Pantun Romantis Sebagai Budaya Massif

Pantun Romantis Sebagai Budaya Massif

Tidak diragukan lagi kalau pantun nan merupakan budaya Melayu bisa beredar hingga sekarang sebagai bentuk komunikasi nan paling lazim digunakan dibandingkan dengan sastra lisan lainnya, tak terkecuali dalam mengungkapkan perasaan dan pikiran terhadap versus jenis atau nan biasa disebut pantun romantis .

Sama dengan pantun lainnya, pantun romantis pun memiliki struktur empat baris dengan dua baris sampiran dan dua baris isi. Namun, pada zaman sekarang, suku kata tiap baris pantun tak lagi ditentukan sehingga penutur pantun dapat membuat kalimat nan sinkron dengan selera dan tujuan tuturannya.

Dua baris pertama nan digunakan dalam pantun biasa disebut sampiran. Pada dua baris ini, penutur pantun romantis harus memperhatikan ejaan kata atau minimalnya fonem terakhir agar sejalan dengan fonem terakhir pada dua baris berikutnya, yakni isi pantun.

Dua baris terakhir digunakan sebagai fungsi atau tujuan penuturan pantun tersebut. Jika nan dituturkan ialah pantun romantis, maka tujuannya pun biasanya berkutat pada masalah percintaan atau bagaimana memikat versus jenis.

Pantun nan merupakan alat komunikasi nan juga berfungsi sebagai cara tepat dalam berpikir cepat membuat para penuturnya harus lihai dalam menampilkan diksi nan tepat saat berpantun. Sebagai contoh, saat menuturkan pantun romantis, penutur harus cepat buat berpikir agar dapat memikat versus jenis tanpa menyinggung apapun atau siapa pun.

Dalam fungsi sosial, pantun romantis tak terlalu memiliki fungsi pergaulan meskipun kadang pula ada beberapa orang nan suka menggunakan pantun romantis buat mengungkapkan sesuatu kepada adik atau saudaranya. Akan tetapi, pantun romantis lebih dikenal oleh masyarakat sekarang sebagai alat komunikasi verbal nan menunjukkan sisi estetik tanpa menghilangkan sisi humoris sebab banyak pula pantun romantis nan mengambil wilayah pantun jenaka agar versus jenis menjadi semakin terpikat.

Secara romantik, pantun romantis tentu saja berperan kuat dalam memunculkan karakter si penutur pantun. Jika penuturnya berkarakter melankolis, biasanya pantun nan dituturkan pun lebih bersifat puitis. Sementara itu, jika penutur pantun romantis tersebut memiliki kepekaan humor nan tinggi, dapat jadi pantun nan dituturkannya pun bergaya jenaka sehingga membuat cinta tak lagi bersedih atau sendu, melainkan selalu tersenyum bahkan tertawa.

Namun secara umum, pantun romantis tetap memiliki tujuan nan sama dengan pantun lainnya yakni sebagai media dalam menyampaikan pesan. Hanya bedanya, pesan nan disampaikan di sini merupakan pesan romantis atau ungkapan perasaan bagi versus jenis nan hendak dipikatnya.

Pantun romantis sebetulnya dapat meliputi segala pantun nan ada, seperti pantun agama, pantun adat, pantun adat, pantun jenaka, pantun budi, pantun peribahasa, dan pantun kias. Pantun romantis nan meliputi pantun agama dapat saja dituturkan sebagai bentuk ungkapan umat manusia kepada Tuhan, Nabi, atau tokoh agama. Sebagai contoh, banyak pantun Islam nan menggambarkan kebahagiaan saat membayangkan berjumpa dengan Sang Pencipta secara romantis.

Sementara itu, pantun romantis nan meliputi pantun adat biasanya digunakan secara spesifik oleh masyarakat adat eksklusif buat memikat atau meminang versus jenis dengan ketentuan adat tersebut.Biasanya pantun romantis jenis ini dituturkan pada saat acara siraman pernikahan nan dilakukan secara adat.Pantun romantis lain nan banyak dikutip oleh para remaja dalam memikat versus jenis ialah pantun jenaka. Karena kejenakaan itulah kebanyakan lelaki sukses merebut hati wanita nan dirayunya.



