletak pada tinggi rendahnya bangunan, serta bahan bangunan nan digunakan, tapi juga aksesoris lain nan menempel pada bagian rumah, seperti bentuk atap, hiasan dinding, dan ukiran-ukiran nan dibuat buat memperindah pagar atau pintu rumah.

Biasanya, kita juga bisa membedakan rumah adat di Indonesia dari hal-hal tersebut sebab ukiran khas tiap daerah berbeda-beda. Ukiran Jepara akan berbeda dengan ukiran Bali sebab pengetahuan dan pengalaman budayanya pun berbeda.

Selain itu, disparitas budaya Budha, Hindu, dan Islam nan muncul dalam kebudayaan Indonesia juga turut berpengaruh terhadap proses kreativitas dalam menghias interior rumah adat di Indonesia. Sebagai contoh, ukiran patung ganesha di daerah Bali dengan ukiran kaligrafi nan terdapat di daerah Cirebon.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa hal-hal nan berpengaruh terhadap pembentukan rumah adat di Indonesia ialah faktor budaya, geografis, dan pengaruh budaya luar.

***

Indonesia merupakan negara nan penduduknya terdiri dari berbagai macam etnis dan suku. Keragaman ini berdampak pada kekayaan budaya nan dimiliki oleh bangsa Indonesia. Salah satunya dapat dilihat dari keanekaragaman rumah adat di Indonesia , dimana setiap daerah memiliki karakteristik khas nan unik dan berbeda antara satu etnis dengan etnis lainnya.

Perbedaan karakteristik rumah adat di Indonesia tersebut pada dasarnya dilatarbelakangi disparitas budaya serta disparitas fungsi. Pada wilayah nan berada di kawasan hutan atau rawan terendam banjir, rumah nan didirikan biasanya memiliki karakteristik khas yaitu berada di atas tiang penyangga.

Hal ini sebagai upaya buat mencegah masuknya binatang buas ke dalam rumah, atau juga buat menghindarkan diri dari ancaman bahaya banjir nan melanda kawasan tersebut. Dengan dasar inilah, pada akhirnya rumah-rumah nan didirikan di kawasan tersebut memiliki karakteristik nan serupa sehingga menjadi sebuah keunikan tersendiri.

Lain pula dengan rumah nan memiliki adat istiadat kekeluargaan kuat. Rumah-rumah nan berada pada kawasan dengan karakter seperti ini, biasanya memiliki karakteristik khas rumah dengan tersedianya bagian nan luas sebagai loka berkumpul.



Rumah Adat Bali

Rumah adat di Indonesia nan masih banyak dijumpai keberadaannya ialah rumah adat Bali. Hal ini sebab masyarakat Bali memiliki kepercayaan nan sangat tinggi terhadap budaya dan adat istiadat nan berlaku secara turun menurun. Itulah mengapa, masyarakat di kawasan tersebut hingga saat ini masih menjaga tradisi tersebut dan melestarikannya.

Terlebih dengan daya tarik pulau Bali sebagai salah satu pusat tujuan wisata dunia, kebudayaan nan masih dilestarikan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Termasuk diantaranya ialah dengan menjaga keberadaan rumah adat Bali.

Dengan kondisi ini, setiap proses pembangunan rumah di Bali harus mengacu pada tatanan budaya nan inheren tersebut. Setiap pendirian bangunan baru di Bali, harus mengacu pada anggaran adat nan berlaku di kawasan tersebut. Termasuk diantaranya dalam proses pembangunan rumah.

Rumah adat Bali dibangun dengan menerapkan tiga aspek nan diambil dari filosofi kitab suci. Ketiga aspek tersebut ialah aspek pawongan atau manusia penghuni rumah, aspek pelemahan atau kawasan sekitar serta aspek parahyangan yaitu aspek ketuhanan.

Ketiga aspek tersebut harus dijadikan acuan dan menjadi dasar proses pembangunan rumah agar dapat menciptakan dinamisasi serta keharmonisan hidup. Ketiga aspek tersebut sering kali disebut dengan Tri Hita Karana.

Ciri khas lain nan dapat dilihat dari rumah adat di Bali ialah adanya pernik nan menghiasi rumah tersebut. pernik ini biasanya dibentuk dengan diukir serta menggunakan rona nan paradoksal namun alamiah. Biasanya rona nan banyak digunakan ialah hitam dan putih.

Bagi masyarakat Bali, penggunaan pernik-pernik tersebut lebih daripada sekedar hiasan rumah semata. Sebab, dalam kepercayaan Bali pemilihan rona dan jenis pernik tersebut melambangkan ucapan terimakasih kepada Tuhan atas nikmat nan diterima. Selain itu, penggunaan pernik nan berwujud patung biasanya dihubungkan dengan kegiatan ritual nan dijalani oleh masyarakat Bali.

