C. Dinamika Spiritualisme Jawa

C. Dinamika Spiritualisme Jawa

:

Sebenarnya belum ada sumber nan aktual dan terpercaya nan mengupas sejarah asal usul nama Jawa , namun syahdan nama Jawa berasal dari bahasa Sansekerta yakni ‘yava’ nan berarti jawawut. Jawawut atau millet (Panicum sp) sendiri merupakan homogen tanaman serealia ekonomi keempat setelah padi, gandum, dan jagung nan cukup banyak ditemukan di pulau Jawa kala itu. Pemberian nama Jawa sebagai sebuah pulau ini diduga diberikan oleh para musafir India nan menginjakkan kakinya di pulau tersebut.



A. Kondisi Geografis Jawa

Secara geografis pulau Jawa terletak tepat di sebelah selatan khatulistiwa antara 6o hingga 9o Lintang Selatan serta 105o hingga 114o Bujur Timur. Pulau Jawa terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dari tiga bagian wilayah Jawa tersebut, pemegang pusat kebudayaan ada di Jawa tengah. Pulau Jawa merupakan daratan nan fertile dan telah menghasilkan sebuah kebudayaan aristokrat dengan keindahannya selama ribuan tahun.

Populasi penduduk di pulau Jawa tergolong padat yaitu melebihi 120 juta orang, hal ini terjadi sebab kesuburan tanahnya nan banyak menarik minat para penduduk buat mendatanginya. Selain itu warisan indianisasi dan islamisasi juga turut berperan dalam hal semakin berkembangnya populasi penduduk.Letak pulau Jawa sangat dekat dengan pulau Bali dan terletak pada deretan nan sama.

Untuk batas-batas dari pulau Jawa terdiri atas bahari Jawa di sebelah utara, samudra Hindia di sebelah selatan, selat Bali di sebelah timur, dan selat Sunda di sebelah barat. Posisi pulau Jawa membentang dari timur ke barat sepanjang 1.000 km dengan lebar 100 - 180 km. Berdasarkan hasil penelitian nan ada, diketahui bahwa sejarah geologis pulau Jawa tergolong masih muda, tanahnya tersusun dari zaman tersier, kuarter, dan sekarang.



B. Perkembangan Agama dan Keyakinan Jawa

Berdasarkan bukti-bukti sejarah diperoleh suatu fenomena bahwa jauh sebelum agama Islam masuk dan menyebar di tanah Jawa , masyarakat Jawa terlebih dahulu mengenal agama Hindu dan Budha.

Ketika agama Islam masuk pada abad ke 15 Masehi terjadi perubahan-perubahan dalam hal agama dan keyakinan nan mereka anut. Para pengamat menilai bahwa agama Islam nan dianut oleh orang Jawa merupakan hasil asimilasi kepercayaan Jawa orisinil berupa magis-mistik dengan agama Hindu, Budha, dan Islam.

Terjadinya asimilasi ini akhirnya melahirkan suatu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan dikenal dengan sebutan Kejawen. Dan pada akhirnya agama-agama nan dianut orang Jawa hanya bisa dipetakan menjadi Hindu-Jawa, Budha-Jawa, Islam-Jawa, Kristen-Jawa, Katolik-Jawa dan seterusnya.



C. Dinamika Spiritualisme Jawa

Terjadinya proses globalisasi secara besar-besaran dalam berbagai aspek kehidupan turut mempengaruhi kehidupan spiritualisme orang Jawa. Kemampuan asimilasi dan adaptasi kultural nan dimiliki oleh orang Jawa sebagai bagian global sungguh luar biasa, hal ini ditunjukkan melalui goresan lukisan pada paras budaya dan agama nan dianut orang Jawa sebagai dampak dari persinggungan budaya dan agama di seluruh dunia.

Dampaknya bisa dilihat dari terjadinya pengelompokkan aliran, keyakinan, dan pemikiran tentang beberapa ide dasar spiritualisme. Berdasarkan pola pemikiran dan budaya spiritualnya, masyarakat Jawa bisa dikelompokkan menjadi, santri (memiliki pengetahuan agama Islam nan baik), priyayi (bangsawan), dan abangan (lebih mempercayai adat dibandingkan hukum agama Islam murni).

Pengelompokkan ini dilakukan pertama kali oleh Clifford Geertz (1960) nan mencoba memahami pola pemikiran dan budaya spiritual dari masyarakat Jawa. Namun pada akhirnya pengelompokkan ini dirasa kurang tepat sebab pengelompokkan tersebut ternyata melibatkan unsur keturunan buat golongan priyayi, unsur konduite dan sikap dalam mengamalkan ajaran agama Islam buat golongan santri dan abangan.

