Hutang dalam Syari’at

Hutang dalam Syari’at

Bila Anda ialah para sarjana atau calon sarjana ekonomi, kini saatnya Anda mengaplikasikan ilmu Anda dengan menulis buku ekonomi . Tentunya banyak sekali ilmu-ilmu tentang ekonomi nan sudah Anda peroleh selama kuliah. Apa nan ingin Anda lakukan?

Apakah Anda hanya ingin menjadi follower atau mungkn Anda ingin memberikan kontribusi melalui buah pikir Anda melalui karya. Bila Anda memilih nan kedua maka Anda ialah benar-benar the Agent of Change nan memberikan kontribusi kepada global melalui pena.



Bagaimana Cara Menulis Bukunya?

Kita lihat, sekarang ini sistem ekonomi global sudah mengarah ke kapitalis. Dan kita semua mengetahui bahwa sistem ekonomi kapitalis itu sangat merugikan rakyat. Kemiskinan di mana-mana, ketimpangan, GAP nan terjadi antara si kaya dan si miskin, serta kriminalitas, semuanya berawal dari sistem perekonomian nan tak mendukung rakyat.

Oleh karena itu, sebagai agen pencipta perubahan ke arah nan lebih baik, kita dapat mengubah kondisi tersebut dengan hal sederhana nan bisa. dilakukan Apa itu? Kita dapat menulis buku ekonomi syariah buat melawan ekonomi kapitalis.

Buku ekonomi syariah nan ditulis tersebut harus berisi solusi solutif, dan tentunya ke arah nan lebih baik. Sekali pun buku ekonomi syariah tersebut masih bersifat teoretis, tapi setidaknya telah mampu membuka pikiran para atasan dan orang-orang lainnya sekian persen saat membaca buku kita. Intinya, buku ekonomi syariah nan ditulis itu mencerahkan.

Tak perlu terlalu susah dan dibuat rumit buat mengawalinya. Kita dapat menulis tentang sesuatu nan sederhana. Misalnya tentang masalah kebutuhan manusia nan kata ekonomi kapitalis ialah tidak terbatas sedangkan alat pemenuhannya terbatas.

Dalam buku ekonomi syariah, kita dapat membantah bahwa kebutuhan manusia dapat sinkron dengan alat pemenuhan kebutuhan bila manusia tak bertindak serakah, menimbun, dan selalu merasa kurang.

Dalam buku ekonomi syariah kita juga dapat menjelaskan bahwa segala sesuatu nan ada di global ini ialah milik Sang Kuasa, sedangkan manusia hanyalah “penyewa” saja. Bila itu sudah tertancap dalam benak kita, maka tidak ada istilah kepemilikan mutlak, sebab segala sesuatu nan kita miliki di global ini niscaya akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

Pengetahuan-pengetahuan semacam itulah nan akan kita kupas habis dalam buku ekonomi syariah nan ditulis. Pengetahuan dasar tersebut ialah buat orang-orang awam nan masih beranggapan bahwa kebutuhan itu bersifat tidak terbatas.



Contoh Sinopsis Buku Ekonomi Islam: Hutang, Islam dan Kelola Masa Depan

Bagi nan sudah terbiasa menulis, tentu saja tak menulis nan sederhana. Di sini penulis mencoba memberikan masukan berupa sinopsis buku ekonomi syariah. Di dalam buku tersebut terbagi dalam tiga bab: Hutang dalam Syariat, Bila Terlanjur Berhutang, dan Bila Mesti Berhutang.

Umumnya, menjelang puasa dan lebaran, kebutuhan umat Islam kian meningkat. Hingga akhirnya tidak sedikit orang nan ketika datang bulan Ramadhan menghantarkannya pada kata ‘utang’. Walhasil, setelah anjangsana dengan sanak famili ke sana ke mari dan bergembira ria di kampung selama lebarab, siklus keuangan bekerja seperti biasanya.

Terlebih, pasca hari kerja mulai beroperasi lagi, banyak di antara kita mengeluh bokek (kehabisan uang) atau memiliki penyakit ‘kanker’ atau kantung kering alias tidak punya uang.

Maka, bagi mereka nan selama lebaran berusaha tampil gagah-gagahan dengan cara berhutang, sehabis lebaran ialah ‘malapetaka’ nan tidak dapat dielakkan. Sementara, bagi mereka nan selama lebaran tidak berhutang, namun jor-joran membelanjakan uangnya hingga kedodoran, selepas mudik lebaran ialah juga ‘bencana’ dalam hidupnya.

Betapa tidak? Saat harus memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari, uang gaji dan THR-nya sudah tidak berbekas lagi. Ludes. Menguap begitu saja dalam keriaan konsumtif. Maka tidak aneh, jalan pintas satu-satunya ialah berhutang.



Hutang dalam Syari’at

Pada prinsipnya, dalam Islam, kedudukan hukum hutang-piutang (pinjam-meminjam) itu tergantung situasi dan kondisi. Ia dapat menjadi sunnah, wajib atau haram. Dalam kondisi normal dan tidak terpaksa, seseorang diperbolehkan berhutang dan menghutangi. Hal ini mengingat transaksi hutang-piutang ada nilat tolong menolong sesama muslim.

Yaitu, si pengutang merasa membutuhkan sesuatu hingga harus meminjam, sedangkan si piutang merasa harus membantu sebagai saudara semuslim. Inilah maknanya berhutang disebut para pakar fikih sebagai tindakan sunnah.

