Punk Bandung - Gerakan Sub-Kultur

Punk Bandung - Gerakan Sub-Kultur

Kota Bandung sekitar tahun 1996 hingga akhir 2001 sempat diramaikan dengan munculnya kelompok-kelompok anak muda nan dikenal dengan sebutan Punk Rock. Kelompok anak muda tersebut dikenal dengan istilah anak punk Bandung . Pada dasarnya tak ada nan membedakan antara punk Bandung dengan kelompok punk-punk nan ada di Indonesia lainnya. Mereka memiliki idealisme nan sama dalam memandang kehidupan.

Sebuah idealisme nan mereka anggap sahih kemudian diyakini sebagai pilihan dalam bergaya hidup. Melihat segerombolan anak muda dengan dandanan nan cenderung urakan dan terkesan bengal niscaya akan langsung membuat tak nyaman. Tapi tahukah Anda bahwa di balik kesemrawutan tersebut tersimpan sebuah cara pandang terhadap hayati nan terbilang unik.

Sayangnya, idealisme tentang punk nan ada sekarang ini sudah cenderung jauh dibelokkan. Punk nan asalnya sebagai gerakan anti kemapanan sebab simbol protes kaum pinggiran terhadap kaum kota kini dirasakan mulai sedikit bergeser. Punk sekarang ini sudah menjadi sebuah gaya hayati nan jauh dari hakikat awalnya. Bahkan takjarang, banyak anak punk nan justru tak tahu apa itu punk sebenarnya.

Sebagian mengganggap punk sebagai gaya saja. Mereka mengatasnamakan sebuah protes terhadap keadaan nan serba tak adil buat menutupi kemalasan nan luar biasa. Menyakitkan, tapi hal itu memang sahih terjadi.

Namun, buat melakukan semua itu, anak-anak punk niscaya telah mengalami sebuah proses nan sulit dalam hidupnya. Sebuah proses nan bagaimanapun juga harus dihargai sebagai sebuah pelajaran. Anak-anak punk, baik punk Bandung ataupun punk lainnya telah mengajarkan kepada msyarakat luas bahwa ketidakadilan itu akan membawa akibat nan jelek bagi kehidupan sosial.



Punk Bandung - Kenyataan Punk di Bandung

Identitas anak punk begitu juga anak punk Bandung dapat dikenali dengan mudah melalui busana nan mereka kenakan. Mulai sepatu docmar , celana jeans ketat, jaket kulit, ikat pinggang nan warnanya mencolok, hingga potangan rambut mohawk.

Anak punk Bandung tentu saja mereka kelompok punk nan lahir dan tumbuh di kota kembang, Bandung. Dandanan anak punk dimanapun berada, termasuk punk Bandung memang stereotipe. Anak-anak punk Bandung nan diketahui biasa berkumpul menghadiri konser musik di Gor Saparua, nongkrong di depan mall Bandung Latif Plaza (BIP), atau kongkow bareng kelompok mereka di sekitar kawasan Dago.

Seiring dengan budaya punk,tersebut, punk Bandung juga mengenal sebuah bentuk "kerajinan tangan" sebagai bentuk apresiasinya terhadap kehidupan. "Kerajinan tangan" tersebut berbentuk coretan-coretan di dinding. Coretan pada dinding-dinding disepanjang kota Bandung pun ikut meramaikan suasana kota Bandung itu sendiri. Coretan nan dikenal dengan sebutan graffiti tersebut biasanya digunakan anak-anak punk Bandung buat mengekspresikan kebebasan serta semangat darah muda mereka nan sedang membara.

Apa inti dari kemunculan kelompok punk Bandung atau graffiti tersebut? Apakah sekadar iseng-iseng belaka atau ada semangat ideologi nan mereka bawa? Kelompok punk Bandung niscaya memiliki alasan tersendiri buat melakukan itu.

Harus diakui, bahwa idealisme nan dimiliki oleh kelompok punk seringkali justru kurang dimengerti oleh para "penganutnya", begitupun para anggota dari punk Bandung. Meskipun demikian, banyak juga diantara mereka nan paham betul apa nan mereka lakukan. Idealisme apa nan dipercayainya.



Punk Bandung - Gerakan Sub-Kultur

Kelompok punk Bandung niscaya memiliki sejarah dan ideologi nan sama dengan kelompok punk pada umumnya. Gerakan Punk Rock merupakan gerakan sub-kultur nan muncul di Inggris sekitar akhir abad ke-19.

Sub-kultur merupakan sebuah gerakan perlawanan nan dilakukan oleh kaum marjinal terhadap budaya-budaya kaum dominan. Teori mengenai gerakan sub-kultur ini dapat kita lacak dari kajian sosiologi hingga budaya.

