Resensi Puisi Baru dalam Warna Kata

Resensi Puisi Baru dalam Warna Kata



Bentuk Karya Puisi Baru Pujangga Angkatan Baru

Bentuk puisi mengalami pergeseran, terutama dalam bentuk dan format puisinya. Dengan kata lain ada disparitas bentuk antara puisi lama dengan puisi baru. Disparitas ini terlihat dari karya puisi nan dibuat oleh para pujangga baru dalam kumpulan puisi baru . Bentuk puisi angkatan pujangga baru yaitu:

  1. Puisinya berbentuk puisi baru, bukan pantun dan syair lagi.
  2. Bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.
  3. Persajakan (rima) merupakan salah satu wahana kepuitisan utama.
  4. Bahasa kiasan primer adalah perbandingan.
  5. Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah.
  6. Hubungan antara kalimat jelas dan hampir tak ada kata-kata nan ambigu.
  7. Mengekspresikan perasaan, deskripsi alam nan indah, dan tentram.

Puisi baru berdasarkan isinya, ciri-cirinya ialah sebagai berikut:

  1. Balada ialah puisi berisi kisah atau cerita.
  2. Himne ialah puisi pujaan buat tuhan, tanah air, atau pahlawan.
  3. Ode ialah puisi sanjungan buat orang nan berjasa.
  4. Epigram ialah puisi nan berisi tuntunan atau ajaran hidup.
  5. Romance ialah puisi nan berisi luapan perasaan cinta kasih.
  6. Elegi ialah puisi nan berisi ratap tangis atau kesedihan.
  7. Satire ialah puisi nan berisi insinuasi atau kritik.


Kumpulan Puisi Baru dalam Karya Pujangga

Kumpulan puisi baru dapat kita lihat dalam berbagai karya puisi baru dari pujangga. Salah satunya dapat kita lihat dalam karya puisi Taufik Ismail. Berikut beberapa puisi baru nan termasuk dalam kumpulan puisi baru karya Taufik ismail:

Syair Lima Tahun Anak Asongan

Seorang anak kecil laki-laki
Berdiri di bawah matahari pagi
Matanya silau, kepala tidak bertopi
Nanak, di mana kau kini?

Pagi itu, kau masih kelas enam
Mengepit koran di tangan kiri
Melambaikan tangan menangkap rezeki
Nanak, di mana kau kini?

Pagi lagi, kau sudah kelas satu
Kau tangkas berlari di sela kendara
Hidup begitu keras di ujung Jalan Pramuka
Bersaing di bawah terik matahari Jakarta
Nanak, kau kini di mana?

Pagi itu, kau naik kelas dua
Di bawah pohon kau duduk kecapekan
Dan kulihat kau istirahat baca koran
Tiap lima detik kau hirup debu jalanan
Nanak, kau di mana gerangan?

Pagi lagi, kau cerita kau kelas tiga
Kaki tetap kurus, kecil dan dekil
Terhimpit tiga rona lampu jalanan
Paru-paru muda penuh karbon dioksida
Nanak, kau kini di mana?

Siang itu, kau tidak dapat naik ke kelas satu
Tak terbayar, begitu katamu
Kulihat basah kuyup kemejamu
Ini bulan Januari, cuma bukan hujan itu
Tapi cucuran air matamu
Nanak, kini di mana kamu?

1990

***

Tiga Tangga Sama, Kau Daki Berulang Kali

I

Di tahun empat lima ketika situasi berbalik kilat Setelah berpuluh tahun orang menunggu Ketika akhirnya jadi proklamasi dibacakan Perubahan secepat telapak tangan dibalikkan Tiba-tiba banyak saja orasi berapi-api Pidato patriotik berhamburan kosong Cuma sedikit dalam catatan nan berisi Pasukan Jepang ditelikung, senjata dilucuti Inggeris dan Belanda dilawan dengan revolusi
Di kawasan kumuh dan pedesaan, rakyat susah makan Begitu sabarnya, tanpa suara, mereka menantikan Dan akan terus kalian atas namakan

II

Di tahun enam enam ketika situasi berbalik berkelebat Setelah bertahun-tahun orang menunggu Pembunuhan kiri-kanan berlangsung mengerikan Perubahan secepat telapak tangan dibalikkan Tiba-tiba banyak saja orasi berapi-api Menyalahkan sana, membenarkan sini Pidato-pidato patriotik kosong berhamburan Cuma sedikit nan berisi, nan pantas didengarkan Orang-orang berebutan dan membagi-bagi kekauasaan
Di mitra kumuh dan pedesaan, rakyat makin susah makan Begitu sabarnya, tidak bersuara, mereka selalu menantikan Dan bukankah mereka akan terus kalian atas namakan

III

Di tahun sembilan delapan, seperti geledek bersambaran Ketika situasi tiba-tiba berjalan balik-kanan Setelah empat windu orang pegal menunggu Beberapa detik perubahan mirip telapak tangan dibalikkan Tiba-tiba banyak betul orang entah dari mana orasi berapi-api Menuduh menyalahkan sana, menyombong membenarkan sini Merasa hebat, pintar dan sahih sendiri Pidato-pidato patriotik begitu bising, hampa dan berserakan Cuma sedikit bisa dicatat nan agak berisi Saksikan adegan penculikan dan penembakan Luar biasa terjadi penjarahan dan pembakaran 100 juta orang jatuh miskin dan dihimpit pengangguran
Di mitra kumuh dan pedesaan, rakyat makin susah makan Begitu sabarnya, tidak bersuara, mereka selalu menantikan Dan bukankah mereka akan terus kalian atas namakan.

