Polemik Mengenai Organ Tunggal

Polemik Mengenai Organ Tunggal

Organ tunggal tentu sudah tak asing di mata dan telinga kita. Organ tunggal merupakan hiburan musik nan menggunakan satu alat musik sebagai penggerak primer komposisi musiknya, yakni organ (keyboard). Namun seiring perkembangannya, didukung oleh alat musik lain, seperti seruling dan gendang. Hiburan ini banyak kita temui di daerah-daerah pesisir.

Organ tunggal tak dapat kita lepaskan dengan acara-acara resepsi pernikahan dan khitanan. Hiburan ini sangat praktis dan akrab dengan masyarakat. Hanya membutuhkan anjung kecil nan biasanya terbuat dari papan atau meja kecil nan ditata berjejer.

Di anjung nan sederhana itulah para penyanyi mengeksplorasi mobilitas tubuh nan lentur dan goyangan sensual. Pakaiannya nan begitu minimalis dan ketat membuat suasana malam nan dingin menjadi hangat.

Penonton pun diberi suatu andil dalam seremoni pesta dengan hiburan ini. Sebab penonton juga dapat tampil di atas anjung buat menyumbangkan suaranya atau sekadar berjoget, sambil memberi saweran kepada penyanyi seksi itu. Alunan musik dangdut nan diiringi gendang dan seruling membuat tubuh-tubuh nan kaku menjadi terdorong buat bergoyang.

Sebenarnya, organ tunggal tak hanya membawakan musik dangdut saja. Namun, sekarang ini salah satu jenis hiburan ini sangat diidentikkan dengan musik dangdut.

Sebab musik dangdut dinilai mampu menghipnotis penonton buat larut dalam kegembiraan pesta. Di dalam musik dangdut, respon penonton lebih krusial dibandingkan dengan kualitas penyanyi. Tujuannya pun memang buat menghibur para penonton bukan sebagai ajang lomba atau pencarian bakat.

Di balik hiburan nan disajikan oleh organ tunggal, terdapat berbagai akibat negatif maupun positif. Seni musik ini mampu mengubah pemaknaan mengenai musik dangdut atau sebuah martabat nan ada di dalam masyarakat.

Organ tunggal menjadi semacam ukuran buat menilai seseorang dalam masyarakat berdasarkan prestise, apakah mereka mampu menggelar acara pesta dengan mendatangkannya atau tidak.
Selain itu, hiburan ini biasanya digunakan sebagai ajang buat menunjukkan kekuatan seseorang di daerah-daearah.

Dalam artian, sering terjadi persaingan antara penyawer buat menunjukkan kekuatannya dengan besar kecilnya saweran nan diberikan. Hiburan musik ini biasanya sangat digemari oleh rakyat-rakyat di daerah pesisir atau daerah-daerah nan jauh dari pusat pemerintahan kerajaan zaman dahulu, nan juga merupakan pusat kebudayaan berkembang pada masa Hindu-Buddha.

Hal ini mengakibatkan rakyat di daerah-daerah tersebut berusaha buat mengembangkan kebudayaan mereka berdasarkan insting memertahankan diri dan kesenangan, bukan insting estetis dan spritual. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya seni-seni, seperti ronggeng dan tayub di daerah-daerah tersebut.

Ronggeng dan tayub merupakan sebuah hiburan seni tradisional nan mirip sekali dengan organ tunggal. Walau kedua seni tersebut biasanya dihubungkan dengan unsur mistis. Hal ini dipengaruhi oleh kepercayaan rakyat di daerah-daerah nan biasanya masih tradisional.

Namun, antara penyanyinya dan penari ronggeng memiliki kecenderungan dalam hal eksplorasi tubuh nan erotis. Anjung nan sederhana dan hilangnya hirarki antara penyanyi dan penonton juga membuat hiburan seni ini begitu mirip. Penonton bebas ikut berjoget dan menari dengan penyayi atau penari sambil memberikan saweran.

Seiring perkembangan zaman, hiburan ini telah menyebar melewati batas-batas wilayah. Di kota-kota pun juga sering terlihat hiburan ini walau mungkin dengan kemasan nan berbeda.



Organ Tunggal - Menyurutkan Kebudayaan Tradisonal, Menciptakan Kebudayaan Baru

Organ tunggal merupakan sebuah seni hiburan nan berkembang di zaman modern. Alunan musik nan didominasi oleh organ (keyboard) menunjukkan pengaruh modern nan masuk di dalam hiburan ini.

