Ancaman Anak Gunung Krakatau Meletus

Ancaman Anak Gunung Krakatau Meletus

Gunung Krakatau meletus? Pernahkah Anda bayangkan jika gunung berapi aktif nan berada di Selat Sunda itu meletus secara tiba-tiba dan meluluhlantakkan segalanya? Mudah-mudahan tak terjadi sebab nan sekarang berdiri di Selat Sunda tersebut bukan Gunung Krakatau, melainkan Anak Gunung Krakatau.

Lantas, apakah sahih bahwa induk Gunung Krakatau sebelumnya pernah memporak-porandakan sebagian barat tanah Pasundan dan menggemparkan suara letusan dahsyat di beberapa negara barat dan Australia? Selain itu, apa sahih dahsyatnya Gunung Krakatau meletus menyebabkan perubahan iklim di global ini? Untuk lebih jelasnya simak ulasan berikut.

Gunung Krakatau Meletus dan Efeknya bagi Dunia

Gunung berapi nan berada di tengah lautan, yaitu nan berada antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatra (Selat Sunda) pernah mengalami sebuah letusan nan dapat dibilang dahsyat, bahkan sangat mengerikan dan memprihatinkan. Letusan gunung berapi aktif tersebut terjadi pada 26-27 Agustus 1883, yaitu pada saat negara kita ini masih dijajah oleh bangsa Belanda.

Letusan dahsyat itu mengeluarkan awan nan sangat panas atau istilah zaman sekarang nan disebut dengan 'wedos gembel' seperti nan dimuntahkan Gunung Merapi di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Tidak hanya awan panas saja, Gunung Krakatau terlihat sangat mengamuk.

Gunung nan berdiri tegak di Selat Sunda tersebut juga menyebabkan Badai Tsunami nan menggelorakan isi bahari sehingga bergerak ke daratan dan meluluhlantakan semua nan dilaluinya. Bahkan, Tsunami tersebut diperkirakan sebagai bala Tsunami terbesar nan pernah ada, sebelum terjadinya Tsunami di Aceh pada tahun 2004 silam.

Akibat letusan mengerikan tersebut, sekitar 36.000 jiwa melayang. Sebuah bala nan amat sangat menakutkan. Bahkan, bunyi letusan tersebut terdengar sampai ke Alice Springs, Australia, dan Pulau Rodrignes dekat Afrika. Bunyi ledakannya sendiri berjarak sekitar 4.653 km. Dengan daya ledak sekitar 30.000x lebih dahsyat dari ledakan bom atom nan terjadi di Kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang.

Tidak cukup sampai di situ saja, hamburan material nan berupa debu juga sampai ke negara-negara Eropa dan Amerika. Hamburan debu tersebut terlihat menyeruak di atas langit negara Norwegia, juga sampai ke kota metropolis dunia, yaitu New York City di Amerika Serikat. Benar-benar bala menakutkan dan mengerikan nan pernah terjadi pada masa penjajahan Belanda itu.

Coba Anda bayangkan, jika hal tersebut terjadi di zaman sekarang. Mungkin Kota Jakarta, Banten, Lampung, dan sekitarnya dapat merata dengan tanah. Selain itu, dampak Gunung Krakatau meletus menyebabkan terjadinya perubahan iklim di dunia. Wajah langit global sempat dibuat gelap dalam 2,5 hari sebab debu vulkanis nan dihasilkan dari letusan Krakatau menutupi atmosfer bumi.

Selain itu, matahari pun mengalami keredupan 1 tahun setelahnya. Mengenaskan, bukan? Untungnya bala tersebut terjadi di saat zaman belum rancu balau seperti sekarang ini. Memang bala letusan tersebut terjadi di saat populasi manusia dan teknologi sedang dalam perkembangan nan pesat-pesatnya. Namun, ilmu Geologi sendiri pada kurun waktu itu belum canggih dan akurat. Bahkan, para pakar pada saat itu pun tak sebegitu tahu dan paham, apa penyebab gunung Krakatau meletus.

Seandainya bala itu mencuat pada zaman sekarang ini, mungkin dampaknya akan sangat-sangat fatal. Global benar-benar wafat total dalam beberapa hari. Penerbangan internasional ditutup, jaringan telekomunikasi putus, dan hal-hal nan tidak bisa kita bayangkan akan terjadi. Mudah-mudahan saja bala mengerikan dan memilukan itu tak terjadi di tahun-tahun sekarang atau pun masa depan. Amin.

Berkaca dari bala Gunung Krakatau nan meletus tersebut, para ilmuwan ada nan berpendapat bahwa letusan Gunung Krakatau itu tak setragis dan sebesar seperti apa nan terjadi pada letusan Gunung Toba dan gunung Tambora di daratan Sumatra nan mengakibatkan terbentuknya danau terluas di Indonesia.



Sejarah Letusan Gunung Krakatau pada Masa Purba

Sebelum Gunung Krakatau nan meletus dahsyat di tahun 1883 silam, Indonesia sudah memiliki gunung induk atau Gunung Krakatau purbakala. Para pakar ilmu Geologi memperkirakan bahwa di Selat Sunda terdapat gunung purba berukuran besar. Kemudian, gunung purba itu meledak dan menyisakan kaldera, yaitu kaldera nan luas sekali.

Kemudian, dari kawah tersebut muncullah Gunung Krakatau. Penelitian tersebut juga perkuat dengan ditemukannya naskah antik Jawa nan memiliki makna kurang lebih, antara lain sebagai berikut.

"Ada suara guntur nan menggelegar dari gunung Batuwara, ada juga goncangan bumi nan menakutkan, kegelapan total terjadi, petir, dan kilat. Kemudian, datanglah badai angin dan hujan nan mengerikan dan segenap badai menggelapkan seluruh dunia. Banjir bandang datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula--ketika air menenggelamkan, Pulau Jawa terpisah menjadi dua bagian, membentuk Pulau Sumatra . . . "

Adapun nan dimaksud Gunung Batuwara dalam naskah antik tersebut ialah Gunung Krakatau pada masa purba nan merupakan induk dari gunung Krakatau nan akhirnya meletus pada tahun 1883. Selain itu, menurut ahli Geologi asing nan bernama Berend George Escher. Ia mengatakan bahwa Gunung Krakatau Purba memiliki tinggi sekitar 2000 meter di atas permukaan laut, dengan lebar lingkar pantainya sekitar 11 km.

Mengapa demikian? Letusan dahsyat Gunung Krakatau Purba tersebut 3/4 badan gunung hancur dan menyisakan kaldera. Kemudian, kawah atau kaldera besar itu terbentuklah sebuah pulau, yaitu Pulau Rakata. Seiring perjalanan waktu, muncullah dua gunung barah dari tengah kaldera Pulau Rakata, yaitu Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan.

Kemudian dua gunung tersebut dan kaldera Pulau Rakata menyatu dan terbentuklah Gunung Krakatau. Dengan kata lain, Krakatau terbentuk oleh tiga gunung barah sekaligus. Untuk itu, tak heran apabila ledakannya memporakporandakan daratan, laut, dan udara. Diperkirakan pula bahwa akibat mengerikan dari meletusnya Gunung Krakatau Purba tersebut menghancurkan beberapa peradaban di global pada zamannya.

Selain itu, diperkirakan pula bahwa masa kejayaan Kerajaan Persia berakhir pada masa itu. Juga kerajaan Arabia Selatan, peradaban Nazca di Amerika Selatan, dan kerajaan besar Maya. Berdasarkan penelitian nan lebih lanjut, Gunung Krakatau Purba tersebut meletus dalam waktu 10 hari dan memuntahkan massa material dengan kecepatan 1 juta ton perdetik sehingga mampu memperisai atau menutupi lapisan atmosfer setebal 20-150 meter.

Selain itu, letusannya mampu menurunkan temperatur Bumi sebesar 5-10 Derajat Celcius selama 10-20 tahun. Namun semua itu hanya hasil analisa dan penelitian semata. Belum tentu kebenarannya seperti itu. Dapat saja Gunung Krakatau Purba ukurannya lebih besar atau lebih kecil dari perkiraan.

Namun nan jelas itu sudah menjadi misteri Tuhan dan misteri alam. Kalau pun ada penelitian, tak menjamin kebenarannya seratus persen. Apalagi itu terjadi pada zaman purba beratus-ratus tahun nan lampau.



Ancaman Anak Gunung Krakatau Meletus

Diperkirakan anak Gunung Krakatau meletus? Sungguh mengerikan apabila itu terjadi! Apa jadinya hal itu benar-benar nyata. Bagaimana dengan nasib Pulau Ujung Kulon, Banten, dan Jakarta seandainya peristiwa itu terulang lagi? Mengingat Gunung Anak Krakatau masih sangat aktif dan sesekali mengeluarkan material kecil dari dalam gundukan magmanya.

Berdasarkan masa tenggang letusan gunung berapi aktif itu, para pakar ada nan memperkirakan bahwa Anak Gunung Krakatau nan sekarang akan meletupkan materialnya kembali pada kurun waktu 2015-2083. Namun estimasi tinggallah perkiraan. Mengapa demikian? Segala sesuatunya Tuhan Yang Maha Esa nan tahu. Kita hanya dapat berdoa semoga Krakatau tak lagi mengelamkan wajah dunia.