Sedangkan kedudukan berhutang menjadi wajib bila seseorang berhutang dalam kondisi darurat alias terpaksa. Misalnya, seseorang nan harus meminjam uang kepada temannya lantaran anaknya sakit parah dan harus segera diobati.

Adapun hukum berhutang menjadi haram, ketika tak dalam kondisi terpaksa dan tak ada asa bisa membayar hutangnya. Demikan halnya juga, hutang diharamkan ketika digunakan buat melakukan hal-hal kejahatan seperti membeli minuman keras, narkoba dan sebagainya.

Nah, maka tidak salah bila Rasulullah Saw. mengecam keras orang nan suka berhutang melalui sabdanya.

Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepada-Mu dari berbuat dosa dan hutang. Kemudian ia ditanya: mengapa engkau banyak meminta konservasi dari hutang, ya Rasulullah? Ia menjawab, sebab seseorang akalu berhutang, apabila berbicara bohong dan apabila berjanji mengingkari”. (HR. Bukhari)

“Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepada-Mu dari lilitan hutang dan dalam kekuasaan orang lain”. (HR. Abu Daud)

“Akan diampuni orang nan wafat syahid semua dosanya kecuali hutang.” (HR. Muslim)



Bila Terlanjur Berhutang

Di dalam bab ini, kupas pembahasan tentang bila terlanjur berhutang maka nan dilakukan ialah segera berazam buat segera mengembalikan hutang tersebut sinkron tenggat waktu nan sudah disepakati. Karena Rasulullah Saw. bersabda, “Punandaan hutang bagi orang kaya (sudah mampu) ialah zhalim. Maka siapa nan ingin menuntut, silahkan menuntut orang kaya (yang sudah mampu membayar hutang.” (HR. Bukhari-Muslim)

Atau dalam hadis lain juga disebutkan, “Barangsiapa hutang uang kepada orang lain dan berniat akan mengembalikannya, maka Allah akan luluskan niatnya itu, tetapi barangsiapa mengambilnya dengan niat akan membinasakan (tidak membayar) maka Allah akan merusakannya. “ (HR. Bukhari)

Berkaca pada hadis di atas, kita menjadi mafhum kenapa banyak orang nan sebetulnya sudah mampu membayar hutang, namun suka menunda-nundanya sebab alasan ini-itu nan tak jelas, banyak mengalami sejumlah ketidakberkahan dalam kehidupannya, entah itu rezekinya maupun rumah tangganya.



Bila Mesti Berhutang

Di dalam bab “Bila Mesti Berhutang” dikupas pembahasan tentang hayati di era krisis dunia saat ini memang serba sulit. Segala kebutuhan pokok melonjak. Mulai kebutuhan pangan, papan, hingga pakaian sangat bergeser nilai belinya: mahal dan menyusahkan. Terlebih, banyak perusahaan nan guling tikar sebab terkena efek krisisnya. Kondisi demikian, otomatis, berpengaruh kepada pemutusan interaksi kerja para karyawan.

Karenanya, tidak aneh, bila banyak orang nan berhutang demi memenuhi kebutuhan pokoknya itu. Sebab, bila tidak, kehidupannya akan terancam. Pada titik inilah berhutang kemudian menjadi wajib dan sangat dianjurkan.

Nabi Muhammad Saw. sendiri dalam satu riwayat, konon, pernah membeli makanan dari orang Yahudi buat menafkahi keluarganya. Cara pelunasannya pun dengan sistem pembayaran bertempo sinkron perjanjian kedua belah pihak (tentunya bukan dengan cara renteiner seperti sekarang ini nan suka membungakan secara berlipat-lipat cicilan pengembaliannya). Beliau juga pernah menggadaikan pakaian besinya kepada orang Yahudi demi memenuhi kebutuhan pokoknya.

Untuk itu, bila Anda harus berhutang demi memenuhi kebutuhan hidup, maka perlu ditegaskan. Barang nan dihutangi merupakan kebutuhan mendesak. Bersungguh-sungguh ingin membayar hutang sinkron perjanjian kedua belah pihak.

Jangan meminjam kepada renteiner nan suka sekali dengan riba, sebab riba itu diharamkan oleh Allah. Carilah forum keuangan syari’ah terpercaya nan memang sangat memudahkan dalam proses peminjaman dan tak memberatkan dalam proses pengembaliannya.

Mulailah berhitung-hitung buat berhutang nan sifatnya produktif, yakni hutang nan bisa menambahkan aset Anda, seperti berhutang buat berdagang, membeli tanah, rumah dan lainnya. Pada titik ini, Anda belajar mengubah hutang nan sejatinya minus menjadi plus.

Lalu Anda jelaskan tips mengubah hutang nan minus menjadi plus. Jelaskan semuanya dengan detail dan surat keterangan nan mendukung apa nan ingin dikupas di dalam buku ekonomi syariah nan ditulis. Tentunya, nan berhubungan antara hutang dengan ekonomi.

Intinya, ajaklah pembaca buat merubah pola hutangnya nan dulunya konsumtif, misalnya dengan membeli barang-barang elektronik nan tujuannya hanya buat bergaya, berubah menjadi pola produktif nan dapat berkembang, seperti pembelian tanah.

Inilah artikel sederhana tentang proses menulis buku ekonomi syariah. Semoga bermanfaat.