Dua Global Japanese Girl

Dua Global Japanese Girl

Apa nan orang pikirkan tentang gadis Jepang atau Japanese Girl , ialah apa nan mereka browsing di segala macam media sebagai cantik tapi slutty . Kecantikan tapi berkonotasi pornografi dan maaf wanita tuna susila. Misalnya ketika Anda melihat gambar foto gadis Jepang secara sembarang, maka muncul celetukan "bintang porno ya?"



Japanese Girl dan Kesan Erotis

Tidak cenderung menyalahkan mereka nan berpikir bahwa Japanese Girl akan selalu berkonotasi dengan segala sesuatu nan serba mesum. Karena sudah dapat dimafhumi salah satu bagian dari budaya Jepang, ialah global pornografi dan sensualitas nan dapat dikelaskan sebagai 'kota ziarah', sebab di Shibuya Cho Tokyo, syahdan mirip-mirip dengan distrik kuning Amsterdam.

Segala macam kegiatan nafsu syahwati dikemas hebat. Citra kasarnya diperlihatkan oleh budayawan seniman manga Tsukasa Hojo, hanya di Jepanglah para orang asing (gaijin) ingin mencoba global seksualitas dan sensualitas dengan berbagai tema. Para lady escort atau para wanita tuna susila di asembling atau para Japanese Girl, di kumpulkan dan diminta melayani nafsu.

Semuanya punya akar, semenjak zaman ke zaman, keberadaan prostitusi di Jepang, dilegalkan oleh siapapun shogun nan memimpinnya. Global prostitusi bahkan sudah terkemas dalam budaya luhurnya dan menghasilkan satu sisi artefak eksotisme kultural nan dinamakan dengan Geisha. Atau wanita penghibur. Ada geisha di setiap penampakan Japanese Girl. Anda tak dapat menyangkalnya.

Tidak dapat disalahkan secara partikular jika ada nan mencibir bahwa Japanese Girl, berkesan pornografi. Karena muatan sejarah beberapa di antaranya memperlihatkan ketidakberdayaan perempuan Jepang sebagai subjek nan kuat, memiliki global tersendiri tanpa terlibatnya laki-laki.

Perempuan dalam Jepang ialah objek penderita. Kecantikannya ialah luka. Walau demikian, sebab kondisi budaya menyaratkan seperti itu, orang Jepang selalu mendambakan perempuan berkarakter kuat namun juga ideal sebagai pendamping hayati nan dinamakan dengan Yamato Nadheshiko.

Konsep tersebut merupakan konsep nan terkadang diselewengkan sebagai Istri nan baik. Istri nan andal dan luar biasa setia. Karena perlu diakui dalam hal ini, para Japanese Girl merupakan di antara mereka dari majemuk bangsa nan memiliki kultur kuat di sisi domestik, dan menghasilkan istri nan baik.

Yamato Nadheshiko sebagai citra Japanese Girl paripurna dan kebalikannya ialah wanita nan terlibat dalam pemuasaan hasrat laki-laki ada dua sisi mata uang dalam budaya Jepang, keduanya tak saling bersaing, namun berjalan bersama-sama. Masing-masing dari keduanya mengalami proses puncak masing-masing.



Taoisme Zen Pada Japanase Girl

Dan ini lebih ajaib lagi, tak ada keterkaitan langsung dengan feminisme pada istilah negatif atau positifnya Japanese Girl. Karena wanita di Jepang tak terkekang secara budaya. Mereka bebas berekspresi dan memilih jalan hidupnya. Mereka berada dalam dinamika nan sangat demokratis.

Di satu sisi Anda dapat menemukan seorang gadis Jepang (Japanese Girl) nan mengalami kekerasan domestik, dikasari oleh suaminya secara tak berperikemanusaan. Namun di sisi lain Anda juga dapat menemukan femdom atau female domination , wanita justru nan berkuasa di wilayah domestik, dan laki-lakilah nan dikasari. Mengapa ini dapat terjadi?

Jawaban mengenai kenyataan pada Japanese Girl ini dapat dicarikan gamblang ditelaahnya Robert N. Bellah tentang religinya orang Jepang. Agamanya orang Jepang nan dinamakan sebagai religi Tokugawa. Religinya si Ieyasu nan getol berjudi dan memainkan peran oportunistik.

