Kesaksian - Macet Mencekik Pengguna Jalan

Kesaksian - Macet Mencekik Pengguna Jalan

Inilah kesaksian tentang masalah nan dihadapi masyarakat perkotaan dari pagi sampai malam dari muda hingga tua pun tidak lepas dari masalah. Kesaksian terhadap dinamika kehidupan kota besar nan sarat akan masalah sosial nan rasanya tidak terselesaikan dengan tuntas.

Mengutarakan kesaksian tentang beratnya hayati di kota ternyata tidak menjadikan jeda bagi meraka nan nekat mencari penghidupan di kota walau dengan kapital minim ( baca kapital life skill , pendidikan).



Kesaksian Pahit Orang Kota

Kesaksian pada pagi hari dimulai dari pejalan kaki nan tergusur dari pedestarian. Haknya nan dirampas saat menyusuri trotoar. Kesaksian ini mungkin hanya ada di kota-kota besar di Indonesia saja. Kesaksian dimulai dari pagi hari ketika penduduk kota bersamaan keluar rumah buat mengadu nasib atau menuntut ilmu ke sekolah. Mereka sama-sama berjuang menyusuri jalanan ibu kota mengejar waktu nan kian lama tidak dapat dikejar.

Walau sudah keluar rumah ketika fajar belum menyingsing. Kesaksian pun sudah dimulai dari permasalahan tertib lalu lintas nan kian jauh dari tertib.Melihat uraian dari kesaksian penduduk kota dengan aneka masalahnya, jadi terbesit pertanyaan menggelitik, apa enaknya sih hayati di kota? Sebelum menjawab, mari kita lihat lebih banyak lagi berbagai kesaksian hayati orang kota dengan aneka masalahnya.



Kesaksian Tentang Polusi

Kesaksian pahit nan paling konkret ialah polusi nan kian parah saja. Polusi itu tidak hanya pencemaran udara sebab meruyaknya gas karbonmonoksida nan dikeluarkan dari kendaraan motor dan pabrik saja. Polusi lain nan menjadi objek kesaksian getir ialah polusi air dan suara. Masalah polusi air nan tercemar oleh limbah pabrik maupun rumah tangga merupakan salah satu akibat dari padatnya penduduk kota, sehingga mengganggu ekosistem alam.

Masyarakat kota terpaksa menggunakan air sungai nan tekontaminasi limbah, sebab kesulitan mencari air bersih. Ambil saja contoh di Jakarta atau di Semarang, air tanah dikedua kota itu tercemar oleh air bahari nan ternyata sudah mengintrusi jauh ke daratan. Jadi, air tanah di kedua kota itu tidak layak buat dikonsumsi sebab mengandung garam nan tinggi, dan rasanya getir, segetir kesaksian mereka terhadap air higienis nan sulit dari kehidupan mereka.

Belum lagi kesaksian polusi air ditangani, sekarang ditambah lagi yakni kesaksian bagaimana bisingnya suara nan dihasilkan dari mobil dan motor nan terus berseliweran di depan mereka tanpa henti. Meledaknya jumlah pengguna kendaraan di jalan, secara langsung turut berkontribusi memperparah polusi suara di kota besar.

Tingkat kepadatan lalu lintas sekarang ini sangat mengganggu ketenangan hidup. Efek secara langsung dari polusi suara ialah kehilangan konsentrasi belajar, konsentrasi kerja dan merusak kesehatan jiwa penduduk kota. Parahnya ialah kualitas pendengaran manusia kota sekarang menurun dibandingkan pada sepuluh tahun nan lalu.

Setiap hari mereka berdekatan dengan suasana nan bising menjadikan kualitas pendengarannya menjadi berkurang, bahkan terancam tuli. Yang jelas kesaksian seperti ini masih berlangsung sampai artikel ini ditayangkan. Hmmm ... apa enaknya hayati di kota?

Kesaksian tentang hilangnya rasa kondusif Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia merupakan salah satu contoh konkret di mana kesenjangan ekonomi penduduk kota sangat lebar. Di Jakarta, orang kaya itu bejibun ngumpul dalam satu komplek perumahan, atau hayati bersama dalam satu apartemen super mewah. Mereka tinggal di apartemen nan tinggi, menegaskan hidupnya itu beda dengan masyarakat nan kelas kere.

Kesenjangan ekonomi nan lebar menjadi orang kere ini menjadi tersisih dari perekonomian kota. Sulit mencari pekerjaan, sulit ngurus administrasi seperti KTP, KK dan surat agunan sosial. Lantaran eksistensi mereka tidak diakui oleh pemerintah kota. Mereka itu pendatang haram, laksana kasta Sudra.

