Gempa di Padang - Jepang sebagai Percontohan Pelatihan Gempa dan Early Warning System

Gempa di Padang - Jepang sebagai Percontohan Pelatihan Gempa dan Early Warning System

Masih segar dalam ingatan kita ketika gempa mengguncang daerah Sumatera pada tanggal 30 September 2009. Padang terguncang hebat. Banyak bangunan dan prasarana publik hancur, sementara korban jiwa mencapai angka 6.000an. Sungguh suatu bala besar nan mengakibatkan kerugian jiwa dan materi nan tak sedikit. Banyak orang nan tak menyangka ketika goncangan gempa di Padang ini terjadi.

Ketika gempa datang, banyak orang panik, berhamburan, dan berlari ke segala arah. Sehingga banyak barang berharga nan tidak sempat diselamatkan. Hal ini tak akan terjadi apabila Indonesia mempunyai sistem peringatan dini nan baik, sehingga setiap orang sudah terlatih menghadapi gempa

Sumatera Barat merupakan daerah nan rawan gempa. Tak jauh berselang dari gempa pada bulan September 2009, Sumatera beberapa kali mengalami gempa nan cukup besar. Oleh sebab itu, sudah sepantasnyalah masyarakat Indonesia mendapatkan pelatihan cara menghadapi gempa.

Selain itu, melakukan pemugaran sistem peringatan dini juga merupakan hal nan penting, sehingga masyarakat dapat lebih siap menghadapi segala macam kemungkinan nan terjadi pada saat gempa.



Penyebab Gempa di Padang

Gempa bumi ialah getaran atau guncangan nan terjadi di permukaan bumi dampak divestasi energi dari dalam secara tiba-tiba nan menciptakan gelombang seismik. Penyebab Gempa Bumi terjadi yaitu sebab adanya konvoi kerak Bumi (lempeng Bumi). Kemudian, frekuensi gempa suatu wilayah, mengacu pada jenis dan ukuran gempa Bumi nan dialami selama periode waktu tertentu.

Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari divestasi energi nan dihasilkan oleh tekanan nan disebabkan oleh lempengan nan bergerak. Semakin lama tekanan itu akan semakin membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tak bisa ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi. Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan-lempengan tersebut.

Sementara gempa di Padang merupakan gempa tektonik nan berasal dari pergeseran patahan Semangko. Provinsi Sumatera Barat berada di antara rendezvous dua lempeng benua besar (lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia) dan patahan (sesar) Semangko. Di dekat rendezvous lempeng terdapat patahan Mentawai. Ketiganya merupakan daerah seismik aktif.

Menurut catatan pakar gempa wilayah Sumatera Barat memiliki siklus 200 tahunan gempa besar nan pada awal abad ke-21 telah memasuki masa berulangnya siklus. Gempa di Padang terjadi dengan kekuatan 7,6 Skala Richter di lepas pantai Sumatera Barat sekitar 50 km barat bahari Kota Padang pada pukul 17:16:10 WIB tanggal 30 September 2009.

Gempa di Padang ini menyebabkan kerusakan parah di beberapa wilayah di Sumatera Barat seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Sebanyak 6.234 orang tewas dampak gempa di Padang ini, sebanyak 135.448 rumah rusak berat dan juga berbagai bangunan krusial lainnya.



Gempa di Padang - Minimnya Pelatihan Menghadapi Gempa dan Early Warning System

Ketika gempa di Padang terjadi, masyarakat Padang mengalami kepanikan. Betapa tidak, goncangan nan hebat secara tiba-tiba menggoncang Padang ketika sore menjelang malam. Dengan kegelapan senja, tentu tak mudah buat mengkordinir apa nan harus dilakukan pertama kali. Walhasil, banyak jiwa melayang. Banyak mal nan tidak terselamatkan.

Mungkin saja hal ini bisa diminimalisir apabila sebelumnya masyarakat di Padang sudah menerima pelatihan menghadapi gempa. Masih banyak nan tak tahu, apa saja nan harus dilakukan ketika gempa datang. Informasi nan minim mengenai tata cara menghadapi gempa menjadi penyebab primer lainnya nan menyebabkan banyak korban jiwa melayang dan mal tidak terselamatkan.

Padahal, bagi Indonesia nan memang rentan mengalami bala nan satu ini, sebuah pelatihan nan menyeluruh terhadap masyarakat tentang bagaimana menghadapi gempa sudah sewajarnya diberikan.

Pelatihan ini tidak hanya di instansi-instansi pemerintahan, namun menyelimuti seluruh elemen masyarakat. Karena gempa datang secara tiba-tiba, tidak memandang sedang berada dimana kita. Pelatihan juga harus diadakan di sekolah-sekolah dan rumah sakit, sehingga ketika ada gempa mereka sudah tahu bagaimana menghadapinya, bagaimana jalur pengungsian dan hal-hal nan harus dilakukan ketika gempa datang.

Tak cukup hanya itu, pelatihan pun harus dilaksanakan secara rutin, sehingga informasi nan didapatkan selama pelatihan akan terus diingat, sehingga kelak ketika ada gempa terjadi mereka sudah terbiasa menghadapi tahapan-tahapan dalam menghadapinya.

Memang selama ini kita sudah mendengar berbagai sekolah sudah sering melakukan simulasi gempa. Namun, secara intensitas dirasa masih kurang. Memang mungkin intensitas gempa di Indonesia belum sesering di Jepang, namun kita patut mencontoh Jepang nan memasukkan pelajaran menghadapi gempa ke dalam kurikulum sekolahnya.

Ketika gempa di Padang terjadi dan alarm peringatan tsunami berbunyi, sontak masyarakat di Padang bergegas ke daerah nan lebih tinggi dengan memakai kendaraannya masing-masing. Ini tentu saja mengakibatkan stagnasi nan sangat panjang. Padahal, berbagai gedung tinggi sudah dipersiapkan sebagai loka pengungsian jika tsunami datang. Hal seperti ini sporadis di ketahui oleh publik. Mereka hanya tahu bahwa apabila ada peringatan tsunami, mereka harus mengevakuasi ke daerah nan lebih tinggi nan berupa perbukitan.

Lemahnya informasi publik ini sangat terasa ketika gempa di Padang ini terjadi. Seandainya ada komando atau orang-orang nan memang ditugaskan buat mengkordinir arah evakuasi, tentu kesemrawutan pengungsian tak akan terjadi.

Jadi, harus bagaimanakah kita ketika gempa itu datang? Mungkin kita harus mencontoh Jepang, nan memang sudah jauh lebih siap dalam menghadapi gempa.



Gempa di Padang - Jepang sebagai Percontohan Pelatihan Gempa dan Early Warning System

Semua orang tahu, soal peringatan dini bencana, Jepang memang belum tertandingi. Tapi toh Negeri Sakura terpukul dengan musibah gempa dan tsunami 11 Maret 2012. Sebanyak 20.000 orang tewas, Jepang menghadapi krisis nuklir terparah sejak bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Namun, seandainya bukan di Jepang, buat bala sedahsyat itu, jumlah nan tewas dapat berkali lipat lebih banyak.

Rahasia Jepang menyelamatkan ribuan nyawa ada pada peringatan dini. Di Tokyo, tayangan siaran langsung dari gedung parlemen tiba-tiba berganti menjadi siaran peringatan dini, bahwa gempa akan segera datang.

Pemerintah Jepang mengirimkan peringatan tsunami tiga menit setelah gempa terjadi 11 Maret 2011 lalu. Sedangkan ketika gempa di Padang, alarm peringatan tsunami berbunyi 30 menit setelah gempa itu terjadi. Bayangkan betapa banyaknya nan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 30 menit itu.

Jepang menginvestasikan uangnya buat membangun lebih dari empat ribu alat pengukur seismik nan tersebar di seluruh negeri. Juga membangun benteng beton tebal nan memagari wilayah pesisir.
Dan nan tidak kalah penting, masyarakat Jepang tahu persis apa nan harus mereka lakukan saat bala terjadi.

Pelatihan bala dilakukan secara serius. Setiap tanggal 1 September mereka rutin melakukan simulasi bala dan semua orang, termasuk perdana menteri Jepang mengikuti simulasi tersebut. Tanggal 1 September dipilih buat mengingatkan masyarakat Jepang atas Gempa dahsyat di Kanto pada tanggal nan sama pada tahun 1923 nan menewaskan 140.000 orang.

Juga di Jepang, pelatihan spesifik juga diberikan kepada pemerintah daerah atau pemerintah lokal agar mereka terlatih dalam menghadapi bencana, sehingga bisa mengumumkan bala dan melakukan pengungsian dalam kurun waktu nan nisbi cepat. Tak hanya itu, mereka pun terlatih buat bisa mendistribusikan makanan ke tempat-tempat penampungan secara cepat sehingga segala akibat bala bisa terminimalisirkan.

Masyarakat Jepang juga sudah terlatih dalam menghadapi gempa, sehingga ketika gempa itu terjadi, mereka harus melindungi kepala dengan meja nan kuat, agar tak kejatuhan benda-benda keras. Dan di saat nan bersamaan juga mereka mematikan genre gas agar tak terjadi ledakan sebab bocornya genre gas di rumah.

Tak hanya itu, buat mengurangi resiko tertimbun reruntuhan nan mungkin saja terjadi, mereka menjaga agar pintu rumahnya tetap terbuka selama terjadinya gempa agar dapat keluar dalam waktu sekejap buat menyelamatkan diri.

Sistem peringatan gempa juga dimiliki oleh masyarakat Jepang dalam perangkat elektroniknya, seperti telepon genggam, sehingga setiap akan terjadi gempa, mereka akan mengetahuinya terlebih dahulu. Tak hanya itu, di tiap sekolah di Jepang, disediakan pelindung kepala tahan barah buat masing-masing anak di bawah meja belajarnya, agar segala kemungkinan terburuk apabila terjadi gempa bisa terminimalisirkan.

Juga setiap sekolah mempunyai simulator gempa nan canggih nan memungkinkan setiap anak menjadi terbiasa dan terlatih menghadapi bala gempa nan seringkali terjadi tiba-tiba.

Melihat berbagai tindakan nan Jepang lakukan dalam mengantisipasi gempa, sudah sepantasnyalah kita mengadaptasi tindakan nan sama, agar hal-hal nan terjadi seperti pada saat gempa di Padang dan juga gempa di tempat-tempat lain tak akan terjadi lagi.