Orang Jepang selalu melakukan nan terbaik nan ada di hadapan mereka sebab meyakini itulah kesempatan dalam kesempitan. Itulah perjudian nan harus diselesaikan. Jika menyerah itu sama saja dengan membuka dan menulis surat wasiat buat kemudian bunuh diri.

Bagi orang Jepang baik Japanese Girl atau para prianya, tak ada kesempatan kedua. Jika kamu tak mengubah nasibmu sendiri (ying), maka orang lain nan membuatkan untukmu (yang). Itulah personifikasi dari Taoisme, ada nasib baik dan ada nasib buruk.

Mereka (para Japanese Girl dan pria Jepang) berdoa di kuil-kuil buat mengundi nasib, apakah tahun ini beruntung? Jika tak beruntung, maka sikap mereka harus tegar dan siap pada setiap cabaran dan kegagalan, jika tahun ini beruntung maka mereka akan menghidupkan semua macam tombol, semua nan dapat ditekan buat siap berakselerasi.



Dua Global Japanese Girl

Tambah lagi dari global Japanese Girl majemuk kreativitas dan intensitas nan muncul dari perpaduan global Yamato Nadeshiko (gadis ideal) dengan Sonna Onna (gadis porno), seorang seniman porno dapat saja berkawan dengan seorang gadis nan taat ibadah.

Mereka menganggap itu takdir, jalan hayati nan harus diselesaikan. Jangan heran bila wanita Jepang itu dapat ada di puncak peradaban dengan menghadirkan hal-hal nan hebat dan bermanfaat bagi global kemanusiaan, sebagaimana kita mengenal dalam sejarah mereka juga ada kaisar wanita (gemmei), sehingga tak perlu didebat lagi kontribusi perempuan Jepang bagi negerinya.

Di sisi lain pula. Jangan heran Japanese Girl tak begitu ambil pusing bila mereka dicibir sebagai manusia hentai / pervert (porno). Bahkan mereka ciptakan istilah dari global pervert nan luar biasa kreatif. Dari Neko (telinga kucing, maksudnya bercinta dengan gadis nan memakai kostum kucing), Pettanko (dada tipis), Shibari (seni mengikat), Chikan (molester di kereta), Ashikoki (memainkan kaki pada saat xxx), Mizugi (baju renang), Oppai, Megane (fethis), Paizuri (permainan dada), Shimapan (celana dalam), Sundere (gadis judes), Tentacles (kaki gurita), Netotare (permainan cemburu) atau Futanari (hermaphordite).

Seimbang antara cahaya dan kegelapan. Tidak ada dari pemerintah Jepang mencoba membuat kebijakan belah bambu pada image Japanese Girl ini, injak dan represi suatu kelompok dan dorong kelompok nan lain. Berbeda dengan misalnya di negeri kita. Yang pervert berkesan porno diinjak, ditangkarkan, dikejar-kejar, walau petinggi negeri juga tak kalah menyukai nan serba pervert , sementara nan alim diangkat-angkat, sehingga nan alim hilang alimnya berhak mementungi siapa saja.

Kejadiannya pun dapat nan gadis cemerlang jadi gadis gelap, dan gadis gelap dapat jadi gadis cemerlang. Japanese Girl semacam Rina Nakanishi nan tadinya gadis lembut baik-baik, seniman idola dari group Chocolove, lantas henshin mengubah diri menjadi Rico Yamaguchi (nama alias) seorang bintang porno.

Dibalik itu, Japanese Girl bernama Sayaka Kitahara nan tadinya menjadi kaya dan populer sebagai bintang porno memilih tobat dan hayati senang sebagai ibu rumah tangga, padahal karirnya tengah menanjak dan usianya masih muda. Bagi Anda nan di Indonesia dapat saja mengambil hal-hal nan menurut Anda positif dari kisah semacam itu. Karena dari global itu terdapat pelajaran nan luar biasa bermakna.

Misalnya dari Japanese Girl berjenis Yamato Nadeshiko bernama Okyo, istri dari pahlawan Jepang Ryoma Sakamoto, dapat didapati kalimat hebat ini, "Kejarlah orang nan kau cintai walau harus menyebrangi neraka." Dan sebaliknya, dari Japanese Girl berjenis Sonna Onna kita juga dapat dapati kalimat hebat, dari Maria Ozawa atau Miyabi, "Saya sudah pensiun."