Kumpulan Puisi Rendra Dan Kode Semiotik Dalam Memahaminya

Kumpulan Puisi Rendra Dan Kode Semiotik Dalam Memahaminya

Menurut Roman Jakobson, yakni jenis tulisan nan menyajikan tindak defleksi teratur terhadap ujaran biasa, serta mentransformasi dan mengintensifkan bahasa sehingga ada disproporsi antara penanda dan petanda (dalam Eagleton, 2007:3), kumpulan puisi Rendra tak lagi dipandang berdasarkan kefiktifan atau keimajinatifannya, melainkan berdasarkan penggunaan bahasanya nan dilakukan secara unik.



Kumpulan Puisi Rendra – Penggunaan Bahasa Yang Unik

Dalam hal ini, kumpulan puisi Rendra bisa dilihat sebagai teks fenomena konstruksi sosial nan tertulis dalam teks puisi. Sebagai contoh, judul-judul puisi Rendra tak hanya berhenti pada satu wacana, tetapi juga merambah pada wacana-wacana lain di luar puisi itu sendiri, antara lain “Jangan Takut Ibu”, “Balada Orang-Orang Tercinta”, “Potret Pembangunan dalam Puisi”, “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”, dll.

Dengan banyaknya wacana nan diusung tersebut, kumpulan puisi Rendra membuktikan apa nan dikatakan Riffaterre (dalam Pradopo, 2007:3) bahwa puisi selalu berubah-ubah sinkron dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya sehingga tema nan muncul pada puisi-puisinya pun dapat beragam.

Konsep estetik nan dihadirkan dalam kumpulan puisi Rendra senantiasa berubah sinkron dengan evolusi zaman. Ide romantisme pada kumpulan puisi “Surat Cinta” tentu saja sangat berbeda dengan ide sosialisme pada kumpulan puisi “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”. Namun, tentu ada satu kecenderungan nan muncul sebagai wilayah estetik khas Rendra, baik secara ideologis (makna) maupun secara bentuk.

Kualitas bentuk balada nan dikenal sebagai khas kumpulan puisi Rendra menjadikan puisinya lebih dramatik dan mudah dipahami secara teks, walaupun Sastrowardoyo (1997) menyebutkan bahwa Rendra tak sepenuhnya asli dalam mencipta puisi sebab terdapat pengaruh nan sangat besar dari penyair Garcia Lorca pada puisi-puisinya, terutama kumpulan puisi “Balada Orang-Orang Tercinta”.

Namun, jika dilihat secara ideal tanpa menampik kode-kode semiotik nan muncul dari puisi-puisinya, kumpulan puisi Rendra bisa menjadi sebuah perjalanan bagaimana sastra menjadi representasi atas Indonesia. Puisi-puisi bertema cinta menjadi relevan dengan bagaimana Indonesia lahir melalui perjuangan dan cinta masyarakat di dalamnya. Hal ini bisa dilihat dari kata-kata cinta nan bersifat tradisional nan diciptakan Rendra, seperti /kala hujan gerimis/,/bagai bunyi tambur nan gaib/, /dan angin mendesah/ dalam puisi “Surat Cinta”.

Kekuatan kata nan bersifat alam tersebut bertendensi buat menyajikan representasi mengenai Indonesia sebelum mengenal bahasa tubuh nan lain, yakni masuknya budaya luar Indonesia ke dalam Indonesia. Perjalanan budaya tersebut juga bisa dilihat dalam kumpulan puisi Rendra nan bersifat luar budaya Indonesia, seperti “Rick dari Corona” atau “Blues buat Bonnie”.

Dilihat dari judulnya saja, kedua kumpulan puisi Rendra tersebut menyajikan bahasa lain dari bahasa alam nan biasa dimunculkan Rendra dalam puisi-puisinya. Hal ini serupa dengan apa nan diungkapkan Sastrowardoyo (1997:13), yakni keinginan berorientasi ke global Barat nan menjadi salah satu pemecahan atas dilema nan dialami manusia perbatasan.



Kumpulan Puisi Rendra – Citra Perjalanan Kesusastraan Indonesia

Dalam kumpulan puisi Rendra, pengambilan wilayah kekuasaan nan dilakukan peradaban terhadap kebudayaan Indonesia mengubah kedudukan manusia kebudayaan menjadi manusia perbatasan sebab dua pilihan budaya, yakni Barat dan Timur. Hal ini bisa dilihat dari kutipan larik nan terdapat dalam puisi “Perempuan nan Tergusur” ini :

Tanpa pilihan
Ibumu wafat ketika kamu bayi
Dan kamu tidak pernah tahu siapa ayahmu.

......
Keadilan terletak di seberang highway nan berbahaya
yang tidak mungkin kamu seberangi.

Larik tersebut membuktikan bahwa kumpulan puisi Rendra merupakan perjalanan kebudayaan Indonesia nan /tanpa pilihan/ karena ibu dari budaya Indonesia nan telah wafat (Ibumu wafat ketika kamu bayi) sedang mengalami krisis bukti diri (dan kamu tidak pernah tahu siapa ayahmu). Namun, peradaban nan datang dari luar budaya Indonesia (diwakili oleh diksi highway) tidak mungkin diseberangi oleh kamu (sebagai subjek dalam perjalanan budaya Indonesia).