Singkatnya terjadi dua dasar pengelompokkan, yaitu sosial dan ketaatan beragama. Padahal dalam kenyataannya banyak ditemukan priyayi nan sekaligus santri atau priyayi nan sekaligus abangan dan ada pula pemeluk agama non Islam. Pada akhirnya, para pakar menarik konklusi bahwa semua agama nan berkembang di Jawa selalu bernafaskan Jawanisme.

Hal ini dicermati berdasarkan Norma masyarakat Jawa nan selalu memadukan tradisi dan syariat agama. Sebagai akibatnya, muncul berbagai macam konduite nan memadukan tradisi dan agama sekaligus, seperti upacara ‘slametan’ nan berbentuk ‘kenduren’. Apabila dinilai dari sisi tertentu, hal ini dinilai semakin menjauhkan aspek spiritualisme orang Jawa dari syariat agama nan sebenarnya.



D. Spiritualisme Jawa Yang Terbungkus Simbol-simbol Verbal

Pendendangan lagu-lagu Jawa atau nan lebih dikenal dengan tembang-tembang Macapat serta penceritaan dongeng-dongeng nan bernuansa religius biasanya sudah dilakukan oleh orang tua maupun lingkungan terhadap anak-anak mereka sejak dari kecil.

Contohnya saja seperti lagu ilir-ilir nan menggambarkan kedatangan agama Islam di tanah Jawa, di dalam lirik lagu tersebut terdapat kata-kata ‘penekna blimbing kuwi’ nan berarti panjatkan pohon blimbing itu bermakna perintah buat mengerjakan lima rukun Islam, ‘sluku-sluku bathok’ merupakan ungkapan etimologis bahasa Arab ‘ghuslun-ghuslun bathnaka’ nan bermakna bersihkanlah nafsumu/perutmu.

Dari contoh tersebut tampak bahwa orang-orang Jawa sudah memberikan nafas spiritualisme terhadap anaknya sejak usia dini. Simbol-simbol verbal berupa lagu maupun dongeng tersebut pada umumnya sukses menanamkan pencerahan dini pada diri anak tentang pentingnya agama. Simbol-simbol verbal tersebut pada akhirnya bisa menggambarkan tentang pemahaman dan tata cara orang Jawa dalam menjalankan agamanya.

Tradisi pemberian nama atau dikenal dengan sebutan jumenengan lebih kepada pengingat nama, artinya manusia diingatkan kembali terhadap nama nan diberikan oleh orang tua terhadap dirinya. Di dalam nama tersebut biasanya implisit harapan-harapan orang tua terhadap si anak.

Nama merupakan pusaka nan menganding harapan, asa, dan cita-cita, tradisi membuat sesaji berupa ‘jenang-jenangan’ merupakan pengingat manusia akan makna nama dirinya. Secara filosofis , orang nan mampu menjaga namanya, maka rejeki akan mengikutinya. Cara melatihnya ialah dengan menanamkan kebaikan terhadap sesama manusia.

Dengan cara ini Sang Maha Pemberi Rejeki akan memberikan rejeki nan berlebih. Itulah landasan spiritual orang Jawa dalam memahami nama sebagai simbol verbal pembungkus spiritualisme. Adapun contoh-contoh nama Jawa diantaranya Slamet (selamat), Jaka (pemuda), Suharto (banyak harta), Raharja (sejahtera) dan lain sebagainya.

Namun pada kenyataannya, sekarang ini tradisi-tradisi pemberian nama nan berlandaskan nafas kepasrahan dan asa hayati tersebut sudah mulai ditinggalkan secara perlahan-lahan oleh masyaraktnya.

Dalam konsep religiusitas Jawa, sosok manusia memiliki dimensi pada dua wilayah, yakni vertikal (terhadap Sang Pencipta) dan horisontal (terhadap sesama manusia). Secara vertikal dimensi religiusitas orang Jawa diukur dari pemahaman dan tindakan konkretnya sebagai hamba Tuhan.

Sedangkan secara horisontal pergaulan manusia terwujud dalam simbol verbal ’bisa ajur ajer’ artinya mampu beradaptasi dan menyeleksi. Konsep ini menganjurkan agar orang Jawa selalu bisa menempatkan diri secara adatif dimanapun dia berada.

Demikianlah asal usul nama Jawa dan seluk beluknya, semoga bermanfaat dan menambah wawasan serta pengetahuan Anda mengenai seluk beluk budaya , sejarah dan kondisi geografis salah satu wilayah di Indonesia yakni pulau Jawa.