Angkatan Balai Pustaka (tahun 1920-an)

Angkatan Balai Pustaka (tahun 1920-an)



Awal Periode Sastra

Sebenarnya, bentuk-bentuk karya sastra nan kita lihat dan kita kenal dimulai dari periode Pujangga Baru nan banyak dipengaruhi oleh sastra Eropa. Pengaruh itu sangat terasa terutama pada karya-karya Chairil Anwar nan dianggap kontroversial pada waktu itu.

Kenyataan tersebut makin diperkuat akan pendek jeda waktu antara angkatan satu dengan angkatan berikutnya. Misalnya ada Angkatan 1966 setelah Angkatan 1945. Sangat pendek, hanya berjarak 11 tahun. Perkembangan sepesat ini hanya terjadi apabila sastrawan-sastrawan Indonesia terpengaruh oleh perkembangan sastra dunia.

Dengan demikian, pengertian sastra Indonesia ialah bentuk pengungkapan gagasan, pikiran, dan pengucapan sastra orang Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, baik sastra itu dipengaruhi oleh sastra asing atau tidak.



Perkembangan Sastra Indonesia

Sejarah perkembangan sastra Indonesia dimulai pada abad ke-20 nan diawali oleh kehadiran karya-karya dari pengarang Balai Pustaka. Adapun karya-karya nan lahir sebelum periode tersebut digolongkan ke dalam sastra Melayu.
Perkembangan sastra Indonesia secara garis besar terbagi dalam angkatan-angkatan berikut.



Angkatan Balai Pustaka (tahun 1920-an)

Balai Pustaka atau Volkslektuur didirikan oleh gubernur Hindia Belanda di Jakarta pada tahun 1908 dengan maksud agar orang Indonesia nan pandai membaca mendapat bacaan nan sinkron dengan kehendak pemerintah, sebab pada saat itu, banyak buku-buku berisi masalah politik nan bertentangan dengan tujuan politik pemerintah colonial Belanda.

Awalnya, buku nan diterbitkan Balai Pustaka hanyalah buku-buku hikayat, cerita binatang, dan cerita lama. Lalu pada tahun 1918, Balai Pustaka meminta karangan-karangan dari luar, terutama dari guru-guru ternama. Dengan berdirinya penerbitan tersebut telah mendorong para penulis Indonesia buat berkarya.
Nama-nama pengarang dan karyanya pada periode awal ini ialah sebagai berikut.
• Merari Siregar dengan karya Azab dan Sengsara
• Marah Rusli dengan karya Siti Nurbaya
• Abdul Musi dengan karya Salah Asuhan
• Sutan Takdir Alisyahbana Tak Putus Dirundung Malang, dan lain-lain
Tema cerita pada periode ini berkisar pada peristiwa sosial, kehidupan adat-istiadat, kehidupan beragama, dan peristiwa kehidupan masyarakat. Karya waktu itu cenderung berbentuk roman.

Seperti telah disebutkan di atas, Balai Pustaka merupakan badan penerbit nan berfungsi menerbitkan karya-karya nan tak bertentangan dengan politik Belanda. Tidak hanya itu, karya nan diterbitkan pun haruslah berbahasa Melayu Riau. Selain itu, Balai Pustaka juga mendatangkan pakar Bahasa dari Belanda nan bertugas mengamati isi dan bahasa buku-buku nan diterbitkan. Oleh sebab itu, pengarang pun sangat sulit memasukkan kata-kata dengan bahsa daerah, walaupun kata-kata tersebut telah lazim digunakan.



Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)

Pada zaman ini, Belanda banyak memberikan peraturan terutama mengenai restriksi karangan atau karya sastra Indonesia. Oleh sebab itu, dengan semangat nan gigih, bangsa Indonesia (baca:pengarang Indonesia) secara diam-siam mendirikan organisasi baru nan diberi nama Pujangga Baru.

Angkatan ini dipelopori oleh empat serangkai. Yaitu Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah. Karya sastra nan muncul sebagian besar berbentuk sajak, cerpen, novel, roman, dan drama. Karya pada angkatan ini antara lain sebagai berikut.
• Layar Terkembangkarya Sutan Takdir Alisyahbana
• Belenggukarya Armijn Pane
• Katak Hendak Jadi Lembukarya Nur Sura Iskandar, dan lain-lain



Angkatan ‘45

Ciri khas karya sastra angkatan 45 lebih bebas, namun ditekankan pada isinya. Kalimat-kalimatnya pendek dan tak menggunakan bahasa nan klise. Isinya pun bersifat realisme.