Pantun Romantis Secara Praktis

Jenis-jenis pantun nan sudah disebutkan di atas bisa menjadi pilihan bagi penutur pantun romanti s nan hendak mengungkapkan perasaannya kepada versus jenis lewat media ini. Secara praktis, pantun romantis bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja dengan menggunakan media nan ada di sekeliling si penutur. Namun, ada hal nan perlu diingat oleh si penutur mengenai peranan pantun sebagai pembawa pesan moral.

Meskipun tujuan primer pantun romantis ialah buat memikat versus jenis, namun perannya sebagai pembawa pesan moral harus tetap dijaga sebab pantun merupakan khasanah kesusastraan nan mesti dipelihara filosofinya. Filosofi pantun romantis ini pun secara praktis ialah menjaga agar kehidupan si penutur dengan versus tutur tetap terjaga meskipun jalinan cinta nan diharapkan si penutur tak terealisasikan.

Oleh sebab itu, pantun romantis nan sekarang ini sering diobral di media massa seperti televisi tak dapat sembarangan diucapkan sebagai pantun apabila tak membawa pesan moral nan baik sinkron dengan kebudayaan Indonesia (yang berakar dari kebudayaan Melayu).

Jika sekarang pantun romantis semakin menjamur di kalangan masyarakat, itu sebab kekuatan pantun sebagai media komunikasi lebih besar dibandingkan dengan kebudayaan lisan lainnya sehingga kita sebagai bagian dari masyarakat harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya nan termaktub dalam budaya pantun.



Pantun Romantis Sebagai Budaya Massif

Bertahannya pantun, termasuk menjamurnya pantun romantis, sebagai media komunikasi dalam kehidupan masyarakat merupakan poin plus nan dapat dijadikan alasan mengapa Indonesia perlu mempertahankan kebudayaan ini. Sebagai akar budaya Melayu, pantun merupakan salah satu karakteristik khas nan mampu mempertahankan keunikan dan filosofi nan terdapat di dalamnya. Meskipun pada zaman sekarang, pantun (termasuk pantun romantis) telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lebih bertema perkotaan dibandingkan tradisional.

Sebagai contoh, pantun romantis nan pada zaman dahulu merupakan sebuah ajakan sakral buat menggambarkan keistimewaan perasaan nan dialami si penutur terhadap versus tuturnya (lawan jenisnya) berubah menjadi rayuan gombal nan secara masif digunakan para remaja buat memikat versus jenis.

Adanya tayangan spesifik di televisi nan menampilkan para penutur pantun romantis menjadi bukti bahwa pantun telah menjadi budaya masif nan merajalela di hampir seluruh kalangan masyarakat. Tidak hanya itu, adegan nan dihadirkan pantun romantis pun sangat membuktikan bahwa kepribadian masyarakat telah menjadi budaya masif nan bertolak pada adegan para public figure dalam menuturkan pantun tersebut. Penutur pantun romantis, baik laki-laki maupun perempuan, akan menunjukkan sebuah kelebihan nan mungkin ditonjolkannya, seperti perawakan nan seksi, jangkung, tampan, dan lain-lain dengan tentu saja mengagungkan versus jenis sekaligus versus tuturnya.

Kemudian, versus tutur akan menjawab atau membalas pantun romantis tersebut sambil bersifat malu-malu. Hal tersebut bisa kita lihat di berbagai adegan kehidupan, di berbagai loka dan waktu. Hal ini memperlihatkan bahwa pantun romantis telah menjadi kebudayaan massa nan hanya melirik pantun dari segi estetika, tanpa melihat kode etik dan filosofi nan seharusnya dihadirkan dalam tutur pantun.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa pantun romantis sebagai bagian dari budaya adat di Indonesia telah menjadi budaya populer nan di satu sisi bisa dibanggakan sebab dapat tetap bertahan meskipun dalam situasi kebudayaan nan semakin global. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini merupakan tantangan bagi para pelaku budaya dalam menjaga keaslian filosofi pantun agar tak terjebak dalam budaya massa sehingga perannya sebagai pembawa pesan moral menjadi terabaikan.

Oleh sebab itu, ada baiknya jika para pelaku budaya mengadakan workshop spesifik mengenai budaya pantun romantis nan kini sedang bertransformasi menjadi budaya massa, terutama dalam kehidupan masyarakat nan sering tereksploitasi media massa.