Sejarah Tanah Lot

Sejarah Tanah Lot

Berkunjung ke Pulau Dewata Bali, tak akan pernah lengkap bila tak mengunjungi kawasan wisata terkenal Tanah Lot. Namun, mungkin tidak banyak nan tahu tentang sejarah Tanah Lot Bali ini.



Tanah Lot

Tanah Lot ialah salah satu ikon wisata Pulau Bali nan sangat digandrungi, baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Tanah Lot terletak di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Kurang lebih 30 menit dari Denpasar, bila ditempuh menggunakan kendaraan bermotor.

Meskipun area Tanah Lot lebih banyak terdiri atas bebatuan dan karang. Namun, di Tanah Lot inilah para wisatawan akan dimanjakan oleh pemandangan latif di kala matahari tenggelam atau suasana sunset.

Tanah Lot memang diyakini sebagai loka terbaik buat menyaksikan suasana matahari tenggelam atau sunset. Rona langit menjadi kuning keemasan ketika sunset di Tanah Lot.

Tak heran banyak sekali wisatawan dan juga penduduk sekitar nan tak mau kehilangan momen menakjubkan nan disajikan oleh alam di Tanah Lot.

Tanah Lot ialah sebuah bongkahan batu nan sangat besar, sehingga di atasnya dapat dibangun pura loka pemujaan kepada Dewa Laut. Pura itu sendiri memang dinamakan Pura Tanah Lot.

Letak Tanah Lot ini memang berada ditengah pantai. Jadi, pada saat bahari sedang pasang, maka Tanah Lot akan terlihat seperti bahtera besar nan sedang terapung. Dalam bahasa Bali, Tanah Lot dapat diartikan tanah nan terapung di lautan.



Sejarah Tanah Lot

Menyimak sejarah Tanah Lot, tak dapat terlepas dari peran para penyebar agama Hindu dari Pulau Jawa. Adalah Sang Brahmana bernama Danghyang Nirartha nan pada abad ke-15 melakukan perjalanan dalam rangka menyebarkan agama Hindu di Pulau Bali.

Danghyang Nirartha juga dikenal sebagai Tuan Semeru di daerah Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat pada waktu itu. Danghyang Nirartha juga menyebarkan agama Hindu hingga ke sana berasal dari kawasan Gunung Semeru di Pulau Jawa.

Dalam perjalanannya di Pulau Bali, Danghyang Nirartha telah menyusuri garis-garis pantai di Pulau Dewata tersebut. Hingga pada suatu masa, beliau tiba di sebuah desa nan berdekatan dengan laut.

Danghyang Nirartha sangat takjub dengan pemandangan alam dan suasana daerah tersebut. Suasana alam dan deburan ombak pantai bahari selatan di desa tersebut membuat Danghyang Nirartha menghentikan sejenak perjalanannya.

Akhirnya, Danghyang Nirartha memutuskan buat singgah beberapa waktu di desa tersebut. Ia mengajarkan prinsip-prinsip tentang Agama Hindu kepada masyarakat sekitar.

Keberadaan Danghyang Nirartha di desa tersebut sangat disukai dan diterima oleh masyarakat di desa itu. Para warga bahagia dapat mendapatkan seorang guru nan dapat memberikan pelajaran budi pekerti dan cinta kasih.

Serta bagaimana berterima kasih kepada Sang Pencipta nan telah menurunkan dan memberikan kesejahteraan di dunia. Termasuk di dalamnya keadaan alam nan elok, serta pesediaan makanan nan melimpah.

Tidak seperti penduduk desa nan sangat mencintai Danghyang Nirartha dan menyukai ajaran-ajaran nan di sebarkannya. Sang pemimpin desa, yaitu Bendesa Beraben justru sangat tak menyukai keberadaan Danghyang Nirartha, Sang Penyebar Agama Hindu di desanya.

Hal ini sebab sejak Sang Brahmana itu ada di desanya, sedikit demi sedikit pengikut Bendesa Beraben menjadi berkurang. Memang, pada masa itu, seorang pemimpin desa cenderung buat diikuti dan ditaati sebab dianggap memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.

Namun sejak kehadiran Danghyang Nirartha di desa tersebut. Kepercayaan , ketaatan, dan kepatuhan masyarakat desa kepada Bendesa Beraben menjadi pudar.

Hal itu bukan sebab ajakan atau suruhan Sang Brahmana buat menjauhi Bendesa Beraben. Namun, lebih kepada terjadinya proses penyadaran, kesadaran jiwa dan pikiran masyarakat desa tersebut akan arti kehidupan.