Periodesasi sastra Indonesia angkatan 45 sering disebut-sebut sebagai ‘pendobrak’ konvensi. Hal tersebut memberikan sesuatu nan baru bagi para pembaca sastra, yakni sebuah kepercayaan buat mendobrak aturan-aturan eksklusif mengenai karya sastra, baik dari segi ideologi maupun kebahasaannnya.

Munculnya Chairil Anwar dan sastrawan lain di masa itu memberikan sesuatu nan baru bagi anjung sejarah sastra Indonesia. Sajak-sajaknya nan radikal dan jauh dari romantisime (yang menjadi karakteristik khas angkatan Pujangga Baru) menjadikan sebuah tanda kebaruan bagi global sastra Indonesia.

Pengarang-pengarang nan terkenal kontemporer antara lain Idrus, Chairil Anwar, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain. Karya nan muncul antara lain Atheis, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, dan lain-lain.



Angkatan ‘66

Angkatan 66 diperkenalkan oleh HB Jassin dalam bukunya nan berjudul Angkatan ‘66. Angkatan ini muncul berbarengan dengan adanya kekacauan politik dampak adanya pemberontakan G-30S/PKI.

Pada tahun1965 sampai 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan nan ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini kemudian dikenal dengan istilah Angkatan '66, yakni angkatan nan menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional. Sementara itu, sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.

Tokoh-tokoh mahasiswa nan ikut pada saat saat itu ialah mereka nan kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Setelah itu, angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara sampai akhirnya gerakan ini sukses membangun kepercayaan masyarakat buat mendukung mahasiswa nan menentang Komunis, nan dilatarbelakangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).

Sastra pada angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini nan sangat majemuk dengan genre sastra nan majemuk pula. Munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dll pada masa angkatan ini menjadikan karya sastra dianggap lebih maju dari karya-karya pada angkatan sebelumnya. Penerbit Pustaka Jaya pun sangat membantu dalam usaha menerbitkan karya-karya sastra pada angkatan ini.

Sastrawan nan masuk ke dalam angkatan ini antara lain ialah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hurip, Ajip Rosidi, dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B.Jassin.

Karya-karya nan diterbitkan antara lain sebagai berikut.
• Pagar Dawai Berdurikarya Toha Mochtar
• Tiranikarya Taufik Ismail
• Hati nan Damaikarya N.H. Dini
• Malam Jahanamkarya Motinggo Boesje, dan lain-lain.



Karya Sastra Kontemporer

Karya sastra pada masa ini berawal pada tahun 1970-an. Pada waktu itu situasi politik sudah mereda. Situasi sosial dan ekonomi mulai menunjukkan pemugaran sehingga berpengaruh besar terhadap perkembangan sektor-sektor kebudayaan.

Kebebasan berekspresi mulai tumbuh dan berkembang sehingga melahirkan berbagai gerakan pembaruan dalam bidang sastra

Gerakan pembaruan dalam bidang sastra ini terutama ditandai oleh munculnya puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri nan mengutamakan bunyi daripada kekuatan makna kata. Sampai saat ini, sastra Indonesia semakin berkembang dengan lahirnya pengarang-pengarang muda dan karyanya.

Pada angkatan ini, setiap penyair boleh menuliskan puisi dengan gaya apa pun, dalam bentuk apa pun. Tak ada lagi suatu gaya nan harus dipatuhi oleh penyair. Setiap persoalan nan direvitalisasi di dalam puisi sugesti akan menuntut suatu gaya tersendiri, suatu bentuk tersendiri: mungkin suatu bentuk baru, atau sekadar pengulangan bentuk lama, mungkin juga perpaduan bentuk baru dan lama.

Maka, nan terpenting dalam puisi sugesti, bukanlah masalah bentuk dan gaya pengucapan, tetapi lebih kepada isi persoalan. Sebagai seorang penyair nan merdeka, maka sang penyair boleh menulis puisi dengan bentuk, gaya, dan kovensi keindahan apa pun, nan terpenting ia tahu apa isi persoalan nan hendak disampaikannya.

Nah, demikian perkembangan sastra kita nan patut diketahui dalam upaya buat memahami pengertian sastra Indonesia kita.