Contonya, Ibnu Khaldun (Bapak Sosiologi) menyebutkan bahwa sejarah peradaban manusia ialah pertarungan tanpa henti antara pusat dan pinggiran. Gerakan perlawanan itu jugalah nan ikut mendasari hadirnya gerakan punk Bandung.

Sejalan dengan itu, Pierre Bourdieu (Filsuf Perancis) menyatakan pula bahwa kehidupan merupakan siasat. Siasat tersebut berkaitan dengan usaha-usaha kaum pinggiran buat melawan penguasaan kaum pusat.

Biasanya, kaum-kaum pinggiran itu meliputi kelas pekerja atau kaum miskin nan diwakili oleh borjuis intelegensia, sedangkan kaum dominan terdiri dari kelompok menengah dan kelompok atas. Harus diakui bahwa kenyataan si kaya dan si miskin ini juga menjadi alasan mengapa punk Bandung terbentuk.

Di Inggris misalnya, pada abad ke-19, orang-orang dilarang mengenakan jaket saat mereka masuk ke dalam mall. Embargo ini dilakukan sebab jaket dianggap sebagai simbol kelas pekerja dan kelas pekerja tak layak masuk ke mall sebab status sosial serta ekonomi mereka nan lemah. Pelarangan terhadap ini menjadi rangkaian perjalanan saksi terbentuknya berbagai kelompok punk nan ada di dunia, termasuk punk Bandung.

Sudah tentu embargo ini mengandung bias tingkatan sosial nan sengaja dibuat oleh kaum-kaum dominan. Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, Anda akan diusir satpam ketika masuk ke mall sebab menggunakan sandal jepit. Barangkali, sandal jepit dianggap barang nan mewakili kelas rendahan di Indonesia. Kenyataan ini pun sepertinya dialami oleh kelompok punk Bandung.

Dengan adanya subordinat nan diwakili oleh jenis pakaian, akhirnya kelompok-kelompok punk nan ada di dunia, termasuk punk Bandung, kritis sengaja mengenakan pakaian-pakaian tersebut sebagai simbol perlawanan. Sepatu Docmar maupun celana jeans, tak lain ialah baju nan biasa dikenakan oleh pekerja-pekerja kasar di Inggris maupun di Amerika.

Gerakan unik buat melawan penguasaan kecantikan dan feminitas budaya massa pun dilakukan kelompok Punk. Sejak tahun 1960an, mereka melawan definisi kecantikan dengan cara mengecat rambut mereka dengan rona hijau, bahkan menggunduli kepala mereka sebagai anti tesis terhadap tesis-tesis kecantikan, terutama nan disimbolkan dengan rambut pirang (blonde). Hal ini juga banyak ditemui dikalangan kelompok punk Bandung.

Kemeja, dasi, dan jas pun dianggap sebagai baju kelas menengah. Mereka biasanya mengenakan baju itu di pesta-pesta, jamuan makan malam, maupun di acara-acara resmi lainnya. Hanya merekalah nan dianggap mampu membeli dan layak mengenakan baju tersebut.

Perlawanan terhadap jenis baju ini mulai muncul sekitar tahun 1990an. Banyak band-band indie di Inggris dan Amerika nan mengenakan baju ini. Mereka mengenakan jas, dasi, maupun kemeja saat mereka tampil di anjung rakyat, atau hanya buat sekadar nongkrong di pinggir jalan sebagai bentuk perlawanan atas bukti diri nan diskriminatif. Gaya berbusana seperti ini juga akan banyak didapati pada komunitas punk Bandung.

Mengapa baju sangat mengandung bias status sosial? Sandang dan makanan kata Pierre Bourdieu tak lain sebagai bentuk distinction (usaha pembeda) kelas atas terhadap kelas bawah. Antara kaum pinggiran dan pusat, antara kaum punk dan non-punk.

Kita sporadis misalnya melihat seniman atau pejabat makan di pinggir jalan atau di warung-warung kecil. Ini bukan sebab masalah hygienitas maupun kebersihan makanan, tetapi disadari atau tidak, mereka sudah menempatkan posisi mereka dalam status sosial eksklusif dengan alasan cita rasa. Hal-hal seperti itu menjadi satu hal nan cukup sensitif dikalangan kelompok-kelompok punk, termasuk punk Bandung.

Begitu pula dengan tempat-tempat seperti J.co Coffee maupun Starbuck Coffee nan menjual secangkir kopi biasa dengan harga fantastis, mulai 50 ribu hingga 70 ribu per cangkir. Tahukah Anda dari mana kopi-kopi itu didatangkan? Biasanya mereka membeli kopi-kopi tersebut dari petani-petani Afrika dengan harga murah dan dari petani kopi Indonesia dengan harga murah pula. Kenyataan gaya hayati nan dinilai memuakkan oleh kelompok punk ini juga dirasa memuakkan oleh kelompok punk Bandung.