Peluru Berterbangan di Kent dan bukan di Vietnam

Peluru Berterbangan di Kent dan bukan di Vietnam

Mahasiswa ialah agen perubahan. Posisinya merupakan pilar krusial dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana tidak, mahasiswa nan dikenal sebagai kelas menengah tentu kehadirannya menjadi asa bagi rakyat nan selama ini tertindas.

Mahasiswalah nan menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat. Hal inilah nan kemudian menjadikan mahasiswa dihadapkan oleh suatu keputusan. Memilih berdiam diri atau bergerak melawan. Dalam bahasa Soe Hok Gie, nan dijuluki Sang Demontran, mahasiswa hanya punya dua pilihan; menjadi apatis atau memberikan kontribusi.



Kekecewaan Rakyat

Hingga hari ini, mahasiswa memang terus bergerak memperjuangkan atas nama rakyat. Tapi, aksi-aksi ini pulalah nan kemudian menjadi semacam bumerang nan menyerang balik. Oleh sebab kurangnya etika dalam menyampaikan orasi sehingga akibat kerusuhan aksi nan mengatasnakaman perjuangan rakyat itu sendiri nan membebani rakyat juga.

Maka tidak heran, jika rakyat kemudian malah mengecam sang pembelanya itu sendiri. Kondisi ini cukup miris, sebab mahasiswa kemudian tak lagi mendapatkan dukungan dari rakyat. Aksi-aksi hanya menjadi pesanan nan bersifat politis, ekonomis, dan oportunis.

Selayaknyalah, mahasiswa hari ini kembali belajar, bahwa demo mahasiswa ialah gerakan teakhir ketika keran-keran obrolan dengan pemerintah sudah sama sekali tertutup dan musthil terbuka kembali.

Meski demikian, aksi harus tetap menjaga etika dan memegang teguh nilai-nilai manajemen aksi. Manajemen aksi dapat meminimalisir hal-hal nan sama sekali tak kita inginkan. Baik itu nan berakibat pada peserta aksi sendiri, dan lingkungan sekitar lokasi aksi itu sendiri. Kerusuhan sewaktu-saktu saja terjadi, namun aksi tetap harus terkendali.



Demo Mahasiswa Terkenal

Dua bentuk demo mahasiswa menjadi bagian dari sejarah nan membuka sejarah dunia. Pertama ialah tragedi Universitas Kent, dan kedua ialah tragedi Tiananmen. Pembantaian Tiananmen Square ialah respon terhadap protes di Republik Rakyat China (RRC) pada tahun 1989. Juga dikenal sebagai Insiden Juni Keempat, terjadi ketika beberapa gelombang protes di seluruh negeri RRC memprotes demokrasi di China.

Diperdebatkan mengenai caara meredakan situasi apakah melalui diskusi dst, tetapi akhirnya diputuskan buat menekan secara militer. Estimasi berapa banyak mahasiswa tewas berkisar dari ratusan hingga ribuan. Hal ini menyebabkan kritik massa dan hukuman di seluruh dunia, dan telah tetap menjadi topik nan kontroversial ke abad ke-21.

Dorongan awal buat mahasiswa nan datang bersama-sama ialah kematian Hu Yaobang, nan pernah menjadi Sekretaris Jenderal Partai Partai Komunis China (PKC), tetapi dipaksa buat mengundurkan diri pada tahun 1987 setelah protes beberapa. Hu dianggap oleh banyak orang sebagai pembaharu, dan banyak kebijakan nan berlaku saat dia di kantor memiliki imbas pemerintah lebih transparan dan menghapus beberapa kontrol pemerintah dari ekonomi.

Ketika Hu meninggal pada April 1989, ribuan orang datang ke pemakamannya. Hal ini membuat beberapa pejabat sangat tak nyaman, sebab ia secara resmi dipermalukan ketika ia meninggal. Partai mengadakan peringatan publik tidak lama setelah itu, di mana lebih dari 50.000 orang menghadirinya.

Para pelayat semakin banyak datang ke Beijing, kelompok-kelompok kecil orang mulai bentrok dengan polisi. Orang-orang mulai merasa sangat marah dengan respon pemerintah pada kematian Hu serta lama nya pemerintah mersepon keluhan, dan lalu mereka memulai membentuk perkumpulan pekerja dan komite buat menjadi badan baru memprotes.

Meskipun demikian, sebagian besar pengunjuk rasa tak ingin menggulingkan pemerintah atau partai, meskipun mereka memang ingin reformasi nan serius. Hal ini mulai berubah ketika sebuah editorial media nan diterbitkan pada tanggal 26 April nan isinya mesarankan pemerintah mengambil garis keras dengan para pengunjuk rasa. Banyak orang lebih bergabung dengan protes, dan kekerasan mulai meningkat, sehingga akhirnya muncullah tragedi Tianamen.



