Agar Buku Kita Laris di Pasaran

Agar Buku Kita Laris di Pasaran

Kenapa buku kita nan sudah diterbitkan kurang laku di pasaran? Kita begitu iri melihat penulis lain nan bukunya begitu laris, bahkan hingga dicetak berulang-ulang. Buku kita? Cetakan pertama pun belum habis terjual. Seharusnya, kita tidak layak buat emosi. Mestinya kita melihat dengan kaca mata positif, bukan dengan kaca mata negatif. Jangan timbulkan rasa iri saat membandingkan buku kita dengan buku penulis lain.

Untuk mendapatkan hal nan sama seperti nan dialami penulis buku lain nan bukunya sudah dicetak berkali-kali, kita harus mendalaminya tidak hanya dari sisi isi buku, tapi juga dari kepribadian penulisnya plus cara pemasaran bukunya.

Ketika membaca buku Ippho Santosa, mungkin Anda merasa kebingungan. Kenapa buku nan ditulisnya dengan gaya otak kanan dan cenderung tidak memiliki estetika dari struktur bahasa malah dapat laris di pasaran? Kenapa novel Ayat-Ayat Cinta -nya Habiburrrahman dapat dicetak berulang-ulang, padahal terlalu paripurna sekali sosok Fahri dalam novel tersebut?



Buku Kita vs Buku Penulis Best Seller

Buku kita menjadi kurang laku di pasaran, secara generik disebabkan oleh sudah adanya tema nan sama ditulis oleh penulis lain. Berbeda dengan buku Ippho Santosa. Ia menulis tema dan cara penulisan tersendiri. Belum ada nan menulis seperti nan dilakukannya. Begitu buku nan dituliskannya jika dirasa 'renyah' dinikmati pembaca dan terasa bermanfaat, ia pun berpesan agar bukunya dipinjamkan ke orang lain. Nah, inikan sesuatu nan langka dilakukan oleh penulis lain.

Demikian halnya dengan novel Ayat-Ayat Cinta Habiburrahman. Belum ada sebelumnya penulis nan menuliskan kisah mahasiswa Kairo. Begitu ia menampilkan cerita kehidupan mahasiswa Kairo, plus dengan pandangan Islam terhadap orang non muslim sebenarnya seperti apa. Inikan sesuatu hal nan menarik dan belum pernah dikupas oleh novelis lainnya.

Jika buku kita ingin laris, seharusnya menuliskan topik dengan gaya penulisan nan sporadis ditemukan oleh pembaca. Setiap nan asinglah nan disukai pembaca. Karena itu, jangan kaget kenapa buku kita tidak laku di pasaran. Mungkin desain buku kita juga masih sederhana. Pembahasan nan dipaparkan juga sudah ada nan memaparkannya sebelumnya. Buku kita bukan buku nan pertama membicarakan topik atau gaya tersebut.



Agar Buku Kita Laku - Mengenal Cara Pemasaran Buku Ippho Santosa dan Habiburrahman

Selain mengetahui sisi kekurangan buku kita dengan buku orang lain, kita juga harus tahu cara memasarkannya juga. Kali ini aku ingin mengangkat cara pemasaran Ippho Santosa dan Habiburrahman secara sederhana.



Agar Buku Kita Laku - Mengetahui Cara Pemasaran Buku Ippho Santosa

Ippho Santosa menggunakan teknik pemasaran nan cukup berbeda dan ada juga nan sama dengan cara pemesaran penulis lainnya. Yang membedakannya adalah, Ippho Santosa tetap memesankan kepada pembeli bukunya buat meminjam buku nan sudah dibeli dan dibaca. Inikan sesuatu nan aneh? Kok ada penulis nan menyeruh pembacanya buat meminjamkan buku karangannya, bukan malah menyuruh agar pembaca mengajak rekan-rekannya buat ikut membeli.

Ippho Santosa berpolitik dalam memasarkan bukunya. Jika dipinjamkan buku tersebut kepada orang lain, maka nama Ippho Santosa akan dikenal. Ia sudah menulis beberapa buku. Sekiranya rekannya pergi ke toko buku dan terbacanya nama Ippho Santosa di judul buku nan lain, maka ia akan membelinya sebab ia tahu bahwa cara menulis buku Ippho Santosa terasa renyah dan mengalir.

Dalam setiap buku nan dikarangnya, Ippho Santosa tidak lupa mengajak pembaca buat membaca buku nan lain. Misalnya, saat Anda membaca buku "7 Keajaiban Rejeki", Anda juga dianjurkan membaca buku "Percepatan Rezeki". Ketika Anda membaca buku "Marketing is Bullshit", Anda juga diajak buat membaca buku "10 Jurus Terlarang!". Inikan trik nan luar biasa. Menuliskan ide sambil memasarkan buku nan sudah ada.

Nah, bagaimana dengan kita? Apakah di dalam buku kita ada juga mencantumkan buku-buku kita nan lain? Adakah kita meminta orang lain buat meminjamkan buku sudah dibeli pembaca buat dipinjamkan kepada rekannya? Adakah kita mempubliskasikan sedikit dari isi buku kita melalui twitter setiap hari seperti nan dilakukan Ippho Santosa? Inilah sebagian dari cara Ippho Santosa memasarkan bukunya. Tinggal kita sekarang, bagaimana memasarkan buku kita dengan cara nan kreatif dan menghasilkan.



Agar Buku Kita Laku - Mengetahui Cara Pemasaran Buku Habiburrahman

Cara pemasaran buku habiburrahman berbeda dengan pemasaran buku Ippho Santosa. Habiburrahman memanfaatkan organisasi nan dimilikinya, yaitu, Lembaga Lingkar Pena (FLP). Siapa pun tahu bahwa FLP ialah organisasi nan memiliki jaringan nan luas hingga ke mancanegara.

Ketika Ayat-Ayat Cinta muncul, seluruh anggota FLP ikut membicarakannya. Saat itu, milis ( mailing list ) menjadi media jejaringan buat membicarakannya. Terlebih lagi, Habiburrahman merupakan pengurus FLP Mesir pertama.

Selain itu, penerbit nan menerbitkan bukunya pun cukup terkenal, yaitu, Republika. Novel nan ditulis oleh Habiburrahman kental dengan perbedaan makna Islamnya dan Republika terkenal dengan surat kabar nan berhaluan Islam, maka ini juga menjadi nilai jual sehingga ketika pemasaran dilakukan di koran tersebut akan menarik perhatian pembaca.

Tak hanya itu, media televisi pun berperan dalam memasarkan novel "Ayat-Ayat Cinta". Kang Abik, sapaan Habiburrahman sering diundang di televisi buat membicarakan novelnya tersebut. Hingga ada pengarah adegan film nan siap mem-filmkan kisah di novel "Ayat-Ayat Cinta." Jika pengarah adegan saja sudah berminat memfilmkannya, tentu saja gaung novel tersebut menjadi pembicaraan orang di mana-mana.

Bagaimana dengan buku kita? Apakah kita memiliki komunitas sehebat kang Abik atau Habiburrahman? Apakah penerbit buku kita sekelas Republika? Apakah buku kita mendapat tanggapan positif dari pengarah adegan film? Beginilah cara pemasaran bukunya kang Abik nan sedikit berbeda dengan buku kita.



Agar Buku Kita Laris di Pasaran

Lantas adakah solusi lain agar buku kita tetap laris di pasaran? Tentu saja ada meski tidak menjamin apakah dapat mengimbangi rating larisnya buku Ippho Santosa dan Habiburrahman. Ada tiga cara nan dapat dilakukan.

  1. Dekati segmen pembaca. Jika buku kita bukan buku berbicara tentang tokoh, maka tentukan segmen pembacanya. Usahakan fokus pada satu segmen pembaca saja. Jika segmennya remaja dan buku nan ditulis dengan bahasa remaja, maka dekati komunitas remaja. Pada komunitas remaja, juga tentukan lagi lebih spesifiknya. Jika komunitas remaja religius, maka dekati komunitas remaja religius. Misal melalui rohis (rohani islam) nan ada di sekolah-sekolah, LDK (lembaga kader dakwah) atau forum mentoring nan ada di kampus-kampus. Berikan pelatihan sederhana kepada mereka. Misalnya saja pelatihan menulis. Di sela-sela pelatihan, tunjukkan buku kita nan sudah terbit. Tawarkan kepada mereka jika ingin membelinya saat ini mendapatkan diskon, tanda tangan, dan souvenir unik. Dapat juga dengan membelinya secara mencicil kepada ketua Rohis atau LDK.
  1. Adakan lomba meresensi. Ini juga cara memasarkan buku kita di kalangan khalayak. Anda dapat memasang iklan lomba resensi melalui media massa atau jejaringan sosial seperti facebook atau twitter. Tentu saja, perlombaan ini tercipta berkat kerjasama Anda dengan penerbit. Hadiahnya dapat voucher buku. Dapat juga dengan Anda mengajak pemenang resensi buat menulis buku bersama Anda. Artinya, buku kita nantinya ditulis bersama dengan pemenang resensi.
  1. Berani mensedekahkan royalti. Jika nan dicari hanya trik agar buku kita laris di pasaran, cara aneh tapi bijak ialah dengan mempublikasikan bahwa seluruh royaltinya disumbangkan untuk yayasan sosial atau panti asuhan. Publikasinya tak hanya melalu lisan dan jejaringan sosial, tapi langsung tertulis di cover buku. Jenis pemasaran buku seperti ini akan memancing para dermawan.

Inilah ketiga cara sederhana nan dapat dilakukan buat memasarkan buku kita. Memang tidak dapat menghasilkan pemasaran nan seratus persen berhasil. Paling tidak, buku kita sudah bisa dikenal orang. Andai kata menulis kembali, pembaca pun sudah mengenal nama kita.