Cerita Pendek Cinta Pertama

Cerita Pendek Cinta Pertama

Anda tentu sudah sering mendengar istilah cerita pendek, bukan? Cerpen ialah sebuah bacaan singkat, pendek, dan memungkinkan selesai dalam sekali baca. Majemuk cerita bisa kita tuangkan dalam sebuah cerpen, salah satunya ialah cerpen tentang cinta pertama.

Berikut ialah sebuah cerpen cinta pertama nan mungkin dapat menginspirasi Anda buat mencoba menulis kisah Anda dalam sebuah cerpen.



Cerpen Cinta Pertama: Singkong di Ladang Gersang

“Kecil sekali singkongnya,” kataku sedih.
“Kalau menanam sekali lagi, kita pupuk ya,” katanya lembut.
“Pakai pupuk apa?” tanyaku lirih tanpa ada harapan nan terbayang.
“Pakai kotoran kelinciku,” jawabnya pasti.
“Hebatkah kotoran kelinci?” tanyaku dengan ketakjuban nan tidak kusembunyikan.
“Lihat saja nanti,” jawabnya dengan penuh keoptimisan.
“Aku percaya padamu,” kataku senang.
“Jangan,” katanya.
“Apa maksudmu?” tanyaku heran.
“Kau tidak percaya aja dulu. Biar nanti tak terlalu kecewa,” terangnya tanpa menatapku.
“Aku tidak mengerti,” kataku masih dengan nada keheranan.
“Lihat saja dulu buktinya. Kau tidak harus terlalu percaya dengan apa nan saya katakan. Nanti kalau memang apa nan saya ucapkan benar, baru kau boleh percaya padaku,” katanya.

Kali ini dia menatapku. Mata coklat itu membuat saya gugup. Baru pertama kalinya saya menatap mata coklatnya nan indah. Mata itu begitu berbinar penuh semangat hidup. Aku semakin gugup. Aku pandangi caranya mencabut singkong. Aku pegangi daun-daun singkong nan sudah dipetiknya.

Seminggu kemudian dia mendatangiku lagi. Aku membeku. Aku gugup sekali. Serba salah dan salah tingkah. Aku bingung mengapa saya dapat begini. Rasanya saya belum pernah seperti ini. “Cinta pertamakah ini?” kataku membatin.

Di siang hari nan panas, saya merasa dingin. Aku hampir tidak mendengar kata-katanya nan menerangkan tentang kotoran kelincinya nan berbau menyengat. Aku bengong menatap dirinya. Kali ini saya tidak berani memandang matanya. Saat dia melirik atau melihatku, saya coba palingkan wajahku. Hatiku berdekup begitu kencang. Tubuhku terasa melayang. Tak sanggup saya berdiri atau duduk. Aku seperti nyiur melambai ditiup angin. Bergoyang-goyang ke sana kemari.

“Hamburkan ini,” katanya sambil memberikan sekantong kotoran kelinci. Aku mengambil kantong itu dengan tangan bergetar.
“Ayo, kita mulai dari sini,” ajaknya.

Aku iringi langkahnya. Aku perhatikan kaki-kakinya nan jenjang. Aku berjalan dalam bayangannya buat menghindari panasnya sinar matahari. Aku merasa damai. Hatiku begitu tenang walau degupan jantungku terus saja bergemuruh.

“Ini urin kelinci,” katanya. “Bagus juga buat pupuk.” Dalam kegugupanku, kali ini saya tidak sanggup mencium bau urin kelinci nan begitu menyengat.
“Bau sekali,” kataku.
“Ya, tapi bau ini kan membuat singkong kita tumbuh lebih subur,” terangnya sambil tersenyum.
“Benarkah?” kataku tidak percaya. Aku mulai berpikir buat tak percaya sebelum ada buktinya. Dia tersenyum. Aku tidak mengerti makna senyumannya.
“Kau murid nan cerdas. Kini kau mulai dengan tak percaya. Aku senang. Mari kita buktikan,” katanya. Tubuhku terasa semakin enteng bak kapas mendengar pujiannya.

Setiap hari saya pandangi stek-stek singkong nan mulai menyembulkan daun-daunnya nan hijau. Aku bayangkan kami berdua berjalan bersama di ladang singkong itu sambil bercerita tentang apa nan akan kami lakukan bila panen nanti. Aku berharap berjumpa dengannya. Tapi sejak penanaman itu, saya tidak berjumpa lagi dengannya hingga panen tiba.

Singkongnya besar-besar. Tapi saya tidak bahagia. Aku bahagia bahwa kotoran dan urin kelinci memang hebat. Tapi saya tidak menemukan kasihku. Memang tidak kupupuk cintaku dengan kotoran dan urin kelinci. Namun rasanya cintaku tumbuh lebih fertile dari singkong-singkong nan kami tanam.

