Etos Kerja dan Struktur Kuasa

Etos Kerja dan Struktur Kuasa

Banyak orang nan beranggapan salah tentang etos kerja. Mereka konfiden bahwa nasib seseorang sangat ditentukan oleh adanya faktor ini. Memang dia menjadi salah satu aspek krusial dalam hasil karya seseorang, tetapi bukan menjadi satu-satunya karena nan sangat menentukan taraf kesejahteraan seseorang.

Etos kerja terlalu sering dipersalahkan sebagai penyebab dari suatu hasil kerja nan jelek atau tak maksimal. Dalam beberapa kasus, anggapan ini mungkin dapat dibenarkan, tetapi tak selalu sepenuhnya demikian. Hasil kerja buruk, tak berkualitas, dan tak maksimal, dapat diakibatkan dari kesengajaan dengan maksud buat mendapat laba tertentu.



Etos Kerja dan Layanan Birokrat

Bukan misteri lagi, banyak warga masyarakat nan belakangan ini mengeluhkan pandangan hidup kerja birokrat dalam memberikan pelayanan publik. Keluhan ini terkait dengan pelayanan nan lamban dan bertele-tele, mekanisme birokrasi nan berbelit-belit, hingga pungutan tak resmi nan sering terjadi.

Jalan pintasnya ialah membayar sejumlah uang menjadi satu-satunya cara masyarakat buat dapat mendapat pelayanan nan cepat dan tanpa melalui mekanisme nan berbelit-belit. Beberapa sosiolog menampik alasan pandangan hidup kerja birokrasi sebagai penghambat dalam memberikan pelayanan nan baik kepada masyarakat.

Mengapa demikian? Persoalan tersebut lebih terletak pada mindset sementara birokrat nan menjadikan jabatan sebagai perpanjangan tangan alat produksi. Sebagai alat produksi, jabatan harus menghasilkan uang. Untuk bisa menghasilkan uang, setiap pelayanan publik harus dibuat berbelit-belit dan lama.

Apabila ingin keluar dari problem itu dan dapat mendapat keistimewaan, disediakan jalan pintas. Namun tak gratis, masyarakat harus membayar sejumlah uang. Uang tersebut tak akan masuk kas Negara,tetapi masuk dalam kantong pribadi birokrat nan bersangkutan. Dalam konsep akuntabilitas dan transparansi public, kualitas pelayanan publik ialah indikator atau ukuran terjadinya korupsi pada birokrasi.

Semakin baik kualitas layanan publik nan diberikan, semakin kecil terjadinya tindakan korupsi pada birokrasi. Begitu pula sebaliknya, semakin jelek kualitas layanan publik, semakin besar terjadinya tindakan korupsi pada birokrasi. Jadi, buruknya kualitas layanan publik, bukan semata urusan pandangan hidup kerja. Namun lebih parah lagi ialah mindset jelek nan jadi cara pandang birokrat dalam memberikan layanan publik.

Menyederhanakan persoalan ini sebagai lemahnya pandangan hidup kerja, sama artinya dengan menyederhanakan masalah menjadi personal. Padahal persoalan ini bukanlah persoalan tentang kapasitas personal, tetapi suatu tindakan curang nan terlembagakan.

Hal ini termasuk persoalan kecurangan nan terlembaga maka solusinya bukan pada pelatihan tentang tatacara pemberian pelayanan publik nan baik atau pendidikan nan dimaksudkan buat meningkatkan kapasitas dari masing-masing birokrat.

Mereka sudah tahu dan menyadari persoalan itu, bahkan mereka sebenarnya juga memiliki kemampuan itu. Namun nan menjadi persoalan ialah sebab mereka tak mau melakukannya. Mereka tak mau memberikan layanan publik nan cepat atau berkualitas baik, sebab itu akan mengurangi pendapatannya.



Etos Kerja dan Kesejahteraan

Banyak nan setuju bahwa kemiskinan seseorang disebabkan oleh orang nan malas bekerja dan memiliki pandangan hidup kerja nan rendah. Mungkin anggapan ini benar, tetapi mungkin saja tak selalu benar. Mari kita lihat petani, dari matahari terbit hingga matahari terbenam, dia bekerja membanting tulang, tetapi masih saja miskin.

Begitu juga dengan buruh, nan setiap harinya bekerja memeras tenaganya minimal delapan jam, namun tetap tak kaya. Begitu juga dengan pembantu rumah tangga, nan praktis bekerja hampir 24 jam sehari, mereka tak juga menjadi sejahtera. Nah, masih pantaskah mereka-mereka itu kita sebut sebagai pemalas nan memiliki etos kerja rendah?

Problem kemiskinan ialah problem struktural, bukan sekadar problem kultural apalagi personal. Kemiskinan terjadi sebab adanya sistem nan tak berpihak pada orang-orang lemah, tetapi justru mendukung mereka nan kuat.

Petani dibuat bertekuk lutut pada kemauan pedagang ketika akan menjual hasil panennya. Dia harus menerima harga nan ditawarkan pedagang, dari pada membiarkan hasil panennya membusuk. Padahal petani memiliki banyak risiko nan harus ditanggung selama berproduksi, mulai dari hama hingga cuaca nan tak menentu.

Selain itu, petani juga harus membeli bibit, pupuk, dan obat-obatan pertanian, nan harganya sudah ditentukan oleh pedagang. Setelah kerja membanting tulang berbulan-bulan, adakalanya petani malah merugi sebab gagal panen atau harga jatuh. Untuk kasus gagal panen sebab iklim, sebenarnya dapat dihindari jika ada hegemoni dari pihak nan peduli, baik dalam bentuk pengetahuan maupun rekayasa cuaca.

Tanpa adanya sistem nan mampu mengamankan posisi mereka, lambat laun petani-petani akan semakin dalam terjatuh dalam jurang kemiskinan. Adapun persoalan mengenai harga jual hasil produksi panen nan jatuh dapat disebabkan oleh faktor subyektif dan obyektif.

Faktor obyektif akan sinkron dengan situasi nan berhubungan dengan teori supply dan demand. Sementara itu, faktor subyektif dapat disebabkan pada waktu itu petani tak memiliki uang dan memerlukan uang dengan segera atau dapat juga sebab terjebak sistem ijon.

Bagaimana dengan nasib buruh? Setali tiga uang dengan petani. Prinsip ekonomi nan berlaku ialah berusaha dengan pengorbanan sedikit buat mendapatkan laba nan sebesar-besarnya. Prinsip ini dengan sendirinya telah memperkenalkan konsep efisiensi pada proses produksi. Upah buruh masuk dalam komponen ini.

Upah buruh, harga bahan baku, dan biaya investasi ialah komponen produksi nan harus mendapat efisiensi. Semakin rendah biaya produksi, maka akan semakin efisien juga biaya produksi tersebut. Adapun semakin efisien biaya produksi semakin memperbesar potensi buat mendapat keuntungan.

Demi mendapatkan efisiensi ini maka semua biaya produksi harus ditekan, termasuk upah buruh. Kebijakan pengupahan ini, terkadang sedemikian tak manusiawinya. Secara umum, seorang buruh diupah dengan besaran upah nan hanya dapat digunakan buat bertahan hayati pada hari ini saja.

Mereka harus dapat bertahan hayati secukupnya hari ini agar besok masih dapat dipekerjakan lagi. Sama seperti kuda beban, nan diberi makan agar dapat kuat buat menarik gerobag. Namun buruh ialah seorang manusia, nan kebutuhannya tak sama dengan seekor kuda. Bahkan, adakalanya buruh diupah dengan gaji di bawah baku Kebutuhan Hayati Layak (KHL).

Tentu saja upah dibawah baku itu akan membuat kehidupan buruh juga semakin tak layak. Persoalannya, mengapa buruh mau menerima upah rendah buat kerja nan nisbi keras itu? Mereka terpaksa menerima itu, sebab mereka tak memiliki pilihan lain buat bisa tetap mempertahankan hidupnya.

Sistem sosial nan berlaku di masyarakatlah nan sebenarnya telah memberikan kontribusi besar bagi lestarinya kemiskinan nan seperti ini. Sistem masyarakat ini tak berpihak pada nan lemah sehingga ketika petani terbelit masalah keuangan dengan sangat terpaksa menjual hasil panennya dengan harga murah.

Demikian pula halnya dengan buruh, nan terpaksa menjual tenaganya dengan harga murah demi mempertahankan hidupnya. Secara struktural, mereka ialah orang-orang nan ditepikan sebab hanya mempunyai sedikit pilihan dalam hidupnya.



Etos Kerja dan Struktur Kuasa

Struktur kuasa lebih menentukan seseorang dalam mencapai taraf kesejahteraan nan lebih tinggi, bukan etos kerja. Dalam situasi terjepit, orang-orang nan memiliki pandangan hidup kerja tinggi terpaksa bersedia menjalankan suatu pekerjaan dengan imbalan nan kurang layak, demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sementara, pemegang struktur kuasa nan menemukan orang-orang seperti ini, dapat dengan mudah menimbun harta tanpa perlu bekerja keras. Pemegang struktur kuasa ini selanjutnya menyebut diri mereka sebagai pekerja cerdas, bukan pekerja keras. Mereka nan sebab kekuasaan nan dimilikinya, dapat mengatur berapa imbalan nan harus diterima oleh orang-orang nan bekerja padanya.

Dengan sinis mereka akan menyarankan buat "take it or leave it", kepada seseorang nan keberatan menerima pekerjaan itu sebab imbalannya nan kurang memuaskan. Jika orang ini memiliki pilihan lain, tentu saja akan menerimanya. Namun apabila tak memiliki pilihan lain dan ini menjadi satu-satunya kesempatan baginya, terpaksa diterimanya juga.

Perkembangan zaman nan diikuti pula dengan pertambahan jumlah penduduk, mengakibatkan persaingan buat mendapatkan pekerjaan jadi semakin ketat. Situasi akan makin memperbanyak jumlah orang-orang malang nan tak punya pilihan ini. Ini berarti struktur masyarakat akan selalu mengarah pada penguatan golongan masyarakat nan sudah kuat dan terjadi pelemahan pada golongan masyarakat nan sudah lemah.

Mungkin sahih kata pepatah bahwa nan bekerja paling keras ialah nan paling miskin. Hal itu tak ada hubungannya dengan pandangan hidup kerja. Semoga bermanfaat.