Zaman modern nan mengutamakan kepraktisan juga tercermin dalam hiburan musik ini. Loka dan dana nan tak terlalu besar, serta pemain musik nan hanya segelintir orang menunjukkan kepraktisan dalam hiburan ini.

Akibat perkembangan zaman nan memengaruhi manusia buat berpikir praktis ini, membuat berbagai kebudayaan tradisonal menjadi surut eksistensinya. Pada zaman dulu, acara-acara pernikahan, khitanan, atau hajatan lainnya lebih sering menggunakan hiburan-hiburan seni tradisional, seperti wayang, kuda lumping, reog, dan sebagainya. Namun, sekarang ini acara-acara seremoni hajatan tersebut lebih banyak dipenuhi dengan hiburan praktis, salah satunya ialah organ tunggal.

Biaya nan lebih terjangkau buat mengadakan hiburan seni ini dibandingkan buat mengadakan hiburan-hiburan seni tradisional juga merupakan salah satu faktor menyurutnya eksistensi kebudayaan tradisonal. Kebudayaan tradisonal telah tergerus zaman dan mengalami suatu degradasi dalam eksistensinya di masyarakat.

Namun, sebaiknya kita tahu bahwa kebudayaan selalu bersifat dialektis. Kebudayaan akan selalu memperbarui dirinya sinkron dengan perkembangan zaman. Sehingga, organ tunggal ini pun dapat dikatakan sebagai salah satu kebudayaan baru nan muncul di zaman modern. Mungkin saja beberapa puluh tahun ke depan, hiburan ini juga menjadi salah satu kebudayaan tradisonal nan harus dilestarikan.



Polemik Mengenai Organ Tunggal

Aksi anjung dari para penyanyinya nan biasanya terkesan erotis dan mengundang berahi mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak. Ditambah lagi baju minimalis dan ketat nan sungguh tak layak dipertontonkan di depan publik.

Penonton nan bebas tanpa batasan buat menonton hiburan ini, seperti penonton anak-anak, juga menjadi target kecaman terhadap hiburan ini.
Bahkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) juga pernah mengecam pertunjukannya buat keperluan pesta atau hajatan.

Kepentingan politik juga dilarang menampilkan penyanyi seronok nan dipertontonkan kepada pemirsa dari segala usia. Deputi Bidang Konservasi Anak saat itu, KPP Surjadi Soeparman, menilai pertunjukannya nan makin marak di berbagai daerah dapat merusak pendidikan moral dan sangat merugikan anak di bawah umur.

Organ tunggal juga dinilai memiliki banyak akibat jelek terhadap kehidupan masyarakat. Di antaranya semakin meningkatnya para konsumen minuman keras.

Sebab, tampaknya minuman keras juga menjadi konsumsi nan sudah inheren bagi mereka nan ingin berpartisipasi di atas panggung. Imbas minuman keras nan memabukkan membuat taraf pencerahan menjadi berkurang dan alam bawah sadar menjadi bertambah.

Hal ini bisa menghilangkan rasa malu dan menambah kepercayaan diri buat berjoget dan bernyanyi di atas anjung tersebut. Acara ini biasanya juga dimanfaatkan bagi para penjual nan bekerja sama dengan pemilik hajat buat menjual minuman keras tersebut. Imbas dari minuman keras nan dikonsumsi para penonton ini juga bisa memicu timbulnya perkelahian.

Dampak negatif lainnya dari hiburan musik ini ialah mengganggu jam istirahat di lingkungan terselenggaranya hiburan. Sebab, biasanya hiburan ini diselenggarakan sampai larut malam.

Dengan adanya berbagai akibat di atas, banyak kalangan nan melarang digelarnya hiburan organ tunggal. Namun, pelarangan atau penghapusan hiburan seni musik ini dari masyarakat bukanlah sesuatu nan mudah.

Langkah terbaik buat menanggulangi berbagai akibat negatif dari seni musik ini bukanlah pelarangan, namun pembatasan. Sine qua non suatu anggaran nan membatasi bagaimana hiburan seni musik ini dapat terselenggara. Misalnya restriksi gerakan-gerakan nan menimbulkan daya erotisme, baju minimalis dan penonton anak-anak harus dilarang.

Pembatasan ini lebih bermanfaat daripada menghapuskan atau melarangnya secara apriori. Sebab ,seperti nan sudah dijelaskan di atas, bukan tak mungkin bahwa berpuluh-puluh tahun ke depan organ tunggal akan menjadi kebudayaan tradisional nan harus tetap dilindungi kelestariannya.