Aku merasakan lara hati dan jiwa sebab cinta pertamaku tertanam kembali ke dalam gundukan tanah tempatku menancapkan stek-stek singkong berikutnya. Ladang gersang itu kini sudah subur. Tapi cintaku masih seperti singkong di ladang gersang.

***



Cerita Pendek Cinta Pertama

Cinta pertama nan kurasakan pertama kali ketika saya masih kecil. Ketika itu, saya nan masih belum menginjak bangku sekolah harus pindah ke suatu kota nan asing bagiku. Kota dimana saya mulai merasakan bagaimana rasanya memiliki teman, seorang sahabat, dan tentu saja cinta pertama.

Ketika pertama kali menginjakan kakiku di rumah baru, perasaanku begitu datar. Aku tak ingat bagaimana persisnya perasaanku kala itu. Yang saya tahu hanyalah deretan rumah sederhana dengan pagar besi nan menjulang tinggi.

Saat itu, hari sudah larut dan akupun langsung pergi tidur dirumah baru itu. Hingga pagi menjelang, saya melihat Ayah, Ibu, dan kedua kakakku sedang melihat-lihat keadaan sekitar rumah. Mereka pun sesekali bercengkrama dengan tetangga-tetangga kami.

Setelah terbangun, akupun langsung menghampiri keluargaku nan berada diluar. Dan ketika terburu-buru berlari ke arah Ibu, secara tiba-tiba akupun terjatuh diteras rumah baruku. Sontak akupun merasa kaget dan merasa kesakitan. Namun, tiba-tiba terdengar suara keras nan menertawakanku di arah depan. Sungguh, perasaanku kala itu bercampur aduk antara sakit, marah, dan malu tentunya.

Seketika Ibuku langsung membantuku buat bangkit dan mencoba membuatku berhenti buat menangis. Kala itu, kulihat sebuah keluarga nan ramah nan terdiri dari seorang Ayah, Ibu, empat orang bersaudara. Tiga orang dari mereka umurnya diatasku, dan satunya lagi sebaya denganku. Kami pun langsung berkenalan dan menjadi tetangga nan akrab.

Itulah kisah rendezvous kami. Kami berkenalan dengan nama kecil kami, dia nan bernama Hisan dipanggil dengan nama Ican dan saya mengenalkan diriku dengan nama kecilku. Dari sanalah kami pun akhirnya bergaul dengan baik, bahkan sangat sangat baik.

Seiring berjalannya waktu, kami hias pertemanan kami dengan bermain bersama, belajar bersama, tidur, makan, mandi, dan semua aktifitas kami lakukan bersama. Kami pun bersekolah di sekolah nan sama.

Setiap hari kami berangkat dan pulang sekolah bersama. Berjalan melewati hamparan sawah, perkebunan nan lebat, dan jalanan nan lebar. Interaksi kami layaknya sepasang saudara, sepasang kekasih nan tak dapat terpisahkan lagi.

Hingga suatu hari, keadaan pun membuat kami berubah. Kedewasaan nan membuat kami tak dapat seperti dulu lagi. Ya, kami sudah beranjak dewasa dan memilih jalan nan berbeda.

Ketika itu, Ican memutuskan buat bersekolah di suatu Sekolah nan berada jauh dari loka tinggal kami. Aku pun begitu, saya memilih buat bersekolah ditempat tinggalku dulu.

Perpisahan kami membuat jeda nan sangat panjang di antara kami berdua. Kami berdua pun berusaha buat tetap berkomunikasi buat menjaga komunikasi kami. Namun, jalinan komunikasi antara kami tak berlangsung begitu lama. Setelah beberapa tahun, kami pun sama sekali tak mengetahui kabar satu sama lain.

Ditengah rasa kehilangan dan rasa rindu nan ada dalam hatiku, saya pun tersadar bahwa kami hanyalah teman kecil nan menumbuhkan cinta pertama atau cinta monyet diantara kami berdua. Rasa itupun terus tumbuh hingga kami beranjak dewasa dan berpisah seiring dengan berjalannya waktu.

Dalam menjalani rutinitasku sebagai seorang mahasiswa, akupun akhirnya mendengar kabar tentangnya. Ku dengar bahwa ia telah kembali ke loka dimana kami pernah bersama. Mendengar kabar tersebut sontak hatiku sangat bahagia, hingga rasanya hatiku ini meloncat keluar dan bergembira bersamaku.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ketika kudengar bahwa dia kembali dengan istri nan telah ia nikahi. Bahkan ku dengar ia akan segera menimang anak pertama nan dikandung oleh istrinya itu.

Sungguh hancur saya mendengar kabar tersebut. Cinta pertamaku menjadi kisah latif nan berakhir dengan pernikahan. Ya, pernikahan dia dengan nan lain.

Nah, Bagaimana, sudahkah Anda mendapatkan citra dari cerpen tersebut? Jika Iya, tunggu apa lagi? Mulailah menulis cerpen versi Anda sendiri. Selamat mencoba!