Juga makna berinteraksi dengan sesama, hingga pada penyikapan terhadap alam setelah mereka mengerti dan memahami ajaran-ajaran Hindu.
Karena rasa iri dan ketidaksukaan Bendesa Beraben kepada Danghyang Nirartha, maka Beraben meminta Sang Brahmana buat pergi meninggalkan desanya.

Pada saat itu, Danghyang Nirartha tak serta merta berkonfrontasi dengan Bendesa Beraben. Bahkan beliau memenuhi kemauan Bendesa Beraben nan menyuruhnya buat pergi meniggalkan wilayah kekuasaannya.

Namun sebelum pergi meniggalkan desa tersebut, Sang Brahmana meminta kepada warga desa buat membangun sebuah loka peribadatan atau kahyangan atau pura nan diberi nama Pura Pekendungan. Pura inilah nan dikemudian hari diberi nama Pura Tanah Lot.

Dalam berbagai cerita, tampaknya sejarah Tanah Lot Bali ini sudah bercampur antara legenda dan mitologi. Cerita nan disampaikan secara turun temurun ini memang ada nan mengisahkan bahwa ketika Bendesa Beraben mengusir Danghyang Nirartha buat segera meniggalkan desanya.

Namun, sebelum pergi meninggalkan desa nan sudah membuat dirinya merasa nyaman itu, Danghyang Nirartha meminta buat membangun sebuah pura di atas sebuah batu nan sangat besar.

Maka dengan kekuatan spiritualnya Danghyang Nirartha mengangkat sebuah batu nan sangat besar nan dipilihnya dan kemudian melemparkannya agak ke tengah pantai dan lebih mendekati ke lautan. Lalu, di sanalah dia bersemedi dan membangun Pura Tanah Lot tersebut.

Untuk mencegah kedatangan dan melindungi batu besar tersebut dari para pengikut Bendesa Beraben, Danghyang Nirartha melemparkan selendangnya nan kemudian menjadi ular-ular nan berkeliaran menjaga keberadaan Tanah Lot. Maka tak ada pengikut Bendesa Beraben nan berani mendekati Pura Tanah Lot.

Bahkan menurut sejarah pula, di kemudian hari Bendesa Beraben merasa takjub akan kebesaran dan kesaktian Danghyang Nirartha. Maka Bendesa Beraben pun berubah pikiran dan akhirnya mau menjadi pengikut ajaran Danghyang Nirartha.

Cerita mengenai sejarah Tanah Lot ini terus dilestarikan oleh anak cucu masyarakat Bali pada umumnya. Hingga saat ini masih terdapat ular nan menghuni di Tanah Lot itu, yaitu ular ekor pipih berwarna hitam dan bergaris kuning.

Ular ini pun diangaap ular kudus dan dipercaya sebagai ular nan berasal dari selendang Danghyang Nirartha ketika akan melindungi Pura Tanah Lot. Di Tanah Lot ini terdapat dua pura nan juga merupakan Sad Kahyangan.

Jadi Pura Tanah Lot ini termasuk salah satu sendi-sendi Pulau Bali. Setiap 201 hari sekali dirayakan sebagai Hari Raya Pura. Maka Pura Tanah Lot akan ramai dikunjungi oleh orang-orang Hindu nan akan bersembahyang.

Hingga hari ini, Tanah Lot bahkan semakin ramai dan semakin terkenal hingga ke mancanegara, kawasan Tanah Lot nan latif ini mampu memberikan kesejahteraan secara ekonomi kepada masyarakat sekitarnya dengan berjualan berbagai cinderamata.

Mereka pun menjual aksesoris khas Bali atau bernuansa Tanah Lot kepada para turis-turis nan mengunjungi Tanah Lot. Di sekitar Tanah Lot juga sudah terdapat berbagai fasilitas lain nan dapat membuat para pengunjungnya lebih nyaman.

Bila ingin menikmati eksotisme alam disekitaran Tanah Lot, atau bahkan buat bermalam. Di Tanah Lot kini sudah banyak beridiri tempat-tempat seperti restoran, cafe, hotel, hingga resort-resort berkelas internasional.

Nah, jadi bila Anda sekeluarga punya waktu luang nan cukup lama berlibur di Bali. Jangan lupa mengunjungi loka nan sangat eksotis dengan pemandangan matahari tenggelamnya atau sunset, yaitu Tanah Lot.