Selain itu, diksi nan berkaitan dengan ‘perempuan’ pun sering muncul (bahkan mendominasi sajak) dalam kumpulan puisi Rendra sebagai bentuk semiotik dari kekuatan budaya Indonesia. Konteks perempuan nan dicintai, nan berjuang demi kehidupan, serta tersingkir dari kondisi sosial dan politik budaya menjadi diksi krusial nan menjadi kunci pembuka makna konteks ide puisi-puisi Rendra.

Dalam kumpulan puisi Rendra, pengalaman budaya memperlihatkan sisi kedikotomisannya dengan memunculkan elemen budaya dan peradaban. Kedua hal tersebut merupakan hal-hal nan berpengaruh terhadap munculnya disharmonisasi sosial dalam masyarakat Indonesia. Budaya sebagai bukti diri diri didistorsi oleh peradaban nan merupakan bagian dari budaya global, sehingga masyarakat Indonesia mengalami konflik dengan berbagai kondisi patologis nan menunjang tercerabutnya akar budaya Indonesia.

Kondisi tersebut memunculkan asa tersendiri bagi penyair akan datangnya kepekaan masyarakat terhadap kebudayaan nan membesarkan mereka sehingga tak terjadi diskontinuitas kebudayaan di Indonesia. Hal tersebut terlihat dengan adanya pemasukan pembaca ke dalam puisi sehingga pembacaan puisi mengambil wilayah obrolan antara aku, kamu, dan ia. Hal ini juga menunjang pembaca buat dapat lebih aktif dalam pembacaan sehingga unsur-unsur krusial nan terdapat dalam kumpulan puisi Rendra ini bisa tertangkap dengan baik.

Setelah pengalaman budaya nan diambil dari metafora perempuan, cinta, dan alam, isu kekerasan pun dimunculkan dalam kumpulan puisi Rendra nan lain, yakni dalam puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”. Isu ini mengangkat nilai-nilai patologis nan menghancurkan budaya lokal sehingga menjadi budaya massa dalam alih kekuasaan. Seperti terdapat dalam kutipan larik puisi di bawah ini :

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

Larik /O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!/menawarkan mitos kekuasaan nan dibawa oleh peradaban (diwakili oleh diksi sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!). Kekuasaan semu tersebut kemudian didestruksi oleh kekuasaan tunggal nan juga menjadi karakteristik khas dari kumpulan puisi Rendra, yakni sistem kepercayaan, baik nan bersifat totemisme maupun keagamaan (diwakili oleh larik //Allah selalu mengingatkan...//).

Selanjutnya, kumpulan puisi Rendra kembali membawa pembaca buat melihat kedudukan masyarakat nan berada di antara budaya dan peradaban. Larik /apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat/ memberikan citraan waktu nan juga menjadi kenyataan dalam perkembangan budaya secara historis. /apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa/ menjadi kegelisahan pada masyarakat Indonesia dihadirkan buat melihat situasi perekonomian negara.

Sekali lagi, fakta puitik ini membuktikan bahwa kumpulan puisi Rendra merupakan representasi perjalanan budaya Indonesia nan juga memegang sistem ketuhanan (kepercayaan). Masyarakat Indonesia nan disebut sebagai masyarakat religius dihadapkan pada majemuk situasi, baik politik, sosial, maupun budaya, sehingga membentuk konflik budaya nan berujung pada polemik budaya. Hal ini sinkron dengan nan diutarakan Teeuw (dalam Malna, 2000:131) bahwa dalam puisi, pembaca selalu dihadapkan dengan keadaan nan paradoksal.



Kumpulan Puisi Rendra Dan Kode Semiotik Dalam Memahaminya

Pada satu pihak, sebuah puisi merupakan holistik nan bulat, berdiri sendiri, serta harus ditafsirkan pada dirinya sendiri. Akan tetapi, pada pihak lain, tak ada satu karya pun nan berfungsi dalam situasi kosong; setiap sajak (puisi) atau karya seni merupakan aktualisasi eksklusif dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya. Dan kumpulan puisi Rendra membuktikannya dengan bermacam-macam wilayah isu nan diwacanakannya.

Dengan demikian, komposisi nan dihadirkan dalam kumpulan puisi Rendra bukan hanya nilai estetik puisi sebagai karya sastra, tetapi juga bagaimana puisi-puisi Rendra mampu mengejawantahkan nilai-nilai kehidupan nan dimiliki (dialami) oleh masyarakat Indonesia sehingga esensi sastra di dalamnya benar-benar merepresentasi perjalanan budaya suatu kaum (dalam hal ini Indonesia).

Oleh sebab itu, buat memahami kumpulan puisi Rendra secara lengkap dan lebih lanjut, dibutuhkan pemahaman mengenai kode-kode semiotik nan terdapat di dalam puisi-puisinya, seperti diksi nan berkaitan dengan perempuan (ibu, ibu pertiwi, nenek, dll.), ketuhanan (Allah, nama nabi-nabi, dll.), serta wilayah komunikasi nan dibangun oleh saya lirik dan kamu serta ia lirik.