Peluru Berterbangan di Kent dan bukan di Vietnam

Pada tanggal 4 Mei 1970, tiga belas voli salto tembakan mengakhiri kehidupan empat mahasiswa Universitas Negeri Kent dan melukai sembilan orang lainnya. Peristiwa tragis menjadi hanya dikenal sebagai "Kent State" atau Penembakan 4 Mei. Beberapa sejarawan budaya populer mempertimbangkan peristiwa dan setelah Kent State sebagai kematian figuratif dari gerakan kontra-budaya tahun 1960-an.

Penembakan Kent State tentu memiliki imbas membekukan oposisi domestik terhadap Perang Vietnam. Bagi beberapa orang, Kent State menjadi seruan melawan penindasan pemerintah, sementara nan lain melihatnya sebagai upaya buat membangun kembali rasa hukum dan ketertiban. Kedua pendapat berjalan beriringan, sulit menentukan mana nan benar.

Pada tahun 1968, Richard Nixon terpilih sebagai presiden sebagian didasarkan pada janji kampanye buat mengakhiri perang di Vietnam secepat mungkin. Nixon tak hanya gagal buat mengurangi jumlah tentara di Vietnam, tetapi juga malah menyetujui planning misteri buat menyerang negara-negara tetangga seperti Kamboja dan Laos. Ketika warta perluasan perang misteri ini terkuak dan mencapai Amerika Serikat, sejumlah protes pecah di kampus-kampus, termasuk Kent State University di kota kecil Kent, Ohio.

Sekelompok mahasiswa di Kent State, dibantu oleh LSM penyelenggara protes, memutuskan buat mengadakan demonstrasi menentang pencaplokan Kamboja selama akhir pekan panjang dari 1 sampai 4 Mei. Rencananya ialah buat mengadakan unjuk rasa siang pada tanggal 4 Mei di dekat Blanket Hill, hamparan luas ruang hijau antara pusat mahasiswa dan bangunan kampus lainnya.

Kedatangan Garda Nasional, nan sudah berurusan dengan pemogokan perkumpulan membuat tegang, menandai awal dari serangkaian kesalahpahaman tragis. Tentara nan awalnya diperintahkan buat mengembalikan ketertiban malah membuat situasi menjadi rumit.

Dan diperburuk dengan adanya juga rumor peserta protest nan mlitan, seperti Weather Underground. aAgen penyamaran FBI juga melaporkan kehadiran Mahasiswa buat Masyarakat Demokratis (SDS) dan International Youth Party (YIP), atau Yippies, nan syahdan sosialis komunis, sehingga pihak pemeritah nan paranoid pada komunis kehilangan kendali lapangan. Kedua aksi mahasiswa tersebut pembuka gerbang bagi aksi lain mahasiswa nan lebih terkendali dan sukses. Termasuk aksi reformasi di Indonesia.



Manajemen Aksi

Manajemen aksi ialah tata cara dan hal-hal nan perlu diperhatikan ketika para mahasiswa hendak melakukan demonstrasi. Baik sebelum, saat aksi, dan sesudah aksi dilakukan. Tidak boleh sembarangan, sehingga hal-hal nan tak diharapkan tak akan terjadi. Secara umum, ada beberapa hal nan perlu diperhatikan ketika kita hendak melakukan aksi massa atau demo mahasiswa. Di antaranya adalah:



• Pra Aksi

Ada dua hal nan perlu diperhatikan sebeluk aksi berlangsung. Ini merupakan bentuk persiapan nan sifatnya substansi dan teknis. Ada pun nan sifatnyta subtansi meliputi:

- Sasaran aksi
- Isu nan diangkat

Sementara buat hal teknis harus diperhatikan beberapa hal berikut:

- Penentuan rute aksi
- Susunan dan tugas perangkat aksi
- Persiapan logistik
- Koordinasi
- Absensi



• Saat Aksi Berlangsung

Untuk menghindari provokasi dan komunikasi nan tak jelas sehingga berpotensi menimbulkan kerusuhan, ada baiknya saat aksi berlangsung, para mahasiswa melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:

- Briefing
- Orasi pembukaan
- Mulai bergerak
- Solusi blokade aparat
- Menangani provokasi
- Teknik bernegosiasi
- Menjaga padu semangat
- Tindakan prefentif jika terjadi bentrok



• Pasca Aksi

Biasanya setelah aksi berlangsung, ada beberapa hal nan juga perlu diperhatikan. Hal ini krusial dilakukan agar aksi nan akan datang akan lebih baik.

- Evaluasi
- Tindakan medis
- Tindak Advokasi

Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.