1998

***

Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Kau Menjawab Pertanyaan Cucumu

Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab nan baru
Seraya mencat spanduk dengan teks nan seru
Terpicu oleh kawan-kawan nan ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu
Dihajar bohong dan fakta dalam warta selalu
Sampai kini sejak kau lahir dahulu
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran nan kaku
Pandangan berbeda tidak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu
Kekayaan alam buat bangsaku, katamu
Kekayaan alam buat nafsuku, kata orang-orang itu
Karena tidak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu
Dan nomor nan keluar telah ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis nan melaju
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur nan satu
Tanpa dukungan jelas dari nan memegang bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.

1998

***



Resensi Puisi Baru dalam Warna Kata

Judul buku: Warna Kata
Jenis: Antologi Puisi
Penulis: Sepuluh penyair perempuan Kota Bandung, yaitu

Desiyanti,
Yunis Kartika,
Miranda Risang Ayu Palar,
Dian Hartati,
Herliana Sinaga,
Violetta Simatupang,
Palupi Sri Kinkin,
Theoresia Rumthe,
Anjar Anastasia, dan
Tisa Granicia.

Penerbit: Alumni
Tahun: 2010
Harga: Rp4.000,00

"Puisi pada hakikatnya merupakan refleksi ekspresif jiwa nan diungkapkan dalam untaian kata-kata dan menimbulkan berbagai kesan dan pesan. Karena perasaan halus sebagai bagian dari kodratnya, perempuan merasa lebih akrab dalam merefleksikan aktualisasi diri jiwa melalui puisi, seperti nan tercermin dalam Rona Kata ini."

Catatan tersebut diberikan M. Hussyen Umar, Ketua Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Yasin kepada antologi puisi.

Antologi puisi Rona Kata mencerminkan sebagian besar dari berbagai aktualisasi diri perjalanan perpuisian penyair perempuan Indonesia. Setiap penyair perempuan dalam antologi nan terbagi dari berbagai profesi ini berupaya buat meraih eksplorasi pengucapan dan menyampaikan gagasan dengan cara nan unik dan menarik. Mereka berusaha memberikan sesuatu nan khas dan khasanah perpuisian Indonesia.

Upaya-upaya nan dilakukan Helianan Sinaga, salah satu penyair dalam antologi ini ialah lepas dari kungkungan puisi konvensional, nan selalu terikat bait per bait. Dia mencipta puisi dalam frasa-frasa nan panjang dengan metafora nan unik. Terlepas dari latar belakang belakangnya sebagai pekerja teater, Heliana Sinaga harus diperhitungan dalam global perpuisian Indonesia sebagai penyair berkelas.

Dian Hartati seorang editor di salah satu penerbit terkemuka di Bandung juga mengugkapkan puisi-puisi dengan penuh bertentangan dengan harapan bahkan cenderung sinis. Dia selalu mencari diksi nan mungkin tidak terpikirkan oleh penyair lain, seperti kata Dian di Sudut Bumi. Dalam global realitas, bumi itu tidak bersudut. Namun dalam ruang imajiner seorang Dian, bumi itu mempunyai sudut.

Theoresia Rumthe ialah seorang penyiar radio, namun dia pun menulis puisi. Puisi-puisi nan diciptakannya cukup lugas dan cerdas. Bahasa nan dipakai cenderung pragmatis dan verbal namun tak menjadikan puisi hambar. Puisi nan ditulisnya tetap sarat makna dan membuat kita terkenang akan oboralan ringan bersama teman dan sahabat.

Rona Kata telah lahir sebagai bayi kecil dari rahim sepuluh penyair perempuan meski mereka lebih suka disebut sebagai perempuan pencinta puisi, tapi toh mereka telah berkarya dan menghasilkan puisi.

Rona Kata kelak akan menjadi gadis kecil nan cantik nan member rona cerah di khazanah sastra Indonesia.

"Sungguh menyejukkan ketika terbit baru sebuah buku nan berisikan untaian kata latif dan juga bermakna. Menikmati kumpulan puisi baru ini bagaikan mengecap sapaan alam dalam bentuknya nan paling halus; semilir angin, rintik hujan, dan wangi bunga. Sederhana sekaligus menakjubkan." Cacatan ini diberikan Dewi Lestari sebagai pujian atas terbitnya Rona Kata sebagai antologi puisi.