Menjadi Esensialis buat Memahami Kata-kata Bijaksana

Menjadi Esensialis buat Memahami Kata-kata Bijaksana

Ada nan bilang bahwa kebijaksanaan ialah jalan nan sunyi, a solitaire ones , jalan nan tak perlu memenangkan banyak hal dengan memilikinya, melainkan membiarkan segala sesuatu, cukup diri sendiri di bikin mengerti. Benarkah demikian? Lalu di manakah porsinya tanggungjawab pada suatu kebijaksanaan. Apakah kata-kata bijaksana mampu menggantikan keadilan?

Sehingga ada pula nan mampu meledek situasi itu bahwa, kata-kata bijaksana merupakan pelarian, dari suatu pertarungan nan harus dimenangkan. Sementara itu, para bijak ialah para pengecut nan coba berlari lewat pintu depan –dipersilakan lari, sebab sukses me- recite , merapalkan beberapa kata aduhai, membuat terlena banyak orang, dan larilah dia dari suatu persoalan.

Tuduhan nan tak benar, dan tak juga salah, jika Anda mampu memahami bahwa kata-kata bijaksana akan bergantung pada situasinya. Jika situasinya tengah menjepit, dan diminta tindakan segera maka kebijaksaan tak dibutuhkan sebab setiap upaya asalkan cepat dan cekatan ialah kebijaksanaan itu sendiri. Hal itu dikarenakan tak semua hayati kita berada dalam ruang pengadilan, buat menentukan mana nan layak dijadikan sebagai kebijaksanaan.

Di ruang pengadilan, nan berhak mengucapakan kata-kata bijaksana ialah sang hakim, apabila dia sudah memutuskan suatu vonis. Alasan terbitnya vonis merupakan kebijaksanaan, dan kata-kata bijaksana berpendar terangkum, dari puluhan alasan si tertuduh membela diri, serta serangan-serangan hebat jaksa buat memutuskan antara salah dan benar.

Di ruang pengadilan sejatinya, salah dan sahih itu mempertarungkan kebijaksanaan nan berpihak. Dan benarlah kebijaksanaan harus berpihak. Memilih satu di antara dua, dan melarikan nan satu pada penyelesaian, sedangkan nan satu lagi pada penebusan dosa. Kata-kata bijaksana pun berputar sekitar kawasan itu.

Kata-kata bijaksana bermula dari kebijaksanaan itu sendiri, sedangkan kebijaksanaan menurut McKee & Barber (1999) ialah "melihat melalui ilusi-ilusi," bahwa esensi kebijaksanaan terdiri dalam "wawasan terang bahwa keyakinan ialah ilusi, kebebasan dari godaan lebih lanjut dengan atau kerentanan terhadap kesalahan, dan identifikasi ikut merasakan dengan mereka nan menjadi korban ilusi." Kata-kata bijaksana dengan demikian ialah upaya buat menerjemahkan apa nan dimaksudkan sebagai, rangkaian delusi nan harus disepakati.



Kata-kata Bijaksana - Melihat ke Dalam Ilusi

Mereka menjelaskan alasan mereka buat definisi ini, dengan menggunakan pola ketidaktahuan Socrates dan pernyataan Aristoteles (dalam Metafisika), berkaitan dengan ajaibnya kata-kata bijaksana. "Para laki-laki akan berhadapan dengan kata-kata bijaksana pada alasan penyebab sesuatu, dan prinsip-prinsip dari banyak hal.”

Tidak semua orang memikirkan suatu hal sebagai klausa (atau penyebab) terhadap hal lain. Manusia selalu berhadapan dan lebih memikirkan akibat, dibandingkan penyebab. Kata-kata bijaksana, ialah cara lain memaparkan suatu ilusi, buat menyadarkan orang-orang agar lebih melihat kepada penyebab melalui akibat.

Oleh sebab itulah, dalam perspektif orang Islam, dikenal istilah hikmah nan merupakan kondisi stalemate , atau kondisi truce , gencatan senjata antara dampak dan penyebab. Orang Islam sendiri melihat kata-kata bijaksana, sebagai suatu taman pengetahuan kepada kepraktisan hidup.

Orang Islam memandang bila tak praktis maka tak bijaksana. Dikarenakan cenderung lebih memilih bagaimana memproduksi manfaat, bagaimana memfungsikan hal jelek kepada hal baik, bagaimana menjadikan bad apple jadi worth apple , caranya ialah memberi solusi praktis dan mudah ditiru, cara nan lain membiasakan diri dalam masalah, cara nan lebih hebat, menemukan loka bermasalah, dan belajar buat menyelesaikannya, memperbaikinya. Kata-kata bijaksana pun tak luput dari kitaran hal ini.

Amar bin Ma’ruf wal Nahy Munkar , atau menganjurkan kebaikan dan menghindarkan hal-hal buruk merupakan kata-kata bijaksana nan berkualitas tinggi. Terkadang kata-kata bijaksana itu diartikan berbeda di lapangan, dan menjadi tak bijak lagi, oleh orang Islam nan sama sekali tak mencoba melihat ke dalam ilusi.