Kesaksian masyarakat kere ini sungguh pedih menghadapi kecongkakan birokrasi dan sulitnya memperoleh haknya. Ekses dari kesenjangan ekonomi ialah timbulnya kriminal di mana-mana, baik itu dijalan, moda transportasi massal, maupun diperumahan. Kejahatan seperti copet, perampokan dan premanisme pemicunya ialah faktor ekonomi. Orang-orang nan tadinya tidak ada talenta jadi penjahat, mereka kepepet berbuat criminal sebab ketiadaan pekerjaan.

Kesaksian pilu dapat Anda lihat di penjara Cipinang dan Selemba. Di sana, berjejal-jelal orang nan bermasalah dengan hukum, kalau Anda Tanya niscaya faktor penyebabnya ialah kesulitan mencari uang halal, jadi jalan pintasnya terpaksa mengingkari hati nurani buat mencuri dan lain-lain. Pemerintah nan seharusnya menyediakan lapangan kerja buat penduduk kota kelas bawah dan pengangguran rupanya tidak banyak membantu.

Akhirnya, mereka mencari jalan ilegal nan bertentangan dengan kebiasaan sosial, dan kebiasaan hukum. Ini bukan semata-mata salah pelakunya akan tatapi cerminan tak becusnya negara mengurus pembangunan. Sungguh potrek kesaksian pahit di ibu kota.



Kesaksian - Macet Mencekik Pengguna Jalan

Inilah kesaksian dari para pelaju nan perjuangannya dimulai sejak keluar rumah buat pergi kerja. Potret stagnasi mencekik pengguna jalan setiap hari. Kesaksian bagi anak sekolah dan pegawai maupun orang lain nan selalu mobile dengan dijalan rasanya sudah akrab dengan kemacetan. Stagnasi menjadi masalah progesif di setiap kota besar. Artinya stagnasi kian tahun bukannya berkurang melainkan semakin parah.

Kemacetan ialah mimpi jelek bagi pelaku bisnis, macet menjadi sebuah kerugian sebab distribusi produknya tersendat. Kesaksian pilu ini juga dialami oleh anak sekolah nan setiap hari harus berangkat pagi pulang pun malam. Alih-alih jalannya tambah, malahan motor dan mobilnya nan kian padat menyamai penduduk kota. Salah satu faktor penyebab stagnasi nan menjadi potret kesaksian masyarakat kota adalah, mudahnya mendapatkan kredit kendaraan bermotor.

Sekarang, dengan kapital lima ratus ribu saja sudah dapat membawa pulang satu unit sepeda motor dari dealer. Sisanya, tinggal dibayar nyicil tiap bulan dengan nominal nan murah, mudah bukan? Bayangkan sekarang satu keluarga saja dapat memiliki empat motor. Belum lagi golongan orang kaya di rumahnya niscaya nongkrong lebih dari dua mobil digarasi.

Di sisi lain, capitalis industry sepeda motor dari Negeri Sakura berlomba-lomba menggenjot produksi motornya hingga mendekati angka dua juta unit per tahun. Gaya hayati seperti ini, nan membuat kesaksian bangkrutnya usaha transportasi massal seperti angkot, bus kota. Padahal, usaha transportasi massal semestinya nan harus digarap serius oleh pemerintah kota. Begitu banyaknya pemakai kendaraan pribadi, ialah kesaksian bagi global bahwa Indonesia itu negara nan paling boros di dunia.

Kendaraan bermotor bukanlah lagi barang fungsional, melainkan atribut sosial dan gengsi. Apakah Anda bagian dari itu? Silakan menilai sendiri. Banjir mengancamInilah bala klasik nan setiap tahun niscaya datang, yakni banjir. Terutama Jakarta, Surabaya, dan Semarang, ketiga kota ini akrab dengan banjir. Karena secara geografi kontur permukaan tanah Jakarta dan Semarang lebih rendah dengan permukaan laut. Jadi, banjir datang tidak mesti pada musim hujan saja. Ketika air bahari pasang, dipastikan air bahari menggenang di mana-mana.

Masalah banjir sulit diatasi sebab penataan kota modern, menyalahi pakem pembangunan. Banijr berdampak kualitas hayati masyarakat kota menjadi berkurang. Ancaman penyakit ketika banjir menjadi kesaksian tersendiri. Garis besarnya ialah nan dapat menyudahi kesaksian pilu ini hanyalah dari kolaborasi antara pemerintah dan penduduk kotanya saja.

Jadi, tidak usahlah datang ke kota kalau tidak punya kapital keterampilan nan mumpuni. Di sana, Anda hanya jadi subjek kesaksian permasalahan nan ada.