Wasit Aneh dan Penalti Unik dalam Sepakbola – Ulasan Tempo Majalah

Wasit Aneh dan Penalti Unik dalam Sepakbola – Ulasan Tempo Majalah

Sejak edisi pertama dirilis pada Mei 1971, Tempo majalah menjadi salah satu majalah paling krusial di Indonesia. Tempo majalah dikenal dengan liputan-liputan nan tajam dan tak bersahabat dengan penguasa. Dengan tangan besi Orde Baru nan hanya ingin menampilkan pewartaan nan baik buat rezim tersebut, semua majalah ---termasuk Tempo majalah--- tak boleh keluar dari pakem harus memuji pemerintah.

Berani menampilkan warta nan tidak sinkron tentang kebijakan eksklusif berarti menggali kubur sendiri. Namun, Tempo majalah berani mengambil risiko buat tak sinkron pakem. Mereka pernah dicekal Orde Baru pada 1982 dan 1994. Ketika itu, alasan primer nan dikemukakan pemerintah ialah bahwa Tempo majalah bisa mengancam stabilitas nasional.

Dibekukan tidak pernah menyurutkan semangat Tempo majalah buat menyampaikan warta nan jujur tanpa tedeng aling-aling. Maka, seiring runtuhnya Orde Baru, Tempo majalah kembali muncul dan tetap menjadi salah satu majalah nan paling dijadikan pegangan bagi orang-orang nan mencari kebenaran.

Hingga saat ini, Tempo majalah masih konsisten buat menampilkan laporan nan tajam dan tak asal kejar tayang seperti kebanyakan majalah lain. Bahkan, pada 2010, Tempo majalah sempat sedikit bersitegang dengan Polri. Pasalnya, dalam salah satu edisi Tempo majalah pada pertengahan 2010 (edisi 28 Juni-4 Juli 2010), ada ulasan mengenai beberapa pihak jenderal polisi nan mempunyai rekening dengan jumlah fantastis.

Judul Tempo majalah edisi kali ini pun cukup menyentak, "Rekening Gendut Perwira Polisi". Siapa pun akan langsung terpancing dengan judul semacam ini. Apalagi terdapat kontroversi seputar perilisan Tempo majalah edisi ini.

Dikabarkan Tempo majalah edisi ini diborong oleh oknum polisi seolah demi menutupi aib nan mungkin terbongkar lewat Tempo majalah edisi tersebut. Polri sempat memprotes tampilan cover Tempo majalah nan terlalu berani. Pada akhirnya, setelah sempat tegang dalam waktu hampir dua minggu, keadaan mencair ketika Polri dan Tempo majalah bersepakat buat berdamai tanpa perlu melewati jalur pengadilan.



Sepak Bola Curang dan Tempo Majalah

Ketajaman analisis Tempo majalah inilah nan juga pernah merobek tabir misteri di global persepakbolaan Indonesia. Tempo majalah tanpa segan-segan mencantumkan artikel berjudul "Kompetisi dengan Spesialis Blunder dan Kado Penalti". Artikel ini dirilis pada awal 2011, ketika konflik di persepakbolaan Indonesia tengah panas-panasnya. Ketika itu, PSSI era Nurdin Halid telah memasuki babak akhir kekuasaannya.

Sementara, muncul gerakan perlawanan melalui kompetisi ilegal Perserikatan Utama Indonesia atau nan sering disingkat IPL. Kompetisi ini diprakarsai oleh Arifin Panigoro. Ketika artikel ini dirilis, PSSI era Nurdin Halid tengah menunjukkan taring kekuasaannya sekaligus pameran kampanye partai politik tertentu.

Saat itu, buat kesekian kalinya timnas Indonesia kalah di final Piala AFF 2010 (dahulu bernama Piala Tiger). Yang lebih menyakitkan, Indonesia ditumbangkan oleh sang musuh bebuyutan Harimau Malaya, Malaysia dengan agregat 4-2. Di leg pertama di Bukit Jalil, Safee Sali dkk. menang 3-0 sementara di kandang sendiri Christian Gonzales dkk. cuma menang 2-1. Tak kalah sesak, sebelumnya, di turnamen nan sama, sebenarnya Indonesia pernah menggulung Malaysia dengan skor 5-1.

Kekalahan Indonesia 3-0 di Malaysia sempat menuai kritik. Pasalnya, sebelum berangkat ke Malaysia, Irfan Bachdim dkk. justru disibukkan dengan hal-hal tak krusial seperti makan bersama di rumah tokoh politik tertentu, mengikuti pengajian nan berdurasi lama, dan sebagainya. Bahkan, sempat ada tudingan ---walau tak terbukti--- bahwa para pengurus PSSI terlibat dalam skandal pengaturan skor bersama mafia judi Asia.