Tak ada nan mereka tawarkan sebagai suatu solusi nan sehat, tapi kebanyakan mereka malah bertindak merusak dan menyakiti orang nan tak seiman, merusak properti orang lain, bahkan mengambil nyawa orang lain nan tak sepaham. Mereka lupa dengan kata-kata bijaksana Amar bin Ma’ruf wal Nahy Munkar . Mereka tak melakukan kebaikan dan tak mampu mencegah diri mereka sendiri dari kemungkaran.



Menjadi Esensialis buat Memahami Kata-kata Bijaksana

Ini terjadi sebab terdapat penumpulan pada proses kebijaksanaanya. Seorang nan mengaku beragama, seharusnya sudah otomatis dirinya menjadi seorang nan esensialis sebab hayati buat mencoba menghayati nan tak terlihat dan tak mudah dipahami. Menangkap karakter alam, menangkap bentuk angin, memastikan apa itu kehangatan, ialah fungsi dari esensi. Kemudian melahirkan banyak kata-kata bijaksana nan dapat membuat suasana menjadi jauh lebih kondusif.

Namun, esensi itu tak mampu ditangkap sebab nan diberhalakan ialah makna dan kata-kata. Makna dan teks ialah semacam artefak, sebagaimana nan dipahami oleh para strukturalis. Makna dan teks simpel dan justru itulah menjebak orang berpikir simplifikasi. Dan orang semacam itu tak akan mengindahkan kebijaksanaan dan kata-kata bijaksana.

Mereka berkerja dan memahami sebatas intruksi hulubalang atau nan mereka angkat pemimpin. Bekerja berdasarkan komando. Kehilangan sisi profetik nan dibutuhkan buat membentuk suatu pola kebijaksanaan. Tidak mampu mengambil alih dirinya sendiri maka tak perlulah kata-kata bijaksana. Dengan demikian, kata-kata bijaksana dan hikmah hanya diperlukan kepada mereka nan merdeka.

Richard Hawley seorang pakar filsafat dalam kompilasi faq mengenai kebijaksanaan, menjelaskan bahwa kata-kata bijaksana “tidak hanya terdiri satu jenis pengetahuan, tetapi beragam. Yakni segala sesuatu nan orang bijak perlu mengetahui dan memahami dalam ratusan daftar pengetahuan nan bervariasi.” Karena pada akhirnya, tujuanlah nan paling penting, dan lebih krusial lagi nilai-nilai kehidupan sebagai tujuan akhirnya.

Bagaimana pada akhirnya kata-kata bijaksana lebih mendekatkan orang kepada buat mencapai tujuan eksklusif tanpa cost terlalu besar. Lalu apa saja jenis bahaya nan mengancam mencapai tujuan ini? Bagaimana buat mengenali dan menghindari atau meminimalkan bahaya ini? Apa jenis manusia sama seperti dalam tindakan mereka dan motifnya? Apa nan tak mungkin atau layak buat mencapai (atau menghindari) suatu tujuan nan ternyata kuldesak atau tanpa akhir?

Kata-kata bijaksana pun berkaitan dengan bagaimana cara memberitahu orang lain apa nan tepat memahami dan menyesuaikan diri mereka terhadap keterbatasan nan tak bisa dihindari. Walau tak bisa dihindari, orang mampu menyesuaikan diri dan bertahan, bahkan bila perlu menjadikannya favourable , artinya selain bertahan juga mampu memberikan suasana bahagia.

Suasana nan menjadikan hayati berwarna warni. Kata-kata bijaksana biasanya milik mereka nan tengah matang dan memiliki konsepan nan terukur dari situasi nan tengah dihadapi. Tidak oleh mereka nan merasa tersakiti, kemudian sesaat mengutuki.

Jadi, premis awal tulisan ini ialah bahwa kebijaksanaan merupakan bentuk pelarian tertangkis dengan sendirinya. Kebijaksanaan dan kata-kata bijaksana nan tumbuh darinya ternyata merupakan amunisi buat menjadikan hayati lebih punya makna. Ada nan bertanya di suatu kelas sepi “Guru apakah Indonesia itu baik?” Jawaban saya. “Akan selalu baik, selalu baik, dan hebat.”

Apakah aku tengah menipunya? Apakah aku tengah menutupi suatu keburukan dengan bahasa ignorant , dan mengalihkan topik bobroknya Indonesia kepada harapan-harapan dan kata-kata bijaksana nan kosong melompong seorang guru di kelas? Dalam hal ini, apakah kata-kata bijaksana dibenarkan penggunaannya?

Sebagaimana ucapan Monsieur Ibrahim, dalam film Perancis dengan judul sama, “Aku kenal Alquranku.” Dan aku dapat menjawab pula, aku kenal Indonesia saya. Dan Indonesia aku baik. Indonesia aku tak bermasalah, Indonesia aku dicintai rakyatnya dalam berbagai macam cara dan berpretensi masing-masing. Kata-kata bijaksana seperti itu seharusnya diucapkan oleh kita sebagai bangsa Indoensia. Di luar apakah memang hal tersebut konkret atau tidak.

Ada sebagian nan memang fatalis dan berpikir kabur-kaburan, skeptis, medioker, dan fatalis bukan berati tak mampu ditolong, walau sudah dibutakan situasi, kata-kata bijaksana mudah-mudahan mampu merasuk ke dalam dan mengubahnya. Mengutip Juan Pascual-Leone (1990), bahwa kata-kata bijaksana ialah “Pencapaian akhir nan baik, dari seorang medioker.”