Secara fisik, keunikan rumah adat di Bali dicerminkan dengan adanya bangunan kecil nan terpisah pada sebuah kawasan. Dari kumpulan bangunan kecil tersebut, dikelilingi oleh sebuah pagar nan melingkari kumpulan bangunan tersebut. Namun dengan perubahan lingkungan, dimana semakin sulit menemukan huma nan luas maka sistem seperti itu mulai ditinggalkan. Pembangunan rumah pun tak lagi dibuat dalam sebuah lingkungan dan tak lagi terpisah-pisah.



Rumah Adat Batak

Dalam masyarakat adat, rumah bukan hanya menjadi loka berteduh saja. Bagi mereka, rumah memiliki fungsi nan sangat luas. Karena rumah merupakan sebuah wahana atau simbolisasi dari perwujudan filosofi serta adat budaya nan dianut dan berlaku pada wilayah eksklusif dan suku nan tinggal di loka tersebut.

Demikian pula dengan rumah nan ada di tengah masyarakat adat Batak. Bagi masyarakat Batak, karakteristik rumah nan baik ialah bahwa di dalam rumah tersebut harus memiliki filosofi panduan hayati suku Batak.

Di masyarakat suku Batak Toba, kehidupan perkampungan biasanya disusun dengan pola banjar. Pola kini ialah sebuah sistem penataan kewilayahan nan memiliki komunitas utuh serta kuat dalam masalah solidaritas warganya. Di masyarakat Batak Toba, kampung sering dinamkan dengan lumban atau huta. Pada setiap lumban, didirikan dua pintu masuk nan disebut bahal. Bahal ini diletakkan pada bagian utara dan selatan kampung.

Selain itu, pagar batu dengan ketinggian 2 meter dibangun mengelilingi kampung. Pagar ini dikenal dengan nama parik nan fungsinya buat pertahanan kampung, sebab pada masa lalu masih sering terjadi peperangan antar kampung. Selain itu di bagian sudut pagar didirikan menara pengintai buat memantau posisi musuh atau juga buat melakukan pertahanan dari atas.

Keberadaan huta ini masih dapat ditemukan di beberapa wilayah nan masuk dalam kawasan Kabupaten Tapanuli Utara. Hal ini khususnya dapat dijumpai di desa Tomok, Ambarita, Silaen serta Lumban Nabolon Pargasan. Desa atau huta tersebut pada saat ini akhirnya dijadikan sebagai salah satu lokasi tujuan wisata para turis dan menjadi obyek nan cukup menarik buat dikunjungi.

Di dalam huta tersebut, kita dapat melihat filosofi nan terkandung di balik tata letak rumah di loka tersebut. setiap rumah atau nan disebut sopo ini memiliki posisi nan saling berhadapan dengan posisi poros utara dan selatan. Selain sebagai loka tinggal, sopo difungsikan pula buat menyimpan bahan makanan misalnya padi, jagung dan beberapa hasl perkebunan lain.

Dari tata letak ini bisa diketahui bahwa masyarakat Batak memiliki penghargaan nan tinggi pada alam. Mereka sangat memandang krusial arti kehidupan, bahan makanan serta loka tinggal sebagai pendukung kehidupan mereka. dengan demikian mereka menyikapinya dengan cara menggunakan semua komponen tersebut secara bijak.

Ada keunikan tersendiri nan dimiliki oleh masyarakat Batak. Hal ini terutama ketika mereka hendak mendirikan rumah, biasanya melakukan beberapa ritual. Antara lain dengan mengumpulkan beberapa bahan bangunan nan akan digunakan. Proses mengumpulkan bahan bangunan ini dinamakan mangarade.

Beberapa bahan nan biasa dikumpulkan antara lain tiang, tustus atau pasak, dinding atau pandingdingan, perhongkom, urur dan beberapa bahan lainnya. proses pengumplan bahan tersebut dilakukan secara gotong royong nan disebut marsirumpa. Marsirumpa sendiri ialah wujud kerjasama tanpa mengharapkan imbalan nan dilakukan seluruh penduduk kampung. Hal ini sebagai bentuk solidaritas dan rasa kekeluargaan nan dipegang teguh oleh seluruh warga di kampung tersebut.

Selanjutanya, apabila semua bahan sudah terkumpul maka proses pembuatan rumah akan diserahkan kepada ahlinya nan disebut pande. Pande ini bertugas sebagai perancang serta mewujudkan pembangunan rumah nan diinginkan. Tentu saja, proses ini didasarkan pada keinginan pemilik rumah, dimana rumah tersebut akan dibentuk dengan model ”ruma” atau “sopo”.

Dalam pembangunan tersebut, ada keunikan tersendiri dalam proses pemilihan kayu buat bangunan. Biasanya, kayu nan dipilih ialah kayu nan memiliki suara paling nyaring dipergunakan buat tiang “jabu bona”. Sedangkan kayu nan paling nyaring kedua digunakan buat tiang “jabu Soding”, nyaring ketiga sebagai “jabu Suhat” serta “si tampar piring”.