Kegeraman terhadap PSSI era Nurdin Halid ini mulai memunculkan kecurigaan demi kecurigaan tentang delapan tahun masa pemerintahan Nurdin di PSSI. Apalagi ada beberapa keputusan nan cukup kontroversial nan dilakukan rezim Nurdin Halid, terutama tentang kompetisi nan seolah sudah diatur sedemikian rupa. Atas dasar hal inilah Tempo majalah melakukan pemeriksaan mendalam seputar kompetisi di Indonesia saat itu, Indonesia Super League.



Wasit Aneh dan Penalti Unik dalam Sepakbola – Ulasan Tempo Majalah

Dalam pemeriksaan Tempo majalah ditemukan kisah-kisah mengejutkan seputar perserikatan Indonesia. Misalnya, adanya "perdagangan gol" nan dilakukan oleh para pemain sebuah klub. Konon, para pemain dapat disuap buat melakukan kesalahan fatal nan berakibat penalti, atau kalau tidak, blunder nan memungkinkan penyerang versus mencetak gol kemenangan.

Sistemnya pun sangat mudah, para pemain tersebut, atau sub-agennya, mendatangi atau berhubungan dengan manajer tim nan akan mereka hadapi. Maka, dilakukanlah kerjasama sebuah hadiah gol semacam ini. Tentunya, ketika berhubungan via ponsel, pesan-pesan nan diungkapkan tak tersurat. Seperti halnya Angelina Sondakh dengan "Apel Malang" dan "Apel Washington"-nya, pesan singkat biasanya menggunakan kata sandi "kambing siap disembelih" atau bahkan dengan kata sandi "koteka".

Jumlahnya pun variatif. Ada satu, dua, atau lima pemain nan bekerja sama dengan klub versus di belakang layar. Satu pemain diberi harga 5 hingga 10 juta rupiah. Konon, bukan tanpa alasan para pemain ini menggunakan cara-cara licik ini sebagai mata pencaharian selain bersepak bola nan jujur dan bersih. Banyak klub nan sering menggaji pemainnya terlambat. Maka, daripada mencari ketidakpastian nan membuat mereka kesulitan hidup, para pemain ini rela menggadaikan sportivitas.

Pemeriksaan Tempo majalah tak sampai di sini saja.Kita tentu sering melihat pemain nan terlibat standar hantam, tak diberi kartu merah. Malah, pelanggaran sepele diberi kartu kuning; dan pada pelanggaran sepele kedua, kartu kuning kedua melayang. Artinya, kartu merah akan mudah lahir dengan cara nan sangat sistematis; sinkron mekanisme FIFA meski wasit curang.

Kita pun lumrah melihat wasit nan tiba-tiba saja menunjuk titik putih buat laba tuan rumah. Padahal, para pemain tuan rumah hanya terjatuh tanpa sentuhan berarti. Atau, kadang tendangan pemain tuan rumah nan menyentuh dada atau kaki pemain tamu pun dapat dianggap wasit sebagai bola nan menyentuh tangan.

Belum lagi, penalti ini terjadi di menit-menit akhir buat memastikan kemenangan 1-0 atau 2-1 tim tuan rumah. Dalam pemeriksaan Tempo majalah, disebutkan bahwa wasit juga bukan tak mungkin terlibat dalam skandal pengaturan skor. Seorang manajer klub nan sudah familiar dengan wasit, dapat memberikan amplop seharga 20 hingga 50 juta kepada sang pengadil lapangan sebelum pertandingan.

Angka dapat melonjak ketika pertandingan tersebut cukup genting. Misalnya, klub nan tengah berjuang lolos dari degradasi, atau klub nan berpeluang menguasai klasemen. Tarif kemenangan klub ini jelas jauh lebih mahal daripada tarif kemenangan di partai biasa. Pemeriksaan Tempo ini tentunya menyadarkan kita apa nan terjadi pada PSSI; tak hanya pada masa Nurdin Halid, tetapi juga di era-era sebelumnya.

Yang unik, para manajer atau orang-orang nan ingin membongkar kebusukan kompetisi sepak bola kita, selalu dihalang-halangi. Kita tentu masih ingat dengan kasus Jafar Umar, wasit nan menyibak adanya kasus suap di Perserikatan Indonesia pada tahun 1998 (saat itu Perserikatan Indonesia IV). Jafar Umar dan sekitar 40 wasit lain dianggap terbukti menerima suap. Mereka dihukum tak boleh aktif di global sepak bola dalam 20 tahun.

Anehnya, tak ada terobosan krusial buat menangani para penyuap wasit ini. Kasus ini terjadi pada masa ketua PSSI Azwar Anas. Demikian pula keluhan klub seperti Persibo dan Persebaya di zaman Nurdin Halid. Keduanya pindah ke Perserikatan Utama Indonesia. Malah, buat mengisi slot Persebaya, dibentuklah Persebaya baru nan menjadi titik awal bermunculannya klub-klub ganda di Indonesia pada medio 2011 hingga awal 2012.

Tentunya, kita tak dapat berada dalam kubangan seperti ini. Kita tak hanya membutuhkan analisis tajam dari Tempo majalah, tapi juga bersatunya semua elemen sepak bola nasional buat mengeluarkan mafia sepak bola selama-lamanya.