• Televisi Lokal Swasta

• Televisi Lokal Swasta

Membuat TV, merupakan tren baru di kalangan media di Indonesia. Terutama setelah SIUPP dipermudah, dan restriksi stasiun dihapuskan, pula sudah ada UU Penyiaran, nan akan menjadikan masyarakat dapat menayangkan program siaran TV apa pun, sepanjang tak menyalahi UU nan berlaku itu.

Dengan kemudahan tersebut, TV lokal pun makin bergairah. Maraknya televisi-televisi lokal di Indonesia menjadi semacam kabar gembira tersendiri bagi daerah.

Bagaimana tidak, televisi nan mengusung khazanah lokal tersebut tentunya dapat menambah ragam pilihan warga dalam hal mendapatkan wawasan, informasi, hiburan, dan edukasi. Namun, dilema TV lokal tak sporadis ditemui.

Televisi lokal nan baik ialah seumpama ruang debat nan nyaman guna mempersoalkan dan menyelesaikan masalah-masalah sosial, budaya, politik, pertahanan, dan keamanan daerah tersebut. Dengan disparitas nan ada di tiap wilayah, TV lokal pun diharapkan mampu memiliki karakteristik khas dan kearifan lokalnya sendiri dibanding TV lain.

Pada perkembangannya, televisi lokal dapat menjadi sarana pengembangan potensi-potensi nan selama ini tersimpan di daerah, baik nan sifatnya ragam hidup maupun talenta-talenta para remajanya sendiri. Bahkan, diharapkan akan terjadi keharmonisan antara rakyat dan pemerintah.

Hal inilah nan sesungguhnya diidam-idamkan dari amanat Undang-Undang No. 32/2002 tentang penyiaran nan juga merevisi Undang-Undang Penyiaran UU No. 24/1997 nan kental sekali dengan kekuasaan. Lantas apakah sahih semua asa itu sudah terwujud?



Jenis TV Lokal

Televisi lokal ialah televisi nan memiliki daerah penyiaran hanya di suatu daerah saja, biasanya terbatas di suatu propinsi walau pun tak menutup kemungkinan siarannya tertangkap propinsi tetangga. TV lokal memiliki ciri-ciri generik sebagai berikut:

1. Lokal Area

Artinya jangkauannya terbatas (hanya buat wilayah tertentu)

2. Lokal Konten

Artinya materi acara cenderung lebih menonjolkan suatu program dengan muatan lokal.

3. Lokal Iklan

Berhubungan signifikan dengan konten acara nan disajikan walaupun tak sporadis ada pula beberapa televisi lokal nan dapat memperoleh iklan dunia alias nasionaltentunya dengan catatan marketing nan bagus

4. Lokal Kepentingan

Artinya selain mengutamakan materi bermuatan lokal, televisi lokal juga sudah niscaya memiliki kepentingan tersendiri di wilayah mereka berdiri baik itu kepentingan perusahaan media itu sendiri, kepentingan publik, maupun kepentingan lainnya.

5. Seputar Jurnalistik dan Pers.

Televisi sebagai media tentu harus mematuhi kaidah jurnalistik dan pers, maka tidak sporadis televisi lokal nan berfokus pada jurnalistik.

Dengan sifatnya nan lokal, tidak sporadis TV tersebut menonjolkan karakteristik khas daerahnya seperti bahasa nan dipakai ialah bahasa daerah, musik selingan atau iklannya pun disesuaikan spesifik buat daerah tersebut.

Televisi lokal pada perkembangannya menjadi bahan pengamatan nan menarik buat didiskusikan. Apalagi, ketika asa kehadiran TV lokal tersebut hanya mimpi-mimpi semu.

TV lokal tidak memberi pilihan nan lebih akrab dan cenderung membosankan bagi sebagian orang. Keberpihakan TV lokal pun mulai sering disebut-sebut. Berangkat dari sana, jika ditelisik lebih lanjut, ada dua jenis televisi lokal nan ada di Indonesia ini.



• Televisi Lokal Pemerintah

Televisi Republik Indonesia atau nan lebih dikenal dengan sebutan TVRI, ialah televisi nan dibiayai Negara. TVRi terbagi menjadi dua jenis yaitu TVRI Nasional nan coverage area- nya mencakup seluruh Indonesia, dan TVRI daerah nan mencakup propinsi saja seperti TVRI Banten, TVRI Bandung, dan lain-lain Televisi ini jelas sekali dihadirkan oleh pemerintah daerah setempat. Segala biayanya mulai dari biaya produksi hingga gaji pegawai ditanggung oleh pemerintah.

Dikarenakan segala biayanya bersumber dari pemerintah, sudah barang tentu TVRI akan menyiarkan segala sesuatu sinkron dengan ketentuan pemerintah nan berlaku. Muatan edukasi dan layanan masyarakat sering menghiasi TVRI. Bahkan tidak sporadis banyak muatan program dan kontennya nan bernuansa kepemerintahan nan kebanyakan tak mengakomodasi suara-suara rakyat sehingga kemungkinan tak netralnya televisi ini dapat saja terjadi.

Selain itu, dikarenakan TVRI ialah televisi milik pemerintah, maka pegawainya pun digolongkan sebagai PNS, nan dengan kata lain sulit buat dirotasi. Alhasil, siaran TVRI pun banyak nan membosankan dan kurang kreatif dikarenakan kurangnya SDM nan segar.



• Televisi Lokal Swasta

Tidak jauh berbeda dengan situasi pertelevisian nasional, jika pemerintah memiliki TV nasional dan TV lokal, pihak partikelir pun melakukan hal nan sama. Layaknya siaran radio, Televisi lokal menjelma menjadi beberapa jenis TV, di antaranya Televisi berita, seperti Elshinta, televisi spesifik acara music seperti C-Musik Banten, dan lain-lain.

Kelompok kerja produksi siaran TV merupakan satuan kerja nan akan menangani kerja produksi siaran secara bersama-sama (kolektif) sampai hasil karyanya dinyatakan dapat buat disiarkan. Satuan kerja produksi terdiri dari orang-orang nan mempunyai profesi dan keahlian nan berbeda namun semuanya mempunyai hanya satu tujuan yaitu tujuan buat menghasilkan karya nan sinkron dengan planning nan telah ditetapkan.

Karya nan dihasilkan televisi lokal umumnya lebih idealis daripada TV nasional. Namun, hal ini pun sepertinya tak bertahan lama, sebab pada kenyataannya Televisi lokal memang murni dihadirkan dan dibiayai swasta. Aroma bisnis berorientasi pada laba akan kental niscaya akan terlihat pada jenis TV ini. Apalagi, kita tahu bahwa bisnis di global televisi ialah bisnis nan dapat menguras kantong.

TV lokal partikelir inilah nan saat ini sangat marak di Indonesia. Sebagaimana industri televisi, mereka pun beramai-ramai dan bersaing menarik pengiklan.



Iklan Sang Penggoda

Televisi lokal memang digadang-gadangkan menjadi kekuatan nan menggerakkan laju ekonomi dan khazanah budaya lokal. Kapital idealisme seharusnya lebih teguh dibanding niatan komersial.

Ini memang sulit, tapi niscaya dapat dilakukan jika memang berniat. Seperti televisi-televisi nan sifatnya nasional, televisi lokal pun butuh asupan dana dan ini merupakan masalah klise.

Menjamin keberlangsungan televisi ialah tantangan nan tidak dapat dielakkan bagi seluruh televisi, baik lokal maupun nasional. Persaingan ini akan berjumpa pada peperangan bisnis media nan kita tahu seolah saling mengancam.

Pada akhirnya, media televisi lokal nan jelas bersifat audio visual pun akan bertarung dengan media-media lainnya nan bersifat visual seperti koran atau media audio saja seperti radio. Akhirnya program nan tercipta pun kurang kreatif dan mendidik.

Masih segar di ingatan kita banyak contoh kasus tayangan televise dengan rating tinggi namun bersifat negative, “menginspirasi” konduite sebagian orang, anak-anak dan dewasa. Salah satu contoh kasus nan pernah terjadi di Indonesia ialah seorang anak meninggal gara-gara mempraktikkan adegan smack down. Kemudian, maraknya pelecehan seksual dampak melihat tontonan vulgar di kota ajaib itu.

Iklan ialah uang. Uang berarti keberlangsungan media dan harus direbut dengan sekuat daya dan pikir agar tetap hidup. Persaingan media pun semakin tak fair sebab bermain di harga nan terkesan saling menjatuhkan.

Seharusnya, persaingan ada pada konteks program nan disajikan sehingga memicu kreativitas pengelola televisi lokal. Namun, sekali lagi, iklan terlalu menggoda buat dapat membuat idealisme televisi lokal nan diharapkan mengusung kebudayaan tetap bertahan.

Semoga televisi lokal tetap hayati dengan mengusung idealisme, namun tetap menghibur, kreatif, dan mendidik.