Belajar Kekuatan Sajak dari Karya Chairil Anwar

Belajar Kekuatan Sajak dari Karya Chairil Anwar

Memahami bahasa puisi sangat krusial dalam memahami karya sastra. Meskipun, dalam kenyataannya belum banyak para peneliti nan menfokuskan kajiannya pada masalah ini.

Salah satu kajian bahasa puisi nan telah dilakukan ialah kajian terhadap bahasa puisi Chairil Anwar nan dilakukan oleh Boen S. Oemarjati. Sajak Chairil Anwar dianggap sebagai peletak dasar puisi Indonesia modern. H.B. Jassin mengatakan bahwa Chairil Anwar ialah seorang nan pertama-tama merintis jalan dan membentuk genre baru dalam kesusastraan Indonesia.



Kekuatan Sajak Chairil Anwar

Chairil bisa dikatakan sebagai penyair nan memiliki pengaruh terbesar pada Angkatan ’45. Dengan lahirnya sajak-sajak Chairil, perpuisian Indonesia sangat berkembang. Setelah era Chairil, muncullah penyair-penyair besar lainnya, seperti Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bahtiar, dan Rendra.

A. Teeuw mengatakan bahwa semangat Chairil Anwar monoton menyerap dalam kesusastraan Indonesia. Bahkan selama 30 tahun terakhir, wawasan keindahan Chairil sangat mempengaruhi perpuisian Indonesia.

Sajak Chairil Anwar nan pertama berjudul "Nisan" dipersembahkan kepada nenek tercinta. Puisi tersebut menggambarkan perasaan duka nan sangat mendalam. Sangat dimungkinkan sajak Chairil Anwar tersebut ditulis setelah nenek tercintanya meninggal dunia. Perasaan sedih Chairil Anwar sangat terasa dalam puisi tersebut.

Nisan

Nenekanda

Bukan kematian sahih menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta

Penulisan puisi seperti itu melahirkan bentuk dan pola pengucapan nan menyegarkan pada zamannya. Tak heran jika kemudian lahir beberapa sastrawan nan terus mengembangkannya hingga kini, seperti Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad.

Kehadiran sajak-sajak Chairil Anwar tak lepas dari peran HB. Jassin. Bahkan, Prof. Budi Pengabdian mengatakan bahwa Jassin dan Chairil Anwar lahir pada saat nan tepat. Mereka saling bergantung dan sukses memberi rona latif dalam perkembangan sastra Indonesia.

***

Salah satu puisi Chairil Anwar nan kemudian melambungkan namanya ialah puisi berjudul "Aku". Dalam puisi tersebut, kita bisa merasakan emosi nan membara, muncul letupan-letupan bisikan hati nan melahirkan genre baru saat itu.

Aku

Kalau sampai waktuku
Ku mau tidak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan dapat kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan saya akan lebih tak peduli
Aku mau hayati seribu tahun lagi.

***

Larik Aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang atau memberikan citra betapa emosionalnya jiwa Chairil Anwar. Ia begitu ekspresif sehingga menumpahkan perasannya itu melalui diksi nan tak biasa digunakan oleh angkatan Balai Pustaka atau Pujangga Baru kala itu.

Akan tetapi, dalam sajak Chairil Anwar nan lain, kita juga bisa menemukan saat-saat Chairil berkontemplasi, merenung, mengingat, dan mengembalikan dirinya kepada Sang Pencipta. Salah satunya dalam puisi berjudul "Doa".

Doa

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

saya mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintu-Mu saya mengetuk
saya tak dapat berpaling

13 November 1943

***



Kumpulan Sajak Chairil Anwar sebagai Inspirasi

Tidak dapat dipungkiri jika sajak Chairil Anwar menjadi inspirasi bagi penyair generasi muda saat ini. Bila kita perhatikan kumpulan sajak Chairil Anwar ini, memang memiliki ruh dan jiwa nan menusuk sanubari dari ketajaman kata-katanya. Di mana semua sajaknya ini mampu menggetarkan jiwa kita nan membacanya. Meski agak sedikit nyelekit, namun ungkapan jiwa Chairil Anwar ini memang sahih adanya. Kita dapat lihat ruh dari sajak Chairil Anwar dari beberapa sajaknya di bawah ini.

Sajak Putih

Bersandar pada tari rona pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu bunga mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tak membelah

***

Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tak ada nan mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, bahtera tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan dapat terdekap

1946

***

Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin nan terpendam

Aku sekarang orangnya dapat tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
nan bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada nan tetap tak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949

***

Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole untuk si pacar.
angin membantu, bahari terang, tapi terasa
saya tak ‘kan sampai padanya.

Di air nan tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan bahtera ke pangkuanku saja,”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Bahtera nan bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia wafat iseng sendiri.

1946

***

Karawang Bekasi

Kami nan kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tak dapat teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah nan tak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding nan berdetak
Kami wafat muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa nan kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum dapat memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi ialah kepunyaanmu
Kaulah lagi nan tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang buat kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tak buat apa-apa,
Kami tak tahu, kami tak lagi dapat berkata
Kaulah sekarang nan berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding nan berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
nan tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)

***

Mirat Muda, Chairil Muda

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata nan menantang
nan satu tajam dan jujur nan sebelah.

Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan saya bagimu indah?

Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, dapat katakan
dan tunjukkan dengan niscaya di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa

Liang jiwa-nyawa saling berganti.

Dia rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas

Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tak setapak berjarak
dengan mati

Di pegunungan

1943, ditulis 1949

***

Aku Berada Kembali

Aku berada kembali. Banyak nan asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega nan tersandar pada khatulistiwa lain;

rasa bahari telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.

Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang saya di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
nan mengharap dan nan melepas.

Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah nan sebentar-sebentar
seterang
guruh

1949

***



Belajar Kekuatan Sajak dari Karya Chairil Anwar

Kumpulan sajak Chairil Anwar di atas dapat kita dijadikan sebagai surat keterangan buat menuangkan sekaligus merangkai kata sehingga menjadi sebuah cerita nan menawan. Kepiawaian Chairil Anwar dalam menuangkan apa nan ada dalam pikirannya dengan empiris nan ada sangat mengena.

Tidak semua punjangga sastra angkatan ’45 nan sepiawai Chairil Anwar dalam mengungkapkan ungkapan jiwanya. Berbagai tema sajak mampu ia ramu dengan baik, tak saja perjuangan, kesetiaan, tetapi juga isi hati, cinta kasih, doa bahkan terhadap tuhannya.