Lomba Cerpen - Rona Lokal

Lomba Cerpen - Rona Lokal

Mengikuti lomba cerpen memang terbilang gampang-gampang susah. Dikatakan gampang sebab dalam lomba cerpen , kita bisa mengekspresikan khayalan dengan leluasa. Dikatakan susah sebab tidak semua orang bisa membuat sebuah karya, khususnya cerpen nan cukup layak dilombakan. Seorang nan getol membuat cerpen belum tentu akan lolos dalam lomba cerpen nan diikutinya.

Semuanya bergantung pada cerpen nan dibuatnya apakah sudah sinkron dengan kriteria nan disyaratkan panitia lomba cerpen atau tidak. Berbicara mengenai lomba cerpen, berbicara mengenai karya nan dilombakan, yakni cerpen. Cerpen merupakan akronim dari cerita pendek.

Cerpen menyajikan suatu cerita dalam kisahan/alur nan tak terlampau panjang. Biasanya hanya menyoroti satu segi/sisi kehidupan tokohnya. Panjang cerpen lazimnya sekitar empat hingga enam halaman, maksimal tujuh halaman kertas berukuran A4 dengan jeda spasi 2. Cerpen merupakan cerita nan “habis” dalam sekali baca, artinya kisahnya selesai dalam satu kisahan alur nan pendek karena cerpen hanya mengulas satu sisi kehidupan atau permasalahan nan dialami tokoh.



Lomba Cerpen - Penguasaan Tema

Banyak hal nan menjadi penentu dalam kemenangan seseorang dalam lomba cerpen. Persoalan tema, isi tak menyinggung ras dan agama, jumlah halaman, bahkan kekuatan cerpennya sendiri turut memengaruhi lolos atau tidaknya sebagai pemenang dalam lomba cerpen.

Persoalan tema biasanya lebih dibebaskan, adapula nan mengkhususkan dalam tema tertentu. Entah itu hanya berupa satu tema entah berupa banyak tema nan mesti dipilih salah satu. Tema sosial dan cinta memang mendominasi dalam lomba cerpen, terlebih dalam lomba cerpen remaja.

Jika panitia lomba cerpen menetapkan tema nan mesti dibicarakan dalam cerpen, biasanya tema mengenai sosial dan cinta tanah air menjadi tema nan ditawarkan. Namun jika panitia lomba cerpen tak mengkhususkan pada pilihan tema eksklusif alias bebas asal tak menyinggung ras dan agama, maka tema percintaan akan sangat mendominasi. Entah dalam rangkaian pengungkapan nan sangat verbal entah dalam rangkaian pengungkapan cinta nan abstrak dan lebih dewasa.

Tema cinta nan dipilih oleh remaja biasanya berkutat pada masalah taksir-menaksir, berpacaran, teman jadi pacar, cinta segitiga, dan perpisahan. Meskipun ada pula remaja nan memilih tema selain percintaan, namun dalam lomba cerpenjumlahnya tak sebanyak tema cinta.

Lain halnya dalam lomba cerpen nan diikuti kalangan mahasiswa atau umum, tema cinta tak begitu banyak mendominasi. Meksipun kehadiran tema cinta selalu ada, namun kemunculannya acapkali terselip dalam pengungkapan kehidupan tokoh atau menjadi bias sebab kemunculan gagasan lain, misalnya sisi kelainannya atau sisi tabunya.

Seperti contoh dalam cerita Sangkuriang, jika cerpen adaptasinya, penulis cerpen atau pengarang meski mengungkapkan permasalahan cinta namun dapat saja berfokus pada sisi ketabuan, yakni seorang anak nan ingin menikahi ibu kandungnya.

Temanya cinta namun dalam penggarapannya persoalan cinta akan menjadi bias sebab kemunculan persoalan ketabuan, terlebih jika pengarang mengaitkannya dengan kemiripan persoalan nan sama: mencintai ibu kandung, pada cerita lain seperti Oedipus dari Yunani dan Guruminda.

Tema sosial atau humanis memang lebih mendominasi pada lomba cerpen nan diikuti kalangan mahasiswa atau umum. Persoalan ideologi sudah menjadi tema besar bagi mereka selain persoalan kematangan berpikir dan pemahaman diri pengarang. Persoalan empiris sosial mengenai korupsi dalam skup besar atau korupsi kecil-kecilan oleh perangkat desa, penggusuran lahan, kemiskinan, idealisme, dan tema-tema sosial lainnya menjadi tema nan banyak dijumpai dalam lomba cerpen taraf mahasiswa atau umum.

Persoalan tema-tema sosial dan humanis dalam cerpen nan dibuat oleh pengarang taraf mahasiswa dan generik karena mereka bisa lebih peka terhadap permasalahan nan timbul di lingkungannya. Persoalan pengalaman realitas (pribadi) pun bisa menjadi inspirasi dalam pemilihan tema-tema sosial dan humanis.

Mengalami ketidakadilan, mendapati kesusahan, berjuang hayati dengan hanya mengandalkan kreativitas melalui tulisan membuat mereka lebih sensitif buat mengangkat masalah nan akrab dengan diri mereka sendiri. Masalah nan dekat dan berulang terus namun selalu hampir dilupakan dan tak dianggap sebagai sesuatu nan mesti diperhatikan bahkan diperbaiki.

Protes sosial semacam itu nan dilakukan melalui karya, seperti cerpen dianggap bisa menjadi solusi, setidaknya mereka tak berdiam diri dan bersikap apatis dengan hanya menunggu dan menunggu tanpa ada kejelasan. Terlebih dalam sebuah ajang lomba cerpen nan memungkinkan adanya publisitas nan lebih tinggi ketika kelak menjadi pemenang, maka tema cerpennya atau gagasan nan diangkat dalam cerpennya akan mampu terpublikasikan dengan baik sehingga bisa terkomunikasikan dengan baik dan tepat pula.



Lomba Cerpen - Rona Lokal

Selain persoalan tema, hal nan diperhatikan dalam lomba cerpen , khususnya lomba cerpen taraf mahasiswa dan generik adalah dari segi rona lokal. Rona lokal merupakan gambarankebudayaan suatu daerah, karakteristik khas suatu daerah tertentu. Secara mudahnya, rona lokal berarti budaya, budaya suatu daerah nan menjadi latar terjadinya peristiwa dalam cerpen. Rona lokal akan memberi citra atau pelukisan mengenai keadaan daerah eksklusif nan tampak dari segi budayanya.

Warna lokal akan memberikan pengetahuan atau informasi kepada pembaca mengenai kondisi suatu daerah nan belum dikenal atau diketahui sama sekali oleh pembaca. Rona lokal tidak selalu berbicara mengenai pelukisan latar saja, namun penguatan tokoh nan lekat dengan kedaerahannya bisa pula dikatakan sebagai rona lokal. Nama tokoh suatu daerah tertentu, tentu akan berbeda dengan nama tokoh di daerah lainnya. Misalnya nama Asep hanya akan ditemui pada budaya Sunda, artinya nama Asep menunjukkan bahwa tokoh Asep berasal dari Sunda.

Kemunculan kultur Sunda diperkuat dengan pelukisan latar dan hal-hal lainnya nan menguatkan kesundaan, dapat melalui karakter tokoh Asep nan semakin menguatkan rona Sunda dalam cerpen. Persoalan rona lokal menjadi persoalan nan cukup signifikan karena kesamaan prosa_cerpen memiliki kaitan dengan latar loka kejadian peristiwa dan apa-apa saja nan dialami tokoh dalam lingkungannya, terlebih dalam kegiatan lomba cerpen.

Jadi, persoalan rona lokal tak bisa diabaikan. Justru semakin kuat rona lokal, semakin menguatkan karakter tokoh dan gagasan nan kita angkat dalam cerpen. Kekuatan rona lokal memang tak tercantum dalam persyaratan lomba cerpen karena pengungkapan rona lokal sangat bergantung pada ketajaman pengarang dalam mendeskripsikan, bergantung pula pada wawasan nan dimiliki pengarang mengenai daerah eksklusif nan menjadi loka terjadinya peristiwa.

Seperti pada karya Putu Wijaya, rona lokal Bali sangat kental karena Putu memang berasal dari Bali. Juga dalam karya-karya Ahmad Tohari (Jantera Bianglala, Ronggeng Dukuh Paruk, Orang-orang Proyek), rona lokal kejawaannya sangat kuat.Warna lokal tidak memang identik dengan asal pengarang itu sendiri.

Seperti halnya Andrea Hirata nan sangat kental dengan rona lokal Bangka karena ia berasal dari Bangka. Namun bukan berarti seseorang nan lahir di suatu daerah tak bisa mendeskripsikan keadaan di daerah lain dengan baik. Semuanya sangat bergantung pada pengetahuan dan pengalaman.

Seseorang nan bukan berasal dari Kalimantan namun sudah lama berdiam di Kalimantan, mempelajari dan tahu betul mengenai aspek budaya Kalimantan, akan mampu memunculkan rona lokal Kalimantan dengan baik. Persoalan pengalaman realitas menjadi titik tolak dalam pendeskripsian rona lokal. Dalam prosa khususnya cerpen terlebih dalam lomba cerpen, rona lokal menjadi satu factor nan paling diperhatikan panitia, khususnya juri.

Warna lokal akan mampu memberikan informasi bagi pembaca, rona lokal akan mampu menguatkan karakter tokoh, rona lokal pun akan mampu membuat tema menjadi lebih hidup, menjadi lebih berbicara kepada pembaca. Dalam mengikuti lomba cerpen dengan asa memenangkan perlombaan tersebut, sebaiknya mengangkat persoalan nan dekat, nan akrab dengan kita.

Persoalan nan akrab akan dengan mudah dideskripsikan, terlebih memunculkan rona lokal sebagai upaya penguatan dan karakteristik